Aku jatuh cinta dengan pantai. Sejak seragam putih-biru pertama kali berpasir di Pantai Lolan. Ini kolam punya siapa? Tanya polos anak SD yang kala itu turut ke pantai. Aku menjawab ini pantai milik bupati. Tawa pun lepas.
Jatuh cinta dengan pantai, tentu menyeret kenang yang kekal di mana saja kita berada. Dari pantai terindah di negeri ini, hingga menembus pantai-pantai di Boltim, negeri yang pertama kalinya kukunjungi dengan sedan Bumblebee di 2013. Iya, itu tahun pertama kali aku ke Boltim. Medan terjal Atoga sempat membikin lalu lalang kendaraan terkesiap; dari gerobak, mobil, motor, sepeda, bahkan sendal dan sepatu (bagiku sendal dan sepatu juga kendaraan yang bisa berfungsi dengan cara kita harus melangkah). Perasaan aneh tergurat di wajah mereka, sebab sedan yang dimodif 'ceper' bisa begitu leluasa merayapi gunduk dan cekung medan. Kami memang kurang waras. Aku, Uwin, Wiro, dan Onang. Berangkat dari kemabukan yang liar.
Tiba di Tutuyan, kaca mobil menurun dengan sekali pencet. Pantai berpasir hitam, namun masih terasa indahnya. Bentang laut memupus tatap. Desir berbisik saling bercakap dengan suara pasir tergilas, saat Bumblebee terparkir di tepi pantai. Berikutnya, tiga kali ke Boltim, yang inginku lihat hanya pantai. Gundah seperti larut bersama air garam, lantas meluap tak terkira tatap. Ah, pantai sering tak bising, itulah kenapa hening begitu mahal bagi yang tinggal di hingar perkotaan. Apalagi hening yang diantarai debur, desir angin, dan gesekan nyiur.
Dua tahun kemudian, di 2015 ini, jejak kaki bukan lagi di Boltim. Hae'-hae' (jalan-jalan, bahasa yang entah dari mana) atas tugas negara atawa lebih tepat nasib, menginjakkan kakiku di Pantai Pinagut di Bolmut. Dalam bahasa lokal, arti Pinagut adalah bebatuan yang menyembul dari bawah pasir. Kurang lebih begitu jelas Kakay di tepi pantai. Pantainya berpasir hitam, tapi setelah juang meloncati bebatuan, menapaki gelantung akar, dan lorong rerimbun pohon. Napas lepas keras. Ekspektasi serupa saat pertama kali menatap indah Pantai Dreamland di Bali. Pantai berpasir putih terhampar dengan buih ombak seperti saat membuka kaleng bir setelah dikocok. Pantai kembali menggali kenang yang kekal.
Di pantai ini, pertama kali aku berpikir mengabadikan air, pasir, patahan karang, dan keong, ke dalam botol Aqua (daripada dibuang lalu menjadi tumpukan sampah plastik). Kubawa ke kamar kos untuk dipajang. Pantai Pinagut ada di kamarku. Selang sebulan, ajak yang tiba-tiba membawaku ke Pulau Saronde di Gorontalo Utara. Sialan, dari keseluruhan pantai yang pernah kukunjungi, ini terindah dari yang terindah. Botol Aqua kembali mengekalkannya (bukan dalam ingatan). Bahkan saat ini, menatap botol Aqua saja, Pulau Saronde dengan pantai indah nian itu hadir. Apalagi yang bisa aku ceritakan di sini. Gambar selalu bicara lebih. Meski keindahan memang selalu subjektif. Tapi tunggu dulu, katanya di Bolmut masih ada pantai indah lainnya. Hmm... botol Aqua ready!
Jatuh cinta dengan pantai, tentu menyeret kenang yang kekal di mana saja kita berada. Dari pantai terindah di negeri ini, hingga menembus pantai-pantai di Boltim, negeri yang pertama kalinya kukunjungi dengan sedan Bumblebee di 2013. Iya, itu tahun pertama kali aku ke Boltim. Medan terjal Atoga sempat membikin lalu lalang kendaraan terkesiap; dari gerobak, mobil, motor, sepeda, bahkan sendal dan sepatu (bagiku sendal dan sepatu juga kendaraan yang bisa berfungsi dengan cara kita harus melangkah). Perasaan aneh tergurat di wajah mereka, sebab sedan yang dimodif 'ceper' bisa begitu leluasa merayapi gunduk dan cekung medan. Kami memang kurang waras. Aku, Uwin, Wiro, dan Onang. Berangkat dari kemabukan yang liar.
Tiba di Tutuyan, kaca mobil menurun dengan sekali pencet. Pantai berpasir hitam, namun masih terasa indahnya. Bentang laut memupus tatap. Desir berbisik saling bercakap dengan suara pasir tergilas, saat Bumblebee terparkir di tepi pantai. Berikutnya, tiga kali ke Boltim, yang inginku lihat hanya pantai. Gundah seperti larut bersama air garam, lantas meluap tak terkira tatap. Ah, pantai sering tak bising, itulah kenapa hening begitu mahal bagi yang tinggal di hingar perkotaan. Apalagi hening yang diantarai debur, desir angin, dan gesekan nyiur.
Dua tahun kemudian, di 2015 ini, jejak kaki bukan lagi di Boltim. Hae'-hae' (jalan-jalan, bahasa yang entah dari mana) atas tugas negara atawa lebih tepat nasib, menginjakkan kakiku di Pantai Pinagut di Bolmut. Dalam bahasa lokal, arti Pinagut adalah bebatuan yang menyembul dari bawah pasir. Kurang lebih begitu jelas Kakay di tepi pantai. Pantainya berpasir hitam, tapi setelah juang meloncati bebatuan, menapaki gelantung akar, dan lorong rerimbun pohon. Napas lepas keras. Ekspektasi serupa saat pertama kali menatap indah Pantai Dreamland di Bali. Pantai berpasir putih terhampar dengan buih ombak seperti saat membuka kaleng bir setelah dikocok. Pantai kembali menggali kenang yang kekal.
Di pantai ini, pertama kali aku berpikir mengabadikan air, pasir, patahan karang, dan keong, ke dalam botol Aqua (daripada dibuang lalu menjadi tumpukan sampah plastik). Kubawa ke kamar kos untuk dipajang. Pantai Pinagut ada di kamarku. Selang sebulan, ajak yang tiba-tiba membawaku ke Pulau Saronde di Gorontalo Utara. Sialan, dari keseluruhan pantai yang pernah kukunjungi, ini terindah dari yang terindah. Botol Aqua kembali mengekalkannya (bukan dalam ingatan). Bahkan saat ini, menatap botol Aqua saja, Pulau Saronde dengan pantai indah nian itu hadir. Apalagi yang bisa aku ceritakan di sini. Gambar selalu bicara lebih. Meski keindahan memang selalu subjektif. Tapi tunggu dulu, katanya di Bolmut masih ada pantai indah lainnya. Hmm... botol Aqua ready!