Rabu, 13 Agustus 2014

Kopi Kotamobagu

Tidak ada komentar

Kopi Kotamobagu


Gunung Ambang terlihat dari Tudu Passi.
Gunung Ambang terlihat dari Tudu Passi.

Kotamobagu adalah salah satu kota di provinsi Sulawesi Utara. Dulunya wilayah ini menjadi ibukota kabupaten Bolaang-Mongondow. Setelah terjadi pemekaran wilayah, Kotamobagu menjadi masuk wilayah kotamadya dan ibukota kabupaten berpindah ke kota Lolak. Wilayah Kotamobagu dikelilingi pegunungan. Dari sekian gunung yang di sana terdapat satu gunung yang paling mencuat. Gunung Ambang namanya.

Dari tanah di sekitar gunung Ambang inilah dulu kopi Kotamobagu dihasilkan. Sama seperti wilayah lain di Nusantara, kopi menjadi tanaman yang wajib tanam penduduk pada jaman penjajahan Belanda di daerah ini. Tanaman kopi ditanam di lahan belakang rumah atau di lahan perkebunan. Sampai sekarang sebagian kecil penduduk desa masih mempertahankan untuk membudidayakan tanaman kopi.

Desa saya, desa Passi, terdapat di bagian puncak salah satu bukit di Kotamobagu. Dari desa ini jika kita naik ke puncak bukit yang disebut Tudu Passi, kita bisa menikmati kopi Kotamobagu sambil melihat pemandangan yang terhampar luas termasuk kerlap-kerlip Kotamobagu di malam hari.
Secangkir Kopi Kotamobagu siap disruput.
Secangkir Kopi Kotamobagu siap disruput.

Ada satu kisah yang menohok hati beredar kala kopi masih menjadi pundi gulden bagi kas kolonial Belanda. Kisahnya, di setiap dasar lesung yang terparkir di rumah-rumah penduduk diberi plakat dari tembaga yang berguna untuk memantau lesung itu digunakan untuk menumbuk padi atau biji kopi. Siapa yang ketahuan telah menumbuk kopi akan dihukum tembak. Bayangkan saja, untuk menikmati secangkir kopi nyawa menjadi taruhan. Di hitam cangkir kopi kita sekarang, selalu ada cerita kelam dan perjuangan di baliknya. Ada kisah penindasan juga kisah heroik yang tenggelam di hitam kopi. Karena dengan tindakan sewenang-wenang penjajah saat itu, bangkit jiwa untuk melawan dari rakyat. Kopi adalah revolusi. Hal ini memperkuat pendapat bahwa di setiap revolusi ada andil bercangkir-cangkir kopi yang menghadirkan buah-buah pikiran perlawanan.

Setelah masa kemerdekaan Republik Indonesia tahun 1945 hingga kini kopi Kotamobagu masih tetap bertahan dari segala perubahan jaman. Meski banyak juga yang telah menggantinya dengan tanaman yang lebih menjanjikan seperti tanaman vanilli dan cengkeh, karena mengejar harga vanilli dan cengkih yang sempat melambung tinggi. Tanaman kopi masih terus bertahan di daerah kaki gunung Ambang, tepatnya di kecamatan Modayag. Desa-desa di kecamatan ini sebagian kecil masih menjadi penghasil tanaman kopi. Dulu, sebagian dari penduduk desa ini datang dari pulau Jawa sebagai buruh di perkebunan kopi pada jaman penjajahan Belanda. Sampai masa kemerdekaan mereka beranak-pinak dan memilih tinggal. Sekarang, para penghasil kopi sudah tersebar di wilayah-wilayah lain di kabupaten ini.

Kopi Kotamobagu merupakan jenis arabica yang ditanam pada ketinggian 600-2200 mdpl di kaki dan punggung gunung Ambang. Kopi Kotamobagu sudah cukup terkenal kenikmatannya. Dalam gala dinner antara pemerintah Republik Ceko dan Kedutaaan Besar Indonesia kopi Kotamobagu turut dihadirkan. Kopi ini merupakan trade mark provinsi Sulawesi Utara, dan menjadi satu-satunya produk kopi berkualitas di sana yang tidak kalah dengan jenis kopi-kopi lainnya di Indonesia. Meski kita tahu bahwa soal citarasa mungkin lebih bersifat subjektif, tapi untuk bisa berkomentar lebih Anda harus mencoba kenikmatan kopi Kotamobagu ini.
Kopi Kotamobagu
© kopikotamobagu.com

Ada satu kedai kopi di Kotamobagu yang sekarang cukup populer meski tempatnya kecil layaknya kedai-kedai kopi biasanya. Tak sulit untuk menemukannya karena kota ini tak terlalu besar. Letaknya tepat di depan lapangan desa Sinindian yang tak jauh dari pusat kota Kotamobagu. Namanya mirip dengan nama tempat minum kopi di kota Manado yakni Jarod (jalan roda). Bedanya di sini bukanlah sederetan kedai-kedai kopi. Hanya ada satu kedai kopi. Saya lebih suka menamainya Kedai Kopi Aba' (sebutan di sini untuk orang tua yang artinya sama dengan sebutan ‘Abah’). Aba' pemilik sekaligus peramu kopi cukup familiar di seantero Kotamobagu.

Meski kedainya sederhana tempat ini dilengkapi fasilitas jaringan wi-fi, dengan pengunanya dipungut biaya Rp 5.000 setiap datang berkunjung. Aba' tak ketinggalan jaman meski usianya hampir menginjak 50 tahun (prediksi saya). Selain untuk menarik pelanggan, Aba' cukup tahu apa yang dibutuhkan orang-orang saat ini untuk bisa mengakses informasi selain tumpukan koran di meja rotannya. Itu yang membuat banyak mahasiswa dan wartawan sering mangkal di sini. Para pejabat kabupaten sesekali juga datang berkunjung, kemudian berbincang-bincang soal isu hangat perkembangan politik. Secangkir kopi dan roti bakarnya harganya cukup murah meriah. Uang limabelas ribuan tak akan tandas di kantongmu.

Sebenarnya selain di kedai kopinya Aba', ada beberapa tempat tongkrongan lain yang menyajikan minuman kopi di kota ini tapi tak sepopuler tempatnya Abak. Mungkin karena rasanya yang khas mampu meringkus hasrat orang-orang untuk selalu kembali ke sini. Kopi ini dibikin dari sejuta pengalaman hidup Aba' dengan cerek kopinya. Cara membuatnya pun sederhana. Cukup menjerang air dengan campuran kopi Kotamobagu dan gula yang hanya Aba' sendiri tahu takarannya. Kopi panas tersaji begitu cepat dan cekatan. Sempat saya berpikir, jika Aba' nanti mangkat, posisinya akan digantikan oleh siapa, karena tak pernah saya lihat ada orang lain di sana selain tubuh ringkih namun cekatan ini. Semoga saja Aba' selalu dianugerahi kesehatan dan umur panjang agar kami masih tetap bisa menjadi bala seruputnya. Satu yang Aba' tak bisa lakukan adalah menahan tidur dengan lebih lama, pukul 01.00 lewat tengah malam ia sudah dibuat menyerah oleh kantuk. Dan para pengunjungnya pun memaklumi.

Hingga hari ini saya cukup lega karena meski telah menetap di Bali, tapi masih saja sering dikirimi kopi Kotamobagu oleh keluarga. Pernah pula saya membaca buku Dewi Lestari, Filosofi Kopi. Dari sana saya bersama seorang teman tergerak hati ingin membuka rumah kopi sekaligus rumah baca di kota Lolak. Kami memilih kota itu, karena selain tak ingin bersaing dengan kedai kopinya Aba' atau lebih tepatnya khawatir kalah bersaing, lahan di sana adalah satu-satunya lahan yang tersedia dan milik teman saya. Kedai impian itu bakal diwujudkan sekembalinya kami dari perjalanan mengelilingi nusantara. Teman saya pun masih akan menyelesaikan studi di kota Makassar.

Secangkir kopi adalah mimpi. Hitamnya adalah warna pembuka kita saat bermimpi. Hari ini, mau pagi, siang, sore atau malam, saya masih menyempatkan diri beranjak untuk menjerang segelas air, dengan dua sendok kopi Kotamobagu, satu sendok gula pasir “Persia” diaduk melawan atau pun searah jarum jam hingga uapnya berfatamorgana. Kopi Kotamobagu siap diseruput. Tersesap begitu nikmat di dalam mulut. Lengkaplah sudah komposisi hari ini.

(Artikel ini pernah dimuat di www.minumkopi.com website punyanya Puthut Ea (penulis), tapi ada beberapa kesalahan editing, jadi di sini saya edit lagi) :D

Kamis, 07 Agustus 2014

Gelora Ambang, Riwayatmu Kini...

Tidak ada komentar
Penulis: Kristianto Galuwo 

Gelora Ambang, stadion yang pernah menjadi kebanggaan kita. Saya yakin, ada banyak kenangan, pengalaman, kisah, dan prestasi yang pernah terukir di sini, oleh kita orang Bolaang Mongondow.
Bukan sedikit cerita yang pernah saya dengar tentang Gelora Ambang dari mereka yang di era 80 hingga 90-an adalah remaja-remaja yang aktif dan penuh kenangan di stadion ini. Ada lomba renang, pertunjukan sandiwara, teater, pacuan kuda, ragam perlombaan seni budaya, kejuaran atletik, dan pameran. Bahkan arena konser artis-artis lawas seperti: Nike Ardila, Poppy Merkuri, Andy Liani, Power Metal, Andromeda Band, Nicky Astria, Gito Rollis, Ikang Fauzi, dan sederet artis ibukota lainnya termasuk yang paling jadul, Euis Darliah. Saya salah satu yang pernah menyaksikan langsung  konser Power Metal, saat  masih duduk di bangku sekolah dasar.

Waktu melaju cepat, kekuasaan berganti,  stadion yang dibangun pada era kepemimpinan Bupati Drs Jambat Damopolii (alm) yang dahulunya dikunjungi ribuan manusia, kini sepi dari riuh kegiatan, bak bentangan belantara belukar yang mengubur ribuan kenangan pada masa keemasan di jaman 80 hingga 90-an.

Tapi stadiun ini, di awal millenium, seolah kembali menemukan roh-nya lewat aksi Persibom yang seolah hadir sebagai pengganti kuda-kuda pacu yang ‘mati’, pertunjukan seni budaya yang hilang, perlombaan ragam jenis olah raga atletik, entertain, serta pameran pembangunan yang dahulu biasa di gelar pemerintah kabupaten di tempat ini.

Saya mungkin adalah generasi penghabisan yang, masih sempat menyaksikan langsung kejayaan Persibom berlaga. Baru-baru ini, saat mencoba menengok kembali gambaran-gambaran yang pernah ada di stadion yang kini merana, sontak ada rasa sedih mengharu-biru dan menggulung dalam benak;  dulu kami berdesak-desakan di sini, mengantri tiket masuk, menyoraki Persibom, dan pulang dengan rasa bangga meski seringkali juga dengan kepala tertunduk.

Tapi pekan kemarin, ketika memacu sepeda motor ke tempat ini, mulut saya ternganga melihat Gelora Ambang yang kini bak hutan belantara; tribun depan yang digulung semak-belukar, puluhan mess atlit yang raib entah kemana hingga menyisakan reruntuhan pondasi pondok yang berbentuk semacam batu kubur yang tak dikenali. Lapangan basket yang digagahi belukar, arena teater yang menyimpan bau pesing jaman ‘purba’, dan pemandangan lain menyerupai bangunan bangunan ‘mati’ di Chernobyl  Ukraina.

Saya lantas berkendara  ke area tribun sebelah barat yang dibangun pada masa kejayaan klub sepakbola Fajar Bulawan era kepemimpinan Bupati Marlina Moha Siahaan. Tribun yang dulu disesaki para Bom Mania kini lebih mirip gudang  kayu  yang  jadi santapan rayap. Tinggal tunggu topan meniup maka bablaslah sudah.  Belukar juga ganas menggerayangi onggokan kayu yang rapuh.

Saat sedang miris dengan pemandangan ini, telinga saya menangkap sayup  suara anak-anak yang sepertinya datang dari arah kolam renang. Saya bahkan hampir tidak bisa menemukan jalan ke arah itu sebab belukar rimbun di mana-mana. Sejenak sempat usil berpikir, jangan-jangan itu suara penunggu Gelora Ambang. Maklum, suasana horror entah kenapa cepat menyergap  tatkala berada di sini.

Saya bergerak mencari ringkih suara yang tersisa itu dan akhirnya menemu jalan tikus yang menuntun saya memasuki area kolam renang.  Gerimis turun ketika itu. Ada empat orang  bocah laki-laki dan dua perempuan yang sedang mandi. Ada dua fasilitas kolam renang di sini; yang berukuran besar tinggal menambah kemirisan tatkala pemandangan yang ditampilkan adalah ubin raksasa tempat berkubangnya rawa dan tetumbuhan yang akan cepat benakmu mengambil prasangka bahwa, jangan-jangan ada anakonda bersemayam di situ, atau mungkin buaya, soa-soa (biawak), patola (ular piton) dan binatang berbisa lainnya. Sedangkan kolam yang satunya lagi, di mana para bocah sedang latihan berenang, itu satu-satunya fasilitas yang dirawat seadanya oleh seorang perempuan berumur  50-an yang biasa disapa Tanta Ebi.

Ia adalah penjaga  kolam. Suaminya “juru kunci” Gelora Ambang.  Perempuan ini membuka  kantin seadanya di tepi kolam yang menawarkan pisang goroho goreng sebagai menu andalan. Sebagai penjaga kolam yang luput perhatian dari pemerintah, ia cukup meminta Rp 3.000 kepada setiap orang yang datang mandi sepuasnya.

Usai bercakap-cakap sejenak dengan Tanta Ebi, saya pamit pulang dan menyempatkan diri  bersinggah di Kantor Pemkot Kota Kotamobagu hendak menemui  Asisten III, Dra Djumiati Makalalag, untuk bertanya seputar status Stadion Gelora Ambang yang masih terhitung sebagai aset Pemkab Bolmong.

Ia tak berada di tempat sehingga saya mengontaknya melalui telepon selular. Makalalag, menyampaikan bahwa saat pemekaran dan Ibukota Kabupaten Bolaang Mongondow pindah ke Lolak, aset itu masih terhitung sebagai aset milik Pemkab Bolmong dan hingga kini belum ada penyerahan secara resmi.

“Memang baru-baru ini antara Pemkot dan Pemkab, ada rencana pembahasan untuk penyerahan aset secara resmi. Tapi waktunya belum disepakati kapan persisnya,” kata Makalalag melalui pesan singkat via handphone, Rabu 30/10/2013, lalu ia menyarankan saya selaku wartawan lintasbmr.com supaya bertemu langsung dengan Sekretaris Daerah (Sekda) Kota Kotamobagu Mustafa Limbalo, atau menemui Kepala Dinas PPKAD.

Pada sebuah kesempatan saat  Dialog Publik yang dilangsungkan HMI Bolmong pada, Sabtu 16/11/2013, di Restoran Lembah Bening Sinindian, saya sempat bertemu Sekda Kota Kotamobagu Mustafa Limbalo dan menanyakan soal status Gelora Ambang. Dikatakan oleh Limbalo bahwa, Gelora Ambang memang terhitung sebagai  salah satu aset di antara 39 aset milik Pemkab Bolmong yang masih berada di wilayah Kotamobagu. Ia mengatakan, persoalan aset ini akan segera diselesaikan dalam waktu dekat ini.

Untuk diketahui, persoalan aset milik Pemkab Bolmong yang berada di wilayah pemerintahan Kotamobagu, hingga kini masih terkatung-katung pengelolaanya semenjak Ibukota Kabupaten Bolaang Mongondow pindah ke Lolak tahun 2010 silam. Mengemuka wacana  agar aset yang tertinggal, diserahkan saja pihak Pemkab Bolmong ke Pemkot Kotamobagu. Para pemangku kebijakan antara kedua belah pihak telah ada kata sepakat. Akan tetapi realisasi penyerahan aset tersebut hingga saat ini urung dilakukan. Alhasil, banyak aset terbengkalai, termasuk bekas Kantor Pemkab Bolmong dan sejumlah kantor SKPD, termasuk Rumah Jabatan Bupati di Bukit Ilongkow yang santer dijadikan lokasi judi sabung ayam oleh masyarakat.

Akan halnya dengan Stadion Gelora Ambang, aset yang satu ini memang sudah lama terbengkalai melewati hitungan 1 dekade bahkan  sebelum pemekaran terjadi dan jauh hari sebelum pemerintah kabupaten Bolaang Mongondow pindah alamat ke Lolak, kondisi stadion Gelora Ambang memang sudah ‘sakit’ kronis.

Ah, Gelora Ambang. Riwayatmu kini....

 (Tulisan ini pernah dimuat di media elektronik www.lintasbmr.com, waktu saya masih sebagai reporter di media itu. Saya bermaksud ingin mengabadikan tulisan ini di blog pribadi saya.)