Minggu, 28 April 2013

S.U.T. Sigi (My little Medusa)

Tidak ada komentar
Nun jauh di sana... ah, sudahlah, ini bukan cerita dongeng. Hari ini, ada pesta yang meriah di kejauhan sana. Musik riang menghentak. Balon warna-warni yang saling bergesekan direbut. Ada yang meletas, tertawa, teriak, dan kemudian tangisan. Tapi tawa itu selalu kembali berkejar-kejaran dengan rasa riang. Hari ini pesta mereka---anak-anak. Ada kue berwarna-warni di meja dihiasi dengan semarak pernak-pernik ulang tahun, tak lupa sebaris nama tertoreh di situ; Sistha Ghasyafani Galuwo, nama yang seperti kereta api, tapi sapaannya se-gerbong saja, Sigi. Lilin berbentuk angka '2' yang menancap di tengahnya meleleh terbakar, membuatnya terlihat semakin kokoh di atas kue yang liat. Lalu nyala lilin itu seketika padam ditiup mulut mungil dengan bantuan bibir bergincu lainnya. Riuh tepuk-tangan. Ultahnya anakku. Eh, ada badut yang tersenyum di ujung sana. Senyum yang kekal.

Terlahir dari ibundanya: Phoppy Fatmala Lando, anak gadis mungil ini seperti miniatur dari ibunya. Rambut keriting seperti Medusa (tapi rambut Ibunya sudah di-rebonding), mata bulat indah penari Bali (tapi mata ibunya sekarang pakai softlens), dengan dagu tirus membentuk stalaktit mau menikam bumi. Hidung mancungnya serupa bukit kecil yang dari atas puncaknya kita bisa melempar timba ke dasar sumur di kedua pipinya yang tampak ketika ia ketawa. Akan banyak yang dahaga ketika melihatnya besar nanti. Pikirku begitu. Dan apa yang mirip denganku. Hanya dagu dan senyumannya itu sudah lebih dari cukup. My little Medusa.
Sedikit catatan tentang Medusa...
Medusa selalu dianggap sosok yang jahat, padahal ia adalah sosok penjaga/pelindung. Anehnya juga ia seorang pendeta perempuan suci di kuil Athena, yang kemudian diperkosa Poseidon di kuil, tapi malah ia yang dikutuk. Mungkin Athena cemburu padanya, karena ternyata diam-diam Athena menaruh hati kepada Poseidon. Bagiku Medusa tetap sosok pendeta perempuan suci, dan ia bukan mati karena dibunuh, tapi ia mati oleh refleksi dirinya sendiri. Bukankah yang paling membunuh itu adalah diri kita sendiri?

Lanjut...
Pernah sekali di kamar hitamku, ketika sedang asik merokok, tiba-tiba ia berlari masuk ke kamar, mendapatkanku duduk di kursi sofa usang, lalu melempar tubuhnya ke tubuhku. Ia merangkul sembari tersenyum. Ada perasaan yang berbeda di sana. Itu bukan pelukan seorang anak, tapi itu pelukan Tuhan. Hingga sekarang rasa itu masih bisa kuingat, tangan yang memaksa melingkar di seluruh badanku, perasaan lega yang meringkus, dengan wajah yang dibenamkannya ke perutku. Dan seketika ia berbalik lalu menatapku. Tersenyum. Aku melihat Tuhan di dalam matanya saat itu. Aku menjadi segunung batu. Kita mungkin tahu, bahwa manifestasi Sang Pencipta adalah ciptaannya. Aku membikinnya, tapi bukan aku yang mencipta. Ciptaan yang Maha.

Setelah setahun terpisah. Ketika melihat pantai (karena Bali di kelilingi pantai), aku seringkali membayangkan saat-saat dimana aku berlari-lari, berkejar-kejaran dengan dia di bentangan pasir pantai yang menguning disaput senja. Tertawa dan basah. Bayangan itu yang seringkali hadir menghibur. Lumayan mengubur rindu. Tapi, tak pernah sesuatu itu terasa begitu menghibur, jika ia tidak hadir di depan mata kita, bukan? Rindu itu sepertinya ciptaan hantu.

Jarak yang membangun ruang di antara aku dan dia. Hingga hari ini, yang begitu spesial bagi ibunya. Aku, ayahnya berjarak ribuan kilometer darinya. Antara Bali dan Passi (nama desa tempat tinggalku). Sewaktu tapi berjarak. Tak sempat aku merasakan pelukan itu lagi, hingga kini di hari yang katanya tumpah ruah dengan kebahagiaan. Tapi kenapa harus hari ini? Bulan ini? Karena kapan pun pelukan itu akan aku rasakan kembali. Pelukan Tuhan. Bulan ini memang spesial. Kita berdua terlahir di bulan ini. April ini milik kita, Ayah, Ibu, dan Sigi. 28, angka (2) dua yang memunggungi angka (8) delapan yang tampak seperti dua angka kosong saling memeluk. Aku (2) dua dan kalian berdua (80) delapan. Tapi di ultahnya yang ke-2 ini, aku sebagai angka (2) dua itu tak ada.

Dengan masih memunggungimu, ayah ucapkan; "SELAMAT ULANG TAHUN YANG KE-2 DI 28 APRIL." Jangan pernah dewasa ...






Rabu, 10 April 2013

Matur Suksma Kartakusuma

Tidak ada komentar
Malam tadi gerimis seperti enggan mempertemukan kami. Lalu setelah dua jam lebih mengamuk pada alam, akhirnya alam membujuk agar saya tak lagi mengamuk (hahahaha). Gerimis itu reda. Tak jauh memang jarak yang akan saya tempuh nanti. Hanya dari Jalan Ahmad Yani, Denpasar, menuju Grand Inna Bali Beach Hotel, Sanur. Jam sepuluh malam, bersegera ganti pakaian. Lalu berangkat ke sana. Bukan waktu yang tepat untuk bertamu memang. Tapi karena orang yang akan saya temui ini cukup tahu, jam berapa Putri Cinderella harus pulang. Akhirnya sebuah pertemuan yang dinanti-nantikan terwujud sudah. Esok harinya, Tisnaya Kartakusuma dan istrinya Henny Hakim (kakak perempuan Christine Hakim), akan bertolak balik ke Jakarta setelah menerima undangan liburan di Bali oleh kerabat dekatnya, yang menetap di sini.
Sepuluh menit perjalanan, dengan sangat mudah saya menemukan lokasi hotelnya. Setelah menyusuri kota mati (Denpasar selalu mati jika sudah lewat jam sepuluh malam), saya sampai juga di hotel. Motor kuparkir di antara pelukan siluet pohon-pohon rindang. Lalu mata saya menatap gedung setengah jangkung, atau yang paling jangkung di depan saya. Setengah jangkung karena memang hotelnya ini hanya sepuluh lantai. Untuk yang paling jangkungnya, karena gedung ini satu-satunya yang paling tinggi di Bali. Di sini tidak boleh membangun gedung yang lebih dari tiga lantai. Tidak boleh melewati standar tingginya bangunan Pura. Karena permintaan Bung Karno maka gedung sepuluh lantai ini memancang di tanah khayangan. 
Lekas ke lobi setelah ditanyai sekuriti depan hotel, saya duduk dengan pandangan menyapu seisi lobi. Ornamen-ornamen yang disuguhkan begitu kental dengan budayanya. Meski sedikit bergaya Eropa, gedung ini menyisakan aroma bunga kemboja di atas meja lobi. Ada papan putih kecil juga yang dilingkari merah, dengan gambar sebatang rokok disabit garis merah. Dilarang merokok. Ah, sialan.... mungkin ini satu-satunya kesan yang sedikit membuat hidung saya menghembuskan angin kesal.
Di hotel ini, tepatnya di lantai 3 kamar 327. Ada kamar yang dijuluki Kamar Bung Karno. Di kamar itu lukisan Kanjeng Ratu Nyi Roro Kidul yang bersanding dengan foto Bung Karno, terpajang jumbo di dinding. Kamar itu pulalah satu-satunya kamar yang enggan dijilati si jago merah, ketika hotel ini pada 20 Januari 1993 selama tiga hari berturut-turut dipanggang---dingaben---terbakar. Mungkin mantra Ibrahim merangkul kamar itu. (hihihihi)
Kurang lebih dua puluh menit berselang. Saya dihubungi dan diundang agar langsung saja menuju kamar 810 di lantai 8. Setelah sebelumnya cemas karena dua puluh menit di dinginnya ubin dan AC gedung yang baru saja mau bersahabat, dengan tidak mengijinkan saya merokok di paru-paru lobinya. Saya beranjak dari kursi lalu menaiki eskalator ringkih bersuara serak renta, menuju lobi lantai 2, mencari kotak lift. Gedung ini purba. Sejarah membangunnya dengan lara.

Tak lama untuk sampai ke atas, lalu mencari kamar 810. Tombol bel kucubiti. Ting tong. Sosok senja yang bahagia itu menyambutku. Rambut panjangnya dibiarkan menjamah pundak, putih, seolah-olah diwarnai dengan kanvas pengalaman hidup. Seribu kisah memutihkannya.
Di balkon kamar hotel. Ada kerabat Tisnaya yang datang berkunjung. Sepasang suami istri itu duduk merokok sambil menggenggam cangkir kopi. Ternyata merekalah yang mengundang Tisnaya ke Bali. Pak Dokter yang mempunyai cerita hebat di matanya. Ayahnya yang seorang dokter juga, sempat merawat dan akrab dengan Bung Karno. Tak lama kemudian, saya diminta untuk mengabadikan gambar mereka berempat dengan kamera ponselnya tante Henny, lalu Pak Dokter dan istri cantiknya itu pamitan. Sudah jam dua belas. Pangeran dan putri Cinderella pulang. Seperti sengaja membiarkan saya dan Tisnaya bebas bertukar kisah malam ini. Dengan gesit (Usia di atas enam puluh tahun, Tisnaya memacu langkah layaknya bocah, begitu sehat), Tisnaya menyempatkan turun hingga ke parkiran mengantar mereka. Saya pun turut. Lalu melambaikan tangan.
Perjalanan untuk kembali ke kamar 810 dibubuhi dengan sejarah hotel dan Pak Dokter tadi. Lalu di balkon kamar, dengan debur ombak Pantai Sanur, segelas kopi dan kue moci lombok yang merah merona, hijau belia, disuguhkan. Kenyal. Sebatang rokok Gudang Garam Merah dibakar. Cerita sejarah oleh saksi sejarah pun dimulai. Yang ini panjang. Saya menyimaknya. Takjub.
Buku biografi ayahandanya Letjen TNI M.M.R Kartakusuma berjudul "Sosok Prajurit & Pemikir" diberikannya. Dibubuhi tanda tangan putra Letjen. Buku ini kado ulang tahun saya yang paling istimewa. Diberikan di tempat bersejarah dengan segala kisah, tepat di malam ulang tahun. Sebelum berpisah,
saya dan Tisnaya sempat mengabadikan foto kami di lobi hotel. Saya tak lupa memberi pula buku Ayu Utami, Soegija, untuk ia baca pada perjalanan pulang nanti. Sosok Romo Soegija mungkin sudah jauh lebih dulu dikenalnya. Tapi di kursi pesawat nanti, semoga saja buku dengan ilustrasi filmnya Romo Soegija itu bisa sedikit menghibur. Sebuah cicin Hiriz yang telah lebih dari delapan bulan denganku, saya berikan kepadanya. Hiriz 14 orang suci yang saya dapatkan di Makassar beberapa bulan lalu. Setelah sebelumnya Hiriz itu memilih saya, maka saya menyerahkan Hiriz itu kepada orang yang pantas memakainya. Saya masih terlalu muda untuk menjadi suci. S(aint).
Terima kasih untuk pertemuannya Tisnaya Kartakusuma dan Henny Hakim. Semoga YME senantiasa memberikan keajaiban kesehatan dan umur panjang untuk kalian. Sama halnya YME menghadirkan kebetulan-kebetulan yang ajaib dalam hidup saya. Bisa bersua dengan kalian. Ini ajaib. Matur Suksma Kartakusuma.
Powered by Telkomsel BlackBerry®