Dulu ia pernah menjadi aib, tapi sekarang ia adalah segala iba. Aku menamainya Sigi, akronim dari nama panjangnya, Sistha Ghasyafani.
Tiga tahun sudah Sigi meliar di lorong-lorong dekat rumahnya. Digendong, dibiarkan berlari, terjatuh dan tersungkur di kerikil-kerikil yang tega. Sigi selalu bangkit meski dengan jerit tangis, tapi satu bujukan permen selalu membikinnya kembali tersenyum.
Setahun aku tinggalkan, membuatnya semakin berjarak denganku. Hanya disaat Sigi pulas, aku bisa memeluknya, menciuminya dengan leluasa. Sigi sangat "mahal" sekarang, mungkin itu sebuah harga yang pantas kubayar, sebab aku tak pernah ada disaat ia ingin mengenali wajah seorang ayah.
Sigi memiliki dua wajah. Mirip wajah ibunya saat keduanya sedang foto bersama. Dan mirip wajahku disaat ia berfoto denganku. Anak ini lihai berpose. Itu bakat dari ibunya. Kukira iya.
Sigi tak mau tahu dengan sekelilingnya tadi. Ia hanya ingin menangis saat mimpinya direnggut, karena dibangunkan hanya untuk meniupi lilin di kue ulang tahun. Kalau soal tidur yang tak mau diganggu, mungkin ini bakat dari ayahnya. Iya.
Sigi, wajahmu begitu kusut tadi. Aku ingin mengungkai rautmu, menyulamkan kembali menjadi senyum indah. Aku ingin mengacak-ngacak keriting rambutmu dan ingin mendengar tawamu. Meski hanya sekali, tawamu selalu terngiang abadi.
Tadi, saat menciuminya. Napasnya memburu seakan ingin mengejar kembali mimpinya. Ah, Sigi, tidur lagi saja. Yang Maha Tak Tidur masih mau memberi kita usia untuk bersua lagi.
Terima kasih untuk satu kecupan engganmu tadi. Itu sudah lebih dari cukup. Tidurlah lagi. Dan selamat ulang tahun yang ke-3. Jangan pernah dewasa...
Powered by Telkomsel BlackBerry®
Sunday, April 27, 2014
Wednesday, April 16, 2014
Tenang, Kenyang, dan Senang
Seperti biasa, tanpa membaca lebih dahulu, saya dengan cepat mem-forward tulisan di blog Kronik Mongondow. Tak sama halnya dengan tulisan yang pernah di-BC oleh salah seorang teman, tulisan dari Pitres Sombowadile yang diunggahnya lewat status di facebook, saya baca dengan saksama, kemudian mem-forward-nya kembali. Bukan dengan maksud mengadu, tapi agar para pembaca bisa runut mengikuti debat luhur dua penulis ini.
Kebetulan jaringan edge di blackberry gemini purba saya tak sekarat, sehingga dengan cepat link tulisan di Kronik pun saya simak. Menarik ingat, kembali ke sepuluh menit yang lalu saat seliweran status Bang Pitres di facebook, seuntai lirik lagu yang mengait tentang keakraban dan pemaafan bertengger di sana.
Saya di sini tak sedang ingin mengomentari persoalan kata "tragika" (yang sudah cukup jelas diulas oleh para dewa tinta ini), tak ingin menyinggung soal geng Kabar di zaman mereka, atau menyoal analisis-analisis mereka mengenai sosok Syachrial Damopolii atau pun Fachri Damopolii, terlebih tentang Yasti Soepredjo Mokoagow, Aditya Didi Moha, atau sesiapa pun. Saya hanya ingin mengomentari tentang sebuah persahabatan.
Saya bukan seorang petapa yang tiba-tiba saja turun gunung dan melerai tengkar dua dewa. Cukup menguping perkataan Zarathustra-nya Nietzsche, "Bagi sang petapa, seorang sahabat selalu merupakan orang ketiga, ia pelampung yang mencegah percakapan kedua pihak lain tenggelam dalam kedalaman."
Mungkin selama tengkar dua penulis ini, sejauh yang dapat ditemukan dalam tulisannya, porsi menyerang secara personal yang lebih banyak tinimbang mendebat substansi dari hasil analisis masing-masing pihak; tak banyak menyodorkan sesuatu yang lebih bermanfaat bagi pembaca, juga menyumbang pembelajaran bagi kami penulis pemula.
Meski mereka lahir dari abad "sebelum masehi", rekam-jejak mereka persis saya ketahui dari angin-angin malam kala orang-orang yang dengan khusyuk mengenal sepak-terjang kedua dewa ini berkisah.
"Ya, meski selangit, tapi kita bisa lihat siapa yang memiliki roh profetik di antara mereka berdua," begitu bisik angin.
Tapi bagi saya, cukup dengan saya menganggap mereka sebagai abang dan sahabat, kedua abang saya ini adalah penulis yang tulisannya renyah seperti camu-camu, memiliki tentakel ke segala sudut seperti cumi-cumi, dan seringkali suka cumu-cumu hal yang cuma-cuma. Dan jika salah satunya terancam, ilmu tinta cumi-cumi pun disemburkan.
Dan tentu saja, kedua abang saya ini sedang tidak ingin menjajakan bakso yang dikecapi, bukan? Sebab sebutan abang tak ingin saya geser dan lekatkan artinya menjadi abang tukang bakso, meski setidaknya bakso memang membuat perut kita kenyang.
Bagi sebagian pembaca, debat antara Bang Katamsi dan Bang Pitres adalah adu ilmu kanuragan untuk mencari siapa yang layak berkacak pinggang sebagai jawara, dan tak jarang dengan merapalkan mantra dari kitab-kitab yang telah dituntaskan. Tapi, bagi saya, seteru dalam tulisan-tulisan mereka telah merembesi sumur sebegitu dalamnya, hingga sampai mencuatkan hal-hal personal yang seharusnya dibiarkan terkubur dalam kenangan di bilik kamar. Bagi saya, ini menenggelamkan.
Tak ingin lagi bicara panjang-lebar tentang kedua penulis ini, jika ingin menonton pertarungan yang ada hasil pasti di sana: kalah, menang, dan seri, mungkin tontonan olahraga tinju antara Pacman VS Brandley Minggu kemarin, membuat selera kita terpuaskan.
Cerita persahabatan antara Bang Katamsi dan Bang Pitres adalah sebuah contoh keganasan politik dan kekuasaan. Tapi toh, kita tidak pernah bisa melihat, hanya terus membaca, tanpa mencermati kelihaian mereka berdua yang mungkin saja saat ini sedang saling telepon dan janjian untuk nge-wine, atau barangkali sekadar merasai keganasan cap tikus atau saledo saat mengucur di terjal tenggorokan.
Ah, menguping kembali perkataan Zarathustra-nya Nietzsche, "Berkawan dengan diam itu lebih sepi daripada sendirian."
Selesai dengan segala kudapan dan minuman yang tersaji di hadapan, saya setel lagu Hard to Say I'm Sorry, dan bersiap berlayar ke pulau kapuk siang hari.
Tenang, kenyang, dan senang. Semoga bisa bermimpi melihat kedua dewa tadi berangkulan dan terbahak di tengah serakan botol wine.
After all that we've been through
I will make it up to you
I promise to
You're gonna be the lucky one
When we get there gonna jump in the air
No one'll see us 'cause there's nobody there
After all, you know we really don't care
Hold on, I'm gonna take you there
Kebetulan jaringan edge di blackberry gemini purba saya tak sekarat, sehingga dengan cepat link tulisan di Kronik pun saya simak. Menarik ingat, kembali ke sepuluh menit yang lalu saat seliweran status Bang Pitres di facebook, seuntai lirik lagu yang mengait tentang keakraban dan pemaafan bertengger di sana.
Saya di sini tak sedang ingin mengomentari persoalan kata "tragika" (yang sudah cukup jelas diulas oleh para dewa tinta ini), tak ingin menyinggung soal geng Kabar di zaman mereka, atau menyoal analisis-analisis mereka mengenai sosok Syachrial Damopolii atau pun Fachri Damopolii, terlebih tentang Yasti Soepredjo Mokoagow, Aditya Didi Moha, atau sesiapa pun. Saya hanya ingin mengomentari tentang sebuah persahabatan.
Saya bukan seorang petapa yang tiba-tiba saja turun gunung dan melerai tengkar dua dewa. Cukup menguping perkataan Zarathustra-nya Nietzsche, "Bagi sang petapa, seorang sahabat selalu merupakan orang ketiga, ia pelampung yang mencegah percakapan kedua pihak lain tenggelam dalam kedalaman."
Mungkin selama tengkar dua penulis ini, sejauh yang dapat ditemukan dalam tulisannya, porsi menyerang secara personal yang lebih banyak tinimbang mendebat substansi dari hasil analisis masing-masing pihak; tak banyak menyodorkan sesuatu yang lebih bermanfaat bagi pembaca, juga menyumbang pembelajaran bagi kami penulis pemula.
Meski mereka lahir dari abad "sebelum masehi", rekam-jejak mereka persis saya ketahui dari angin-angin malam kala orang-orang yang dengan khusyuk mengenal sepak-terjang kedua dewa ini berkisah.
"Ya, meski selangit, tapi kita bisa lihat siapa yang memiliki roh profetik di antara mereka berdua," begitu bisik angin.
Tapi bagi saya, cukup dengan saya menganggap mereka sebagai abang dan sahabat, kedua abang saya ini adalah penulis yang tulisannya renyah seperti camu-camu, memiliki tentakel ke segala sudut seperti cumi-cumi, dan seringkali suka cumu-cumu hal yang cuma-cuma. Dan jika salah satunya terancam, ilmu tinta cumi-cumi pun disemburkan.
Dan tentu saja, kedua abang saya ini sedang tidak ingin menjajakan bakso yang dikecapi, bukan? Sebab sebutan abang tak ingin saya geser dan lekatkan artinya menjadi abang tukang bakso, meski setidaknya bakso memang membuat perut kita kenyang.
Bagi sebagian pembaca, debat antara Bang Katamsi dan Bang Pitres adalah adu ilmu kanuragan untuk mencari siapa yang layak berkacak pinggang sebagai jawara, dan tak jarang dengan merapalkan mantra dari kitab-kitab yang telah dituntaskan. Tapi, bagi saya, seteru dalam tulisan-tulisan mereka telah merembesi sumur sebegitu dalamnya, hingga sampai mencuatkan hal-hal personal yang seharusnya dibiarkan terkubur dalam kenangan di bilik kamar. Bagi saya, ini menenggelamkan.
Tak ingin lagi bicara panjang-lebar tentang kedua penulis ini, jika ingin menonton pertarungan yang ada hasil pasti di sana: kalah, menang, dan seri, mungkin tontonan olahraga tinju antara Pacman VS Brandley Minggu kemarin, membuat selera kita terpuaskan.
Cerita persahabatan antara Bang Katamsi dan Bang Pitres adalah sebuah contoh keganasan politik dan kekuasaan. Tapi toh, kita tidak pernah bisa melihat, hanya terus membaca, tanpa mencermati kelihaian mereka berdua yang mungkin saja saat ini sedang saling telepon dan janjian untuk nge-wine, atau barangkali sekadar merasai keganasan cap tikus atau saledo saat mengucur di terjal tenggorokan.
Ah, menguping kembali perkataan Zarathustra-nya Nietzsche, "Berkawan dengan diam itu lebih sepi daripada sendirian."
Selesai dengan segala kudapan dan minuman yang tersaji di hadapan, saya setel lagu Hard to Say I'm Sorry, dan bersiap berlayar ke pulau kapuk siang hari.
Tenang, kenyang, dan senang. Semoga bisa bermimpi melihat kedua dewa tadi berangkulan dan terbahak di tengah serakan botol wine.
After all that we've been through
I will make it up to you
I promise to
You're gonna be the lucky one
When we get there gonna jump in the air
No one'll see us 'cause there's nobody there
After all, you know we really don't care
Hold on, I'm gonna take you there
Saturday, April 5, 2014
Sayembara Para Pendekar
Sekejap ingat menuju masa kerajaan dahulu kala. Ketika para pendekar berlomba pada sayembara. Siapa yang menang, ia akan diberi tahta dan putri nan cantik.
Mengingat hal itu, kampanye pileg adalah serupa sayembara. Saling mempertontonkan kehebatan laku, diadu, meski bukan otot tapi lebih kepada kecerdikan. Tapi apakah masih ada politisi yang memakai kecerdikan strategi dan taktik, di masa semua rakyat seperti buah-buahan yang dilabeli price. Halal dan haram dilebur oleh kebutuhan dan kepentingan.
Kita pun tahu, perangai para pendekar di atas panggung di masa kampanye, setiap ucap mereka masih mengandung enigma. Baik itu dari para pendekar yang sudah berkali-kali maju di medan laga, pun mereka yang masih belia dan baru saja ingin menunjukkan ilmu kanuragan.
Setiap panggung pasti akan ramai dengan teriakan. Dari mulut para hulubalang terkoar angka-angka dan deretan abjad huruf saling mengait. Dan dari para pendekar sendiri, jurus-jurus lama pun masih digunakan, janji diumbar sana-sini, kebijakan disembur kiri-kanan, dan memberi menjadi ajang keharusan balas budi.
Memberi pun sudah menjadi bagian dari ritual kelicikan. Kelicikan-kelicikan datangnya dari masalalu, kita mempelajarinya, dan meskipun sebagian sudah menjadi sifat naluriah manusia. Kelicikan masih akan tetap ada, dan bertahan selama lawan terlalu tangguh untuk dikalahkan. Dan entah apa yang akan terjadi jika masyarakat dididik oleh kelicikan.
Ada beberapa masyarakat yang mulai rindu dengan politik gaya lama, bukan ketika doktrin merajalela, tapi di saat keikhlasan mereka memilih ― yang menurut mereka, ia mampu memimpin. Tanpa otak mereka dijejali setumpuk koin.
Sayembara besar akan digelar 9 April nanti. Kita memilih sendiri kebaikan untuk negeri ini. Karena kemenangan bukan berada di lengan baja dan kecerdikan para pendekar layaknya di sayembara. Tapi murni ikhtiar kita tuk memilih. Siapa sang pendekar yang pantas dipilih, atau sang pecundang yang tak pantas dipilih.
Powered by Telkomsel BlackBerry®
Mengingat hal itu, kampanye pileg adalah serupa sayembara. Saling mempertontonkan kehebatan laku, diadu, meski bukan otot tapi lebih kepada kecerdikan. Tapi apakah masih ada politisi yang memakai kecerdikan strategi dan taktik, di masa semua rakyat seperti buah-buahan yang dilabeli price. Halal dan haram dilebur oleh kebutuhan dan kepentingan.
Kita pun tahu, perangai para pendekar di atas panggung di masa kampanye, setiap ucap mereka masih mengandung enigma. Baik itu dari para pendekar yang sudah berkali-kali maju di medan laga, pun mereka yang masih belia dan baru saja ingin menunjukkan ilmu kanuragan.
Setiap panggung pasti akan ramai dengan teriakan. Dari mulut para hulubalang terkoar angka-angka dan deretan abjad huruf saling mengait. Dan dari para pendekar sendiri, jurus-jurus lama pun masih digunakan, janji diumbar sana-sini, kebijakan disembur kiri-kanan, dan memberi menjadi ajang keharusan balas budi.
Memberi pun sudah menjadi bagian dari ritual kelicikan. Kelicikan-kelicikan datangnya dari masalalu, kita mempelajarinya, dan meskipun sebagian sudah menjadi sifat naluriah manusia. Kelicikan masih akan tetap ada, dan bertahan selama lawan terlalu tangguh untuk dikalahkan. Dan entah apa yang akan terjadi jika masyarakat dididik oleh kelicikan.
Ada beberapa masyarakat yang mulai rindu dengan politik gaya lama, bukan ketika doktrin merajalela, tapi di saat keikhlasan mereka memilih ― yang menurut mereka, ia mampu memimpin. Tanpa otak mereka dijejali setumpuk koin.
Sayembara besar akan digelar 9 April nanti. Kita memilih sendiri kebaikan untuk negeri ini. Karena kemenangan bukan berada di lengan baja dan kecerdikan para pendekar layaknya di sayembara. Tapi murni ikhtiar kita tuk memilih. Siapa sang pendekar yang pantas dipilih, atau sang pecundang yang tak pantas dipilih.
Powered by Telkomsel BlackBerry®
Friday, April 4, 2014
Dunia Durga
Takjub, kala Durga menangis di altar kuil
Tertunduk, diberati airmata
Sembari membalun segelung kain bertuliskan ayat-ayat durja
Tentang dunia yang bengis mengiris nadi bocah-bocah
Para petapa pun tahu kalau tinta itu, airmata pena
Menangisi Durga dengan goresan sajak luka
Masih saja tentang dunia
Dunia yang muskil dan mustahil
Dari dalam kuil sontak lonceng berdentang
Angin menderu dan aroma mawar menjadi bacin
Sekali lagi Durga tertunduk
Meratapi kebisingan dari reruntuhan kuil
Baru pada ujung anak tangga menurun
Ia tersenyum tanpa sebab
Lantas ia tertawa dengan wajah seram
Berbaur watak-watak manusia di rautnya
Durga meratapi dunianya, dunia kita
Yang ia sendiri lupa ketika melebur dalam materi
Mengecup kening manusia-manusia yang telah kering
Kemudian mereka bangkit mengurapi betis Durga
Tuhan, Dewa, dan siapa saja yang Maha
Aku ingin menjadi manusia saja
Teriak Durga
Powered by Telkomsel BlackBerry®
Tertunduk, diberati airmata
Sembari membalun segelung kain bertuliskan ayat-ayat durja
Tentang dunia yang bengis mengiris nadi bocah-bocah
Para petapa pun tahu kalau tinta itu, airmata pena
Menangisi Durga dengan goresan sajak luka
Masih saja tentang dunia
Dunia yang muskil dan mustahil
Dari dalam kuil sontak lonceng berdentang
Angin menderu dan aroma mawar menjadi bacin
Sekali lagi Durga tertunduk
Meratapi kebisingan dari reruntuhan kuil
Baru pada ujung anak tangga menurun
Ia tersenyum tanpa sebab
Lantas ia tertawa dengan wajah seram
Berbaur watak-watak manusia di rautnya
Durga meratapi dunianya, dunia kita
Yang ia sendiri lupa ketika melebur dalam materi
Mengecup kening manusia-manusia yang telah kering
Kemudian mereka bangkit mengurapi betis Durga
Tuhan, Dewa, dan siapa saja yang Maha
Aku ingin menjadi manusia saja
Teriak Durga
Powered by Telkomsel BlackBerry®
Subscribe to:
Posts
(
Atom
)