Ibunya perempuan tangguh. Kami akrab menyapanya Lince. Putranya adalah bocah hitam legam. Usianya masih lima tahun, saat kutemui lincah berlari di tanah lapang Elang Taruna Eropassi. Matahari mengguyur tubuh mungilnya hingga keringat mengucur. Bagus namanya.
Kemudian, rumah tangga Lince di ambang perceraian, yang membikin Bagus bimbang. Mau ikut ayah atau ibu. Namun kasih ibu menerangi jalan yang ia tapaki. Lince membesarkannya penuh cinta setelah perceraian.
Meski kami tengah berserak tawa dan mengunyah embun malam di bawah pohon tome-tome, Lince melesat cepat menuju rumah saat Bagus menangis dan mencarinya. Kemudian Bagus besar di Eropassi dengan gigi putih bersih.
"Biar saki, tetap musti gosok gigi," tutur Lince, saat aku berkesempatan mengunjungi Bagus yang, tengah dirawat di rumah sakit, beberapa bulan yang lalu. HB-nya sangat rendah. Wajah hitamnya memucat. Tapi senyum dan deretan gigi putih, masih di sana.
Kabar meninggalnya Bagus, kubacai di status BBM yang menumpuk. Inalillahi, dada kutepuk-tepuk. Jauh di Bolmut, tak sempat bersua tangis dengan ibundanya.
Tak disangka, Bagus yang tumbuh besar dengan fisik yang tampak setangguh ibunya, begitu cepat berpulang. Tubuhnya yang atletis sebab Bagus gemar berolahraga, kini terbujur. Sepakbola adalah masa depannya. Ia begitu gesit berlari menjemput bola, saat laga tarung antar desa atau sekolah, yang ia ikuti. Bagus kerap menjuarai beberapa lomba.
"Pokoknya main bola sampe di Jakarta sana," terang kilatan mata Lince saat itu.
Harap itu karam di hari Kamis yang penuh tangis. Foto-foto hanya bisa kupandangi di facebook dan BBM. Lince yang tangguh kini luluh lantak.
Matanya bengkak dan.... Ah, aku tahu seperti apa Lince meluapkan sedihnya. Meski masih memiliki putra kedua, di pernikahannya yang kedua, Duta masih begitu belia. Sedangkan Bagus adalah guardian-nya. Masih menunggu lama, untuk Duta tumbuh remaja. Kedua putranya ini berdarah Jawa, dari dua bapak yang berbeda. Tapi lahir dari satu perempuan yang telah mencecap ribuan luka, suka, dan duka, yang telah mengelilingi Nusantara.
Turut berduka cita dari kami Eropassi. Kami tahu sebesar apa sedihmu Lince. Namun kami pun tahu, setangguh apa dirimu. Bagus hanya sedang ingin berkunjung, atas undangan Tuhan, yang ingin menyaksikan kelihaiannya memainkan bola.
Kelak, saat Tuhan memanggil kita yang semoga saja di usia senja, piala-piala Bagus sedang berderet serapi giginya, menunggu kamu — Lince — si perempuan tangguh. Lalu silakan berpelukan menebus rindu. Sebab kita pun akan begitu.
Titip duka kami, yang tak sempat hadir pada pemakaman. Besarkan Duta menjadi Bagus yang kedua.
Kemudian, rumah tangga Lince di ambang perceraian, yang membikin Bagus bimbang. Mau ikut ayah atau ibu. Namun kasih ibu menerangi jalan yang ia tapaki. Lince membesarkannya penuh cinta setelah perceraian.
Meski kami tengah berserak tawa dan mengunyah embun malam di bawah pohon tome-tome, Lince melesat cepat menuju rumah saat Bagus menangis dan mencarinya. Kemudian Bagus besar di Eropassi dengan gigi putih bersih.
"Biar saki, tetap musti gosok gigi," tutur Lince, saat aku berkesempatan mengunjungi Bagus yang, tengah dirawat di rumah sakit, beberapa bulan yang lalu. HB-nya sangat rendah. Wajah hitamnya memucat. Tapi senyum dan deretan gigi putih, masih di sana.
Kabar meninggalnya Bagus, kubacai di status BBM yang menumpuk. Inalillahi, dada kutepuk-tepuk. Jauh di Bolmut, tak sempat bersua tangis dengan ibundanya.
Tak disangka, Bagus yang tumbuh besar dengan fisik yang tampak setangguh ibunya, begitu cepat berpulang. Tubuhnya yang atletis sebab Bagus gemar berolahraga, kini terbujur. Sepakbola adalah masa depannya. Ia begitu gesit berlari menjemput bola, saat laga tarung antar desa atau sekolah, yang ia ikuti. Bagus kerap menjuarai beberapa lomba.
"Pokoknya main bola sampe di Jakarta sana," terang kilatan mata Lince saat itu.
Harap itu karam di hari Kamis yang penuh tangis. Foto-foto hanya bisa kupandangi di facebook dan BBM. Lince yang tangguh kini luluh lantak.
Matanya bengkak dan.... Ah, aku tahu seperti apa Lince meluapkan sedihnya. Meski masih memiliki putra kedua, di pernikahannya yang kedua, Duta masih begitu belia. Sedangkan Bagus adalah guardian-nya. Masih menunggu lama, untuk Duta tumbuh remaja. Kedua putranya ini berdarah Jawa, dari dua bapak yang berbeda. Tapi lahir dari satu perempuan yang telah mencecap ribuan luka, suka, dan duka, yang telah mengelilingi Nusantara.
Turut berduka cita dari kami Eropassi. Kami tahu sebesar apa sedihmu Lince. Namun kami pun tahu, setangguh apa dirimu. Bagus hanya sedang ingin berkunjung, atas undangan Tuhan, yang ingin menyaksikan kelihaiannya memainkan bola.
Kelak, saat Tuhan memanggil kita yang semoga saja di usia senja, piala-piala Bagus sedang berderet serapi giginya, menunggu kamu — Lince — si perempuan tangguh. Lalu silakan berpelukan menebus rindu. Sebab kita pun akan begitu.
Titip duka kami, yang tak sempat hadir pada pemakaman. Besarkan Duta menjadi Bagus yang kedua.
No comments :
Post a Comment