Nama depannya kupikir dan yang belakang kuselancari internet. Sistha (kutambah H)
bagiku kata yang berkawan dan penuh persaudaraan, serupa lawan katanya
Brada. Kuanggap itu keren saat itu. Lalu kucari Ghasyafani di
internet, dari bahasa Arab yang seharusnya Kasyafani. Artinya murni
suci kebahagiaan. Sedikit lebay dan kelaki-lakian. Kuganti saja huruf
depannya. Kasyafani kedengarannya seperti kain kafan. Seram. Jika
kuganti, mungkin artinya pun berubah. Masa bodoh.
Berderetlah kata Sistha Ghasyafani, lalu kusingkat Sigi. Nama ini
satu-satunya di Desa Passi. Sigi yang berlesung pipit, jika besar
nanti lalu memperkenalkan diri, pastilah sumur mungil di pipinya itu
tergali. Coba kau menyebut Sigi, maka gigimu akan berderet rapi, dan
senyummu melebar mirip Joker.
28 April 2011, Sigi lahir di kamar hitamku di Passi. Saat itu aku
berada di Manado, tak sempat kudengar tangis pertamanya. Setelah
dikabari, aku begegas pulang, dengan uang gaji di kantong, untuk
membayar bidan yang membantu persalinan. Ibunya tak mau melahirkan di
klinik. Kamarku dipilihnya, tempat diciptakannya Sigi. Mungkin begitu
pikir ibunya.
Setiap hari lahir Sigi berikutnya, aku sering menulis. Saat di Bali
pun aku menulis. Juga di hari ulang tahunnya yang kemarin. Turut
merayakannya meski dengan enggan saat diberikan kue dan boneka, di
tengah tidur yang terganggu, Sigi sempat-sempatnya menendang kue.
Hampir saja.
Kali ini, Sigi empat tahun sudah. Namun nama depannya yang berkawan
dan penuh persaudaraan, tidak berlaku untukku. Tapi kali ini ada yang
baru darinya. Sejak ayahku berpulang Maret lalu, Sigi menjadi akrab
dengan neneknya. Anak yang dimanja memang selalu rindu. Di tanah
belakang rumah tempat ayah dimakamkan, buah-buahan sedang musim. Sigi
selalu minta diantar hanya untuk pergi memanen buah duku dan manggis.
Jika tas kreseknya kurang, ia menangis. Ayah berpulang, tapi Sigi
kembali. Pikirku.
Pernah sekali kudapati Sigi sedang mengunyah permen karet. Kuwanti
meski dengan nada tak keras, agar permennya dibuang. Sigi berlari ke
pelukan neneknya, dengan tangis yang meledak.
"Waktu kamu pergi ke kos, Sigi diberi permen, tapi malah menolak. Sigi
bilang nanti papa marah, gigi Sigi bisa rusak," terang ibuku keesokkan
harinya. Sialan, anak ini mulai bisa mengenali sosok ayah yang
pelarang.
Jika Sigi di rumah, rasa takutnya masih tersisa. Dengan segera Sigi
berlindung ke pelukan neneknya. Meski dengan senyum dan juluran lidah
mengarah padaku.
Sejenak, Sigi. Rambutmu serupa Medusa menggelung nasib ular berbisa.
Di kelopak mata bundarmu, ada kisah yang begitu hitam serupa warna bidang di angkasa. Penuh misteri yang dalam dan
jauh. Begitu rumit bukan? Namun sebenarnya Sigi selalu sederhana.
Bocah ini tak mau rumit dengan sekelumit gundah. Ia tertawa dan
berbicara dengan dialek kental, lalu berdengung dengan lagu yang entah
apa. Kau panggil Sigi, lalu ia menyahut.
Jika arti Kasyafani adalah murni suci kebahagiaan, mungkin setelah
kuganti huruf depannya menjadi Ghasyafani, artinya berubah. Tapi
pikirku, hitam kelopak matanya adalah warna suci. Kenapa harus putih?
atau cokelat seperti warna mata ibunya? Ah, masa bodoh.
Bagiku Sigi adalah hitamku yang dicipta dan dilahirkan di kamar
hitamku. Coba sekali lagi kau panggil, Sigi. Hitam bola matanya akan
berbinar.
Sigi hanya bisa kudekati kala tidur. Kuciumi lalu kubelai. Sayang
sekali, tentu saja kedua matanya terkatup. Pipinya datar tak
berlesung. Kala terlelap, aku menjaganya dari serbuan nyamuk.
Mengawasinya agar jangan terganggu lalu terbangun. Sebab, Sigi akan
mendapatiku di sampingnya. Lagi-lagi tangisnya akan menggelegar.
Matanya nanar seperti mata ibunya waktu bertengkar. Akhirnya, pelukan
nenek, di mana lari kecil berlabuh.
Hai Sigi. Tak banyak lagi yang bisa kutuliskan. Di masa remaja meski
seharusnya teruslah menjadi kanak-kanak, kelak tulisan-tulisan ini
bisa kau baca. Kuharap blog ini abadi hingga nanti. Mungkin ada yang
canggih kelak, tapi di sini Sigi bisa membuka tabung memori. Ada yang
perih dan sedih di sini, tapi suka pun jelas ada. Keduanya sering
bersanding.
Selamat ulang tahun yang ke empat Sigi. Tentu saja, jangan pernah
dewasa. Masa kanak-kanak adalah masa yang penuh keajaiban. Dewasa itu seperti permen karet.
Sinindian. Kos Kolam.
(23/4/2015)
5:06 am
bagiku kata yang berkawan dan penuh persaudaraan, serupa lawan katanya
Brada. Kuanggap itu keren saat itu. Lalu kucari Ghasyafani di
internet, dari bahasa Arab yang seharusnya Kasyafani. Artinya murni
suci kebahagiaan. Sedikit lebay dan kelaki-lakian. Kuganti saja huruf
depannya. Kasyafani kedengarannya seperti kain kafan. Seram. Jika
kuganti, mungkin artinya pun berubah. Masa bodoh.
Berderetlah kata Sistha Ghasyafani, lalu kusingkat Sigi. Nama ini
satu-satunya di Desa Passi. Sigi yang berlesung pipit, jika besar
nanti lalu memperkenalkan diri, pastilah sumur mungil di pipinya itu
tergali. Coba kau menyebut Sigi, maka gigimu akan berderet rapi, dan
senyummu melebar mirip Joker.
28 April 2011, Sigi lahir di kamar hitamku di Passi. Saat itu aku
berada di Manado, tak sempat kudengar tangis pertamanya. Setelah
dikabari, aku begegas pulang, dengan uang gaji di kantong, untuk
membayar bidan yang membantu persalinan. Ibunya tak mau melahirkan di
klinik. Kamarku dipilihnya, tempat diciptakannya Sigi. Mungkin begitu
pikir ibunya.
Setiap hari lahir Sigi berikutnya, aku sering menulis. Saat di Bali
pun aku menulis. Juga di hari ulang tahunnya yang kemarin. Turut
merayakannya meski dengan enggan saat diberikan kue dan boneka, di
tengah tidur yang terganggu, Sigi sempat-sempatnya menendang kue.
Hampir saja.
Kali ini, Sigi empat tahun sudah. Namun nama depannya yang berkawan
dan penuh persaudaraan, tidak berlaku untukku. Tapi kali ini ada yang
baru darinya. Sejak ayahku berpulang Maret lalu, Sigi menjadi akrab
dengan neneknya. Anak yang dimanja memang selalu rindu. Di tanah
belakang rumah tempat ayah dimakamkan, buah-buahan sedang musim. Sigi
selalu minta diantar hanya untuk pergi memanen buah duku dan manggis.
Jika tas kreseknya kurang, ia menangis. Ayah berpulang, tapi Sigi
kembali. Pikirku.
Pernah sekali kudapati Sigi sedang mengunyah permen karet. Kuwanti
meski dengan nada tak keras, agar permennya dibuang. Sigi berlari ke
pelukan neneknya, dengan tangis yang meledak.
"Waktu kamu pergi ke kos, Sigi diberi permen, tapi malah menolak. Sigi
bilang nanti papa marah, gigi Sigi bisa rusak," terang ibuku keesokkan
harinya. Sialan, anak ini mulai bisa mengenali sosok ayah yang
pelarang.
Jika Sigi di rumah, rasa takutnya masih tersisa. Dengan segera Sigi
berlindung ke pelukan neneknya. Meski dengan senyum dan juluran lidah
mengarah padaku.
Sejenak, Sigi. Rambutmu serupa Medusa menggelung nasib ular berbisa.
Di kelopak mata bundarmu, ada kisah yang begitu hitam serupa warna bidang di angkasa. Penuh misteri yang dalam dan
jauh. Begitu rumit bukan? Namun sebenarnya Sigi selalu sederhana.
Bocah ini tak mau rumit dengan sekelumit gundah. Ia tertawa dan
berbicara dengan dialek kental, lalu berdengung dengan lagu yang entah
apa. Kau panggil Sigi, lalu ia menyahut.
Jika arti Kasyafani adalah murni suci kebahagiaan, mungkin setelah
kuganti huruf depannya menjadi Ghasyafani, artinya berubah. Tapi
pikirku, hitam kelopak matanya adalah warna suci. Kenapa harus putih?
atau cokelat seperti warna mata ibunya? Ah, masa bodoh.
Bagiku Sigi adalah hitamku yang dicipta dan dilahirkan di kamar
hitamku. Coba sekali lagi kau panggil, Sigi. Hitam bola matanya akan
berbinar.
Sigi hanya bisa kudekati kala tidur. Kuciumi lalu kubelai. Sayang
sekali, tentu saja kedua matanya terkatup. Pipinya datar tak
berlesung. Kala terlelap, aku menjaganya dari serbuan nyamuk.
Mengawasinya agar jangan terganggu lalu terbangun. Sebab, Sigi akan
mendapatiku di sampingnya. Lagi-lagi tangisnya akan menggelegar.
Matanya nanar seperti mata ibunya waktu bertengkar. Akhirnya, pelukan
nenek, di mana lari kecil berlabuh.
Hai Sigi. Tak banyak lagi yang bisa kutuliskan. Di masa remaja meski
seharusnya teruslah menjadi kanak-kanak, kelak tulisan-tulisan ini
bisa kau baca. Kuharap blog ini abadi hingga nanti. Mungkin ada yang
canggih kelak, tapi di sini Sigi bisa membuka tabung memori. Ada yang
perih dan sedih di sini, tapi suka pun jelas ada. Keduanya sering
bersanding.
Selamat ulang tahun yang ke empat Sigi. Tentu saja, jangan pernah
dewasa. Masa kanak-kanak adalah masa yang penuh keajaiban. Dewasa itu seperti permen karet.
Sinindian. Kos Kolam.
(23/4/2015)
5:06 am
No comments :
Post a Comment