Tulisan tanggapan singkat saya, untuk sebuah artikel di www.arusutara.com, yang mengisahkan tentang tokoh Kartini, berkesempatan dibalas oleh Uwin Mokodongan. Namun kali ini, tanggapan itu diunggahnya lewat blog pribadi Leput Institute http://leputinstitut.blogspot.com/2015/04/untuk-sigidad-tanggapan-atas-tanggapan.html?m=1.
Uwin menanggapi soal kesalahan saya, mengenai kalimat yang berasumsi bahwa artikel Dengan Segala Hormat Ibu Kartini, yang ditulisnya, tidak sama sekali menegaskan ketidakpantasan Kartini menjadi tokoh emansipasi.
Saya sendiri pun heran, sebab pada artikel tersebut, asumsi yang berkeluk-keluk mempertanyakan dengan kata tanya yang begitu skeptis; kenapa? mengapa? di manakah? apakah? dan sejumlah deretan tanya yang tentu saja substansi tulisan tersebut, jika dibacai anak SMP pun jelas, bahwa Kartini tidak cocok jadi tokoh emansipasi.
Mengenai tuduhan Uwin memplagiat artikel tersebut pun, coba kais kembali tulisan saya, apakah tuduhan tersebut menunjuk tepat di ujung cuping hidung Uwin. Saya hanya menyampaikan, artikel itu mirip substansi, bahkan jika Anda-anda sekalian berselancar di dunia maya, bejibun artikel bertengger mempertanyakan kepatutan Kartini sebagai tokoh emansipasi. Jelas saya tidak menuduh Uwin plagiat, sama belum tentu plagiat, bukan? bisa saja ide, sebab kita sesama manusia, memiliki konsep yang sama, sekali-kali.
Mengenai tokoh Cut Nyak Dhien, sekali lagi, tidak ada tuduhan mengenai plagiat atas tulisan yang pernah dikirimi kawan saya. Bahkan, beberapa artikel yang akan kalian temui di internet, kerap menyandingkan Cut Nyak Dhien dengan Kartini. Saya malah merasa heran, Kartini yang diidentikkan dengan tokoh emansipasi dan Cut Nyak Dhien sebagai tokoh pahlawan perjuangan, jelas berbeda. Sama halnya dengan tokoh pendidikan Ki Hajar Dewantara. Masing-masing pahlawan memiliki spesifikasinya sendiri-sendiri. Lalu kenapa harus Cut Nyak Dien yang sudah bergelar tokoh perjuangan, yang sepantasnya menjadi tokoh emansipasi. Kalau mendebat soal tokoh perempuan di zaman baheula, tentu tak habis tokoh-tokoh hero dengan masing-masing ilmu "kanuragannya", lalu marilah saling mengklaim merekalah yang pantas atau lebih cocok.
Saya pun menyentil mengenai kultur islami dan kondisi sosial di Aceh, yang tentu saja berbeda dengan Jawa. Kondisi perang di Aceh pun berbeda dengan Jawa. Di lingkungan pada saat Kartini besar, kolonialisme tak segaduh Aceh. Kartini pun tak seleluasa Cut, yang adat istiadat bangsawan Aceh dan Jawa kala itu, cukup berbeda, meski pengaruh budaya islam telah sama-sama dicecap. Bahkan kekesalan Kartini terhadap islam, tak semulus pemahaman Cut.
Sekarang, yang ingin saya tanyakan, kenapa Kartini yang spesifikasinya keemansipasian, malah harus dipaksa diseret ke medan tempur? Lucu. Saya tidak akan membentangkan lebih banyak mengenai perbedaan kondisi Aceh dan Jawa, pada yang lampau itu.
Mengenai Kartini yang gemar membaca, Uwin lupa bahwa banyak perjuangan yang lahir dari sekadar membaca buku. Konsep-konsep feminisme barat yang dipelajari Kartini pun, ia tularkan ke lingkungan sekitar. Jika Kartini tidak pernah mempraktekkan ide-ide dalam teks yang ia bacai, kenapa ia digelari pahlawan emansipasi? Tidak mungkin akibat ada tanpa sebab, meski sebenarnya tidak pernah ada yang detail dengan sejarah. Bahkan menceritakan kembali pun bisa dianggap fiksi. Tak ada yang mampu merekonstruksi kejadian sedemikian sama dengan yang lampau. Sama halnya dengan keraguan-keraguan yang sedang Uwin bentangkan, yang berasal dari referensi sejarah pula, yang penuh dengan praduga. Sama halnya dengan yang Abendanon tuturkan lewat surat-surat Kartini. Asumsi saya, bisa jadi sejarah Kartini malah kurang diceritakan oleh Abendanon dalam surat-suratnya.
Saya juga semakin merasa geli, kepada barat yang selalu dianggap buruk. Bahkan entah kepada siapa Tjokroaminoto dan Bung Karno belajar. Habis sesat terbitlah gelap.
Uwin menanggapi soal kesalahan saya, mengenai kalimat yang berasumsi bahwa artikel Dengan Segala Hormat Ibu Kartini, yang ditulisnya, tidak sama sekali menegaskan ketidakpantasan Kartini menjadi tokoh emansipasi.
Saya sendiri pun heran, sebab pada artikel tersebut, asumsi yang berkeluk-keluk mempertanyakan dengan kata tanya yang begitu skeptis; kenapa? mengapa? di manakah? apakah? dan sejumlah deretan tanya yang tentu saja substansi tulisan tersebut, jika dibacai anak SMP pun jelas, bahwa Kartini tidak cocok jadi tokoh emansipasi.
Mengenai tuduhan Uwin memplagiat artikel tersebut pun, coba kais kembali tulisan saya, apakah tuduhan tersebut menunjuk tepat di ujung cuping hidung Uwin. Saya hanya menyampaikan, artikel itu mirip substansi, bahkan jika Anda-anda sekalian berselancar di dunia maya, bejibun artikel bertengger mempertanyakan kepatutan Kartini sebagai tokoh emansipasi. Jelas saya tidak menuduh Uwin plagiat, sama belum tentu plagiat, bukan? bisa saja ide, sebab kita sesama manusia, memiliki konsep yang sama, sekali-kali.
Mengenai tokoh Cut Nyak Dhien, sekali lagi, tidak ada tuduhan mengenai plagiat atas tulisan yang pernah dikirimi kawan saya. Bahkan, beberapa artikel yang akan kalian temui di internet, kerap menyandingkan Cut Nyak Dhien dengan Kartini. Saya malah merasa heran, Kartini yang diidentikkan dengan tokoh emansipasi dan Cut Nyak Dhien sebagai tokoh pahlawan perjuangan, jelas berbeda. Sama halnya dengan tokoh pendidikan Ki Hajar Dewantara. Masing-masing pahlawan memiliki spesifikasinya sendiri-sendiri. Lalu kenapa harus Cut Nyak Dien yang sudah bergelar tokoh perjuangan, yang sepantasnya menjadi tokoh emansipasi. Kalau mendebat soal tokoh perempuan di zaman baheula, tentu tak habis tokoh-tokoh hero dengan masing-masing ilmu "kanuragannya", lalu marilah saling mengklaim merekalah yang pantas atau lebih cocok.
Saya pun menyentil mengenai kultur islami dan kondisi sosial di Aceh, yang tentu saja berbeda dengan Jawa. Kondisi perang di Aceh pun berbeda dengan Jawa. Di lingkungan pada saat Kartini besar, kolonialisme tak segaduh Aceh. Kartini pun tak seleluasa Cut, yang adat istiadat bangsawan Aceh dan Jawa kala itu, cukup berbeda, meski pengaruh budaya islam telah sama-sama dicecap. Bahkan kekesalan Kartini terhadap islam, tak semulus pemahaman Cut.
Sekarang, yang ingin saya tanyakan, kenapa Kartini yang spesifikasinya keemansipasian, malah harus dipaksa diseret ke medan tempur? Lucu. Saya tidak akan membentangkan lebih banyak mengenai perbedaan kondisi Aceh dan Jawa, pada yang lampau itu.
Mengenai Kartini yang gemar membaca, Uwin lupa bahwa banyak perjuangan yang lahir dari sekadar membaca buku. Konsep-konsep feminisme barat yang dipelajari Kartini pun, ia tularkan ke lingkungan sekitar. Jika Kartini tidak pernah mempraktekkan ide-ide dalam teks yang ia bacai, kenapa ia digelari pahlawan emansipasi? Tidak mungkin akibat ada tanpa sebab, meski sebenarnya tidak pernah ada yang detail dengan sejarah. Bahkan menceritakan kembali pun bisa dianggap fiksi. Tak ada yang mampu merekonstruksi kejadian sedemikian sama dengan yang lampau. Sama halnya dengan keraguan-keraguan yang sedang Uwin bentangkan, yang berasal dari referensi sejarah pula, yang penuh dengan praduga. Sama halnya dengan yang Abendanon tuturkan lewat surat-surat Kartini. Asumsi saya, bisa jadi sejarah Kartini malah kurang diceritakan oleh Abendanon dalam surat-suratnya.
Saya juga semakin merasa geli, kepada barat yang selalu dianggap buruk. Bahkan entah kepada siapa Tjokroaminoto dan Bung Karno belajar. Habis sesat terbitlah gelap.
No comments :
Post a Comment