Thursday, May 27, 2021

Menatang Nasib

No comments
Jemala ini kusandarkan di dadamu. Berkali-kali pusaran ingatan mengibas rambutmu. Aku memeluk kekal. Dosa-dosa menguap ditatap poster-poster berjanggut tebal.

Lekukan alis lebat menaungi mata indahmu. Tempat segala duniaku tenggelam semu. Kita hendak menatang nasib. Sementara di seberang ada janji-janji raib.

Katamu, ini bukan tentang masa lalu. Namun seteguk lendir yang kausesap tuk mengusir malu. Sesekali kubiarkan kakimu menari-nari di udara. Bertukar tangkap seperti lengan sepasang saudara.

Bagaimana jika aku mati? Kau bertanya. Aku menumbuk pelan pipimu sembari menunjuk kursi purba. Di sanalah aku akan meletakkan jasadmu. Bahkan meski harus kugali di hadapan ibumu.

Ke mana kita pergi setelah bulan itu tiba? Apakah rimba tetap lebat oleh luka? Mari segera pergi dari sini. Melewati simpang tiga ketika aku menatapmu pertama kali.

Wednesday, May 26, 2021

Bulan Merah

No comments
seekor naga menelan purnama
dimuntahkannya dengan darah
bulan merah
di langit Waisak
di langit Kotamobagu
di mana sebaris toko
menjual tiket ke sana.

Sunday, May 23, 2021

Sebotol Pagi

No comments
Bau rusa berkejar-kejaran dengan embun di lindap subuh jalanan yang menghutan. Di kaki Gunung Ambang, masih banyakkah rusa-rusa yang bertahan dengan gempuran perkebunan? Namun sesekali bau itu berubah dari liar menjadi seperti uap air rebusan daging di atas kuali seorang petani. Sepasang pengendara sepeda motor terus menyanyah sepanjang jalan dengan sebotol anggur merah di genggaman. "Barangkali itu bau hantu!"

Rumah-rumah dan jalanan sepi sebab orang-orang lebih memilih berselimut mimpi, tinimbang menyusuri pagi. Dua orang berkepala pengar dan berjaket Bandung itu, terus membelah subuh dengan wajah yang mulai menebal. Tepian jalanan kembali bersulih menjadi perkebunan dengan pondok-pondok tak bermata lampu. Di simpang tiga Danau Mooat, salju seperti turun menggantikan embun.

Bintang-bintang berjatuhan ketika pelukan bertambah erat, lalu sebuah persinggahan menyatukan mimpi keduanya. Hijau dan kuning melebur menjadi satu membentuk warna semesta yang berjanji tak akan pernah memudar. Mungkin, hantu-hantu penunggu bahkan iri melihat mereka. "Perjalanan ini jadi salah satu kenangan yang membuatku tak keberatan lagi dengan maut."

Di punggung bukit yang menghadap danau, berdiri pondok tak berpenghuni. Seonggok televisi rusak tersudut sepi di dalamnya. Dari lantai dua pondok, pastinya matahari terbit di pundak bukit tepat di atas danau, akan tersambut lebih sempurna. Tetapi terang masih terlalu lama datang. Mereka berdua menunda untuk berkata, "Satu-satunya ciptaan Tuhan yang paling adil ialah matahari."