Gerobaknya berkejar-kejaran dengan beberapa orang di tepi jalan. Orang-orang dengan sajadah terkulai di bahu. Mereka sedang menuju rumah Tuhan. Lain dengannya yang mau ke pasar dengan tumpukan kayu yang harus ia lekaskan pagi ini. Entah siapa yang sedang benar-benar ke rumah Tuhan.
"Mamonag pa o (mau ke bawah dulu)," sapanya.
"O'o (iya)," serempak mereka menyahut.
Yang di atas memang harus menengok ke bawah dan menyapa. Tapi, sekali lagi, entah siapa yang benar-benar di atas dan di bawah. Nasib seringkali sulit ditebak. Seperti putaran roda gerobak.
Selang empat puluh menit, ia pun tiba di pasar. Tumpukan kayu di atas gerobak dihempaskannya ke bahu jalan. Kemudian dirapikan kembali dengan segera. Siap dijual.
Satu jam ia menunggu dengan dua batang rokok saja. Pasar makin ramai seiring pagi merekah disiram cerlang cahaya mentari. Kerumunan orang bertengkar dengan lalat dan terik ketika matahari merangkak naik kian tinggi. Ini pasar tradisional yang multi dimensional. Ratusan lapak pedagang dengan aneka jualan, terlihat serupa menjajakan nasib.
"Bole lima ribu satu ika (apakah boleh lima ribu seikat)?" seorang ibu menawar.
"Lima stenga jo, Bu," sahutnya, meminta tambahan lima ratus perak.
"Lima ribu jo kwa'," si ibu tak hendak surut dengan tawarannya, berjongkok, menepukkan tangan pada seikat kayu.
"Iyo jo dang (baiklah)," pasrahnya. Pikirnya, di jaman ini masih syukur kayu bakar bisa bersaing dengan bahan bakar lainnya, sembari pandangan matanya menyaput jejeran tabung gas elpiji dari sebuah toko yang baru saja dibuka pemiliknya.
Usai membayar, si ibu berlalu. Hampir sejam kemudian baru ada lagi pembeli yang menghampirinya.
"Brapa satu ika (berapa seikat)?" tanya pembeli itu.
Ia mendongak ke arah datangnya suara, tersenyum, "Anam ribu, Bu (enam ribu, Ibu)."
"So nimbole kurang (apakah tak bisa kurang)?" si ibu yang berjongkok di samping ikatan kayu mengerling kepada si penjual.
"Lima stenga jo (lima setengah saja)," dia menegaskan harga.
"Ampa ribu jo (empat ribu saja, ya)?" tanya si ibu berharap mendapat harga lebih rendah.
"Adoh, nimbole noh (aduh, tidak bisa)," jawabannya kukuh dengan raut wajah tetap ramah.
Kala tawar-menawar itu tengah berlangsung, tiba-tiba puluhan polisi pamong praja datang menyerbu.
"So bilang nimboleh bajual sini (sudah dikatakan tidak boleh berjualan di sini)!" teriak beberapa orang di antara mereka.
Ada yang kocar-kacir, namun tak sedikit yang memilih tak beranjak. Beberapa perempuan tua, yang kesehariannya berjualan di tempat itu, hanya bisa melongo dan sesekali berbisik mengumpat. Barangkali, mereka ingin protes dengan sikap semena-mena dan jauh dari sopan-santun itu.
"Nogiboli don kami bo tantu bi' angoyon bongkaron (kami sudah membayar, tapi masih saja selalu digelandang)," keluh seorang nenek.
"Deeman natua , inde. Kaka andon pinomiaan pasar nobagu pomampingan bo moiko doi' bi' maya kon tua (bukan begitu, nek. Kan sudah dibuatkan pasar baru untuk pindah, tapi kalian tidak mau ke sana)," seorang polisi pamong praja menjawab sengit.
Para polisi pamong praja tak ingin terlibat depat panjang. Tugas mereka adalah bertindak menertibkan pasar tersebut dari pedagang yang membangkang keputusan pemerintah kota setempat. Cepat dan cekatan membongkar tumpukan jualan dan lapak para pedagang.
Si penjual kayu tak luput dari gerudukan petugas ini. Tumpukan kayu bakar jualannya bak dilalap api, diangkut kawanan pamong praja, tak tersisa dari tempatnya, senasib dengan jualan pedagang lainnya yang membuat pemandangan di pasar itu menjadi kering kerontang.
Gerobak sapi sewaan tadi pagi sudah ia titipkan ke salah seorang tetangganya –yang juga sesama pedagang di pasar itu—untuk dibawa pulang. Istri si tetangga masih di sini. Mereka bersitatap, bungkam, dan nanar. Hampa.
Sejurus kemudian, si pedagang memecah kebisuan, "Bain don tumakoy kon bentor kita mo buyi (nanti naik becak motor saja kita pulang). Semburat ucapan dari bibir yang nampak kering dengan nada bergetar, yang disahuti dengan anggukan si perempuan.
Mereka baru hendak mengangkat kaki, ketika suara gaduh teriakan sekelompok orang mengagetkan penghuni pasar. Keributan belum usai rupanya.
"Ini pasar torang punya (pasar ini milik kami)!" koar mereka yang baru tiba.
Sepertinya mereka lagi. Sekumpulan orang yang mengaku sebagai "ahli waris" lahan pasar ini. Lahan pasar ini, memang, masih menjadi sengketa dengan pihak pemerintah kota. Lahan tempat menggantung nasib ternyata nasibnya pun masih menggantung. Ada yang gagu menatap mereka dengan mata berbinar ambigu. Entah airmata jenis apa yang pantas diteteskan untuk menangisi perilaku mereka –sudah menjadi rahasia umum karakter orang-orang penuh klaim ini.
"Mo buyi don kitada mani'ka, topilik mo kacau don naa (lebih baik kita pulang saja, sebentar lagi pasti terjadi kekacauan)," ajaknya.
Mereka berdua bergegas ke tempat biasanya becak motor mangkal. Memilih pulang dan berharap sesegera mungkin sampai di rumah, jauh dari carut-marut pasar: tempat nasib mereka saling bertumpuk, mematungi hari-hari dengan menghitung kibasan lembar uang, dan tempat di mana kata "ya" atau "tidak" paling sakral dilapalkan.
Pada akhirnya, ada yang harus berkata "ya" untuk sengketa pasar, walau sebelumnya gigih mengatakan "tidak". Sama seperti mantra dalam tawar-menawar yang abadi antara penjual dan pembeli: "ya" atau "tidak".
Powered by Telkomsel BlackBerry®