Selasa, 29 September 2015

Selamat Jalan Mak Dar

Tidak ada komentar
Panas terik Kotamobagu menyengat. Kemarau panjang yang melanda, mampu mengeringkan segala mata air. Tapi tidak untuk kabar duka yang bersusun di RU BBM hari ini. Kabar duka itu tak mampu membendung air mata. Inalillahi, ibunda dari kawan saya, Dar dan Eka berpulang.
Apa yang bisa dikisahkan dari sepiring kudapan pisang goroho stick (dipotong kecil-kecil), yang ditaburi bumbu penyedap Royco, dan sepiring tinutuan yang acapkali disajikan dengan senyum riang dan sekali-kali jenaka itu? Terlalu banyak.
Mak Dar, panggilan familiarnya, pertama kali saya singgahi dengan kerumunan kawan, di tahun 2007. Tatkala merasai pisang goroho stick, tinutuan, mi ojo, atau mi instan yang dihidangkannya, saya mencecap ada yang istimewa, yang bukan berasal dari semua sajian makanan itu. Dibandingkan dengan kantin-kantin lainnya, rasanya tak jauh beda.
Pisang goroho gurih dan kental tinutuan sama akrabnya dengan kantin-kantin di desa saya. Tapi ternyata, yang dirindui pengunjung
pun pelanggan adalah dabu-dabu (sambal) kepala ikannya. Itu yang begitu istimewa. Kepala ikan cakalang digoreng, lalu diolah bersama cabe, bawang merah, dan tomat yang digoreng pula. Setelah ditumbuk, warna kecoklatan dabu-dabu, dengan lelehan minyak goreng menambah kilatan yang membangkitkan selera. Ah, nikmatnya tak perlu ke sorga. Dabu-dabu Mak Dar, SAKTI!
Waktu itu kantin Mak Dar masih terletak di samping masjid Kelurahan Sinindian, Kotamobagu. Berada di pinggiran jalan raya, kantin itu begitu strategis. Pengujung bisa bebas memarkir kendaraannya di sayap
jalan. Bangunannya terdiri dari susunan papan kayu sederhana. Beberapa set meja kursi di dalam kantin hanya mampu menampung belasan orang. Ditambah dua buah meja yang dikelilingi bangku yang terbuat dari bambu, terletak di luar kantin. Pohon ceri memayungi pengunjung. Alangkah nikmat dan sejuknya.
Di zaman itu, rumah Kopi Korot tak ada apa-apanya. Kantin Mak Dar menjadi pusaran segala jenis pergaulan di Kotamobagu. Yang tua, muda, PNS, anak sekolah, kuliahan, begal, narapidana, pengangguran, dan sebagainya mengepung kantin Mak Dar. Saking terkenalnya, logo McDonald's yakni Mc'D, dijadikan logo M'Dar, yang tersebar begitu saja tatkala ponsel Blackberry makin menjamur. Tak ada Wi-Fi menjadi satu
keunggulan tersendiri di kantin ini. Pengunjung yang semula janjian,
bisa bercakap-cakap lama tanpa perlu terpaku lama ke gadget. Cerita saling bertukar, terurai, dan canda lepas meriuh.
Jikalau kita tengah dahaga dan lapar, usai menghabiskan malam yang begitu brengseknya, Mak Dar selalu sedia melayani dengan canda.
"Paling mabo le tadi malam." Lalu bongkahan es batu yang membeku di dalam botol aqua tersuguh; bersama nutrisari dingin, atau teh panas, pun kopi sesuai selera pemesan. Menu andalan adalah pisang goroho dan
tinutuan tentunya.
Usai sajian ditandaskan, tanpa sadar dari arah dapur, Mak Dar datang membawa sepiring lagi pisang goroho, kemudian ditambahkannya begitu saja di piring yang hanya tersisa butiran Royco dan keping-keping sisa.
"Gratis itu, makang jo."
Ah, Mak Dar bukan sekadar ibundanya Dar dan Eka. Ia adalah ibunda bagi mereka yang pernah merasakan garam pergaulan di Kotamobagu. Yang paling berkesan, Mak Dar selalu sedia menerima cek undur (ngutang). Ia adalah ibu kami saat perut mengerang. Ia selalu berbagi.
Sejak berpindah kantin, tepatnya di lorong depan masjid. Meski terselip, kantin Mak Dar masih ramai. Ada beberapa pelanggan yang
mungkin telah bertahun-tahun tak singgah, menyempatkan datang untuk sekadar bernostalgia. Ini membuktikan bahwa bukan tempatnya yang dirindui. Tapi dabu-dabu yang istimewa itu, yang mampu menggali ingatan ke masa lalu.
Akhir Agustus, saya dan seorang kawan terakhir kali mampir ke kantin Mak Dar. Senyum itu masih di sana. Sampai tiba kabar bahwa Mak Dar telah berpulang. Mak Dar seakan terlalu rindu dengan suaminya, Pak Dar
yang telah lebih dulu berpulang beberap tahun yang lalu. Lalu pergi membawa semua kenangannya.
Selamat jalan Mak Dar. Terima kasih untuk kenyang yang selama ini kaubagi.

Senin, 21 September 2015

Wartawan atau Hartawan?

Tidak ada komentar
Di kantor Walikota Kotamobagu, dua tahun lalu. Saya (media online) dan teman wartawan (media cetak), Kano', yang dulunya pernah karib di masa-masa masih sering urunan lima ribuan buat beli tjap tikoes, terlibat pembicaraan. Saya wartawan www.lintasbmr.com kala itu. Usai menandaskan tinutuan di kantin Pemkot, saya yang hanya punya uang pas untuk bayar sepiring tinutuan dan satu tahu goreng, mendatangi Kano'. Ia sedang sibuk membolak-balik halaman koran di atas meja. Saya yang mengamini kalimat "jika usai makan lalu tak merokok itu, rasanya seperti ditabrak truk" menyapanya.
"Kano' punya rokok?"
Ia mendelik beberapa detik. "Ah, kamu ini wartawan tapi tidak punya uang."
"Aih, justru yang aneh itu jika wartawan terus punya banyak uang." silatku.
Masih dengan kedua alis yang saling merangkul, ia mengeluarkan sebungkus rokok. Aaahhh!! Merdeka!! Tak jadi disambar truk 100 bola. Ha-ha-ha.
Saya baru tiga bulan menjadi wartawan kala itu. Mengaku jurnalis saja saya enggan. Disebut wartawan saja itu sudah lebih dari cukup, meskipun sebenarnya memang tak ada bedanya wartawan sama jurnalis. Hanya istilah kerennya wartawan itu jurnalis yang dipungut dari bahasa inggrisnya journalist. Dan saya saat itu belum keren. Bahkan sampai sekarang, saya masih lebih suka disapa wartawan.
Nah, banyak lika-liku setelah terjun di dunia kewartawanan di BMR. Hampir dua tahun, setelah sempat mencecap bagaimana rasanya menjadi wartawan media cetak di Radar Bolmong. Saya merasa sepertinya epistemologi (bahasa kerennya ilmu pengetahuan) sebagai pewarta masih belum memadai. Perlu banyak lagi yang harus dipelajari. Meski pengetahuan sekarang terserak di dunia maya yang, memudahkan kita mencari-cari referensi atau bacaan yang bisa menambah wawasan. Akan tetapi itu tidak akan cukup jika tak pernah ada rembuk antar sesama pewarta. Mendiskusikan kekurangan-kekurangan, apa yang kekinian, dan masih banyak lagi tentunya terkait jurnalisme.
Saya sempat iri dengan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Gorontalo. Sangat iri malah. Teman saya yang mengajak untuk bergabung, si Yudin Gajah, acapkali meledek dengan rentetan chat, menyoal; diskusi buku, film, dan sebagainya yang dilaksanakan AJI. Seperti baru-baru ini, Dandhy Dwi Laksono si penulis buku Jurnalisme Investigasi dan videografer film dokumenter di Ekspedisi Indonesia Biru, berkesempatan mampir di sekretariat AJI. Tentu saja, jika kita sadar bahwa profesi kita adalah wartawan, apapun kegiatan mengenai dunia jurnalistik pastinya menarik. Bukan lebih tertarik dengan open house, acara pelantikan ini, atau peresmian itu.
Saya sadar, sebagai diri pribadi, bahwa tak ada apa-apa yang bisa dipelajari di BMR, selama menjadi pewarta. Di sini, sebagian besar wartawan-wartawan masih membincangkan masalah penulisan yang kelebihan atau kekurangan huruf. Preposisi 'di' untuk kata kerja dan tempat. Meski karena faktor buru-buru acapkali menjadi alasan. Tapi, di AJI Gorontalo, apa yang didiskusikan wartawan-wartawan di sana jauh berabad-abad melampaui BMR. Buku Elemen-elemen Jurnalisme yang berisi sembilan elemen, dibedah. Dari kesembilan elemen itu, perlu ditambahi ini dan itu. Yang akhirnya bincang diakhiri dengan bertambahnya pengetahuan. Maka saya pun sadar, istilah jurnalis pantas disematkan kepada mereka. Salah satu alasan 'jempol' saya makin membesar, mereka sangat alergi dengan yang namanya 'amplop'.
"Bro, kalau mau kaya jangan jadi wartawan, jadi pengusaha!" Disusul dengan tawa meledek-ledak di udara. Aih.
Berat. Iya, sebenarnya profesi wartawan itu berat. Yang paling memberatkan adalah bagaimana telapak tangan kita ini dibikin berat untuk menerima amplop. Bagaimana agar lengan jangan diringankan.
Selama menjadi wartawan, saya masih bisa menghitung dengan jari, berapa kali saya menerima amplop. Tapi tak satu pun dari amplop itu berisi kesepakatan bahwa diharamkan memuat berita terkait si A dan si B. Itu amplop uang bensin atau makan sebagai tanda terima kasih, sebab nama si narasumber bakal menghiasi berita dengan pernyataannya. Bukan pula berita servis, sebab apa yang disampaikan narasumber memang berdasarkan fakta informasi yang saya tanyakan. Meski sebenarnya itu pun tergolong najis ringan. Siapa yang pernah buru-buru merobek amplop lalu uang ikut sobek? Ha-ha-ha. Teman saya pernah mengajak '86' sebuah kasus. Meski enggan akhirnya terpaksa saya ikut. Apalagi konfirmasi sangat saya butuhkan pada narasumber yang bakal ditemui. Uang ratusan ribu dibagikan, tapi satu-satunya berita yang naik hanya berita saya. Saya ditelepon dan ditegur habis-habisan. Ha-ha-ha. Najis memang. Tapi setidaknya saya tetap memberitakan.
"Namun alangkah lebih najisnya jika dompet kamu kosong, motor habis bensin, lalu dalam keadaan lapar kamu terpaksa keringatan mendorong sepeda motormu. Maka jika perlu ambil." Kata seorang sesepuh dunia jurnalistik di BMR. Beberapa kali saya coba menolak sebab masih ada sisa gaji terselip di dompet. Namun jika lagi kosong, apa salahnya. Lagipula ini bukan uang kesepakatan atas kasus yang tak perlu diberitakan, yang jelas amplop semacam itu tebalnya minta ampun. Saking tebalnya transfer antar rekening dilakoni. Selama menjadi wartawan, yang telah melewati dua kali momen Idul Fitri. Tak pernah telapak tangan ini menengadah. Gaji sudah lebih dari cukup. Yang pantas memberi THR hanya perusahaan yang menaungi.
Hari demi hari, akhirnya saya sadar. Bahwa letak kemuliaan profesi wartawan itu ketika melebihkan kepentingan warga di atas segala-galanya, tanpa mengharapkan amplop. Satu-satunya loyalitas wartawan itu kepada warga, tulis Bill Kovach di buku Elemen-elemen Jurnalisme. Dan benar pula, sebab wartawan adalah penyambung lidah, menyoal apa-apa kendala warga yang kita temui di lapangan, lalu diverifikasi kebenarannya pada yang berkompeten. Di sinilah, momen kemuliaan profesi wartawan diuji. Sebab setelah dikonfirmasi dan disampaikan kendala apa yang dialami warga. Amplop tebal tergolek di atas meja. Jantung berdegup kencang. Wartawan atau hartawan? Silakan pilih kemuliaanmu. Hey, it's not so easy being a JOURNALIST!

Minggu, 13 September 2015

Sipatuo, Kenakalan dan Kenangannya

Tidak ada komentar
Sipatuo. Nama toko ini entah dipungut dari bahasa apa. Tapi akhirnya internet sedikit menolong. Setelah berselancar beberapa detik, arti dan makna kata Sipatuo ditemukan di Yahoo Groups. Dan hasilnya, Sipatuo berasal dari bahasa Bugis, Sulsel, yang berarti membangun silaturahim, kerja sama, dan persaudaraan, agar tercipta harmonisasi dalam menjalani kehidupan. Aih, cakep. Apalagi yang menuturkan kalimat di atas adalah seorang ustad. Ha-ha-ha.
Nah, bagi saya dan para pembaca, yang pernah berkunjung ke Sipatuo di zaman baheula. Entah saat itu di tahun 2000 pembaca masih duduk di bangku SD, SMP, SMA, pasti akan melirik ke kiri atas untuk coba mengingat. Benar, Sipatuo adalah toko emas yang beralih fungsi menjadi sorga bagi para gamers.
Saya mula-mula ingat toko Sipatuo, saat sedang memindai beberapa game di aplikasi pencarian Android, setelah mulai agak bosan dengan CoC. Salah satu game pesawat tempur menarik perhatian. Star Fighters Strom Raid namanya. Cat kuning pintu toko Sipatuo di Jalan Kartini, Kotamobagu, tiba-tiba melintas. Senyum di wajah Mas si penjaga toko pun membayang. Meski Sipatuo toko orang Bugis, kami dulu terbiasa menyapanya Mas atau malah Pak Guru. Sipatuo telah menyita begitu banyak waktu kami, dibanding mata pelajaran.
Jam delapan pagi, remaja berseragam SMA sudah berbaris di depan Sipatuo. Saya salah satunya. Sedangkan yang SD dan SMP biasanya baru tiba saat jam istirahat.
"Pagi Pak Guru!" sapa kami sing a long, saat Mas membuka pintu toko.
Seperti Pak Guru yang terkesan ramah dan baik hati, Mas tersenyum dan membalas canda kami.
"Kemejanya dimasukin ke celana. Yang rapi anak-anak!" Mas memang memiliki selera humor di atas rata-rata.
Setelah menukar lembaran seribu menjadi koin, kami duduk berjejer rapi di depan kotak-kotak game. Yang doyan Raiden (game pesawat tempur) posisinya paling berdekatan dengan tempat penukaran uang, paling ujung ruangan. Sedangkan yang gemar Tekken dan Mortal Combat (game tarung) posisinya di tengah, atau berada dekat pintu. Ada game lainnya tapi saya lupa. Seingat saya (yang kurang merawat ingatan), ada lima kotak game saling berhadapan. Jadi jumlah keseluruhan kotak game ada sepuluh, tapi yang paling mendominasi adalah Tekken, ada sekira enam kotak. Saya menyebut kotak game, sebab monitor game itu didesain di dalam kotak setinggi sekira 1 meter, dengan lebar hampir 40 cm.
Nah, seminggu dua minggu di Sipatuo sejak pertama kali berkunjung, biasanya saya merogoh kocek lima sampai sepuluh ribuan. Itu dari uang jajan yang kala itu hanya tersisa tiga ribu setelah dipakai membayar mikrolet. Sedangkan sisanya, saya dapat dari 'memalak' gadis-gadis di terminal, dengan air muka keruh seperti belum makan seharian. Ha-ha-ha.
Setiap kali main, tiga koin ratusan 'ditabung' di 'celengan'. Jangan berharap 'celengan' itu bisa kita buka semaunya, sebab hanya Mas juru kuncinya. Setiap kali koin masuk ke kotak game, wajah Mas tersenyum puas. Mas jadi seperti Paman Sam yang menunjuk ke arah kami sembari berucap, "I Want You!"
Seperti pemilik modal kebanyakan, Mas memang butuh kami agar roda usahanya terus berputar. Jika 10 orang rata-rata merogoh kocek Rp5 ribu per orang, sudah Rp50 ribu yang masuk ke karungnya Mas. Sementara, gamers di Sipatuo hampir ratusan datang silih berganti, sejak dibuka pagi hingga malam hari. Hampir setengah karung koin setiap kali Mas memanen per kotak game. Di penukaran uang, koin-koin membumbung layaknya gudang penyimpanan uang milik Paman Gober. Mas juga lumayan pelit seperti Paman Gober.
Aturan dalam setiap kotak game, tiga koin ratusan untuk tiga nyawa. Sekali kita kalah, tersisa dua nyawa. Setelah dua nyawa habis, kita harus kembali memasukkan tiga koin.
Remaja, orang dewasa, anak-anak, perempuan, laki-laki, bahkan orang-orang uzur hinggap di Sipatuo. Kala malam hari, Sipatuo begitu benderang dan bising. Beberapa kali ada perselisihan, tapi akhirnya bisa didamaikan oleh Mas.
Di Sipatuo, anak-anak SD atau SMP, biasanya harus antri untuk bisa main. Sebab seragam putih abu-abu adalah penguasa Sipatuo. Mereka pun terkadang jadi mangsa para pemalak. Merampas permen bocah-bocah ingusan memang terlalu mudah. Itu berlangsung di depan toko, sebab jika terjadi di dalam toko, Mas bakal menegur.
"Jangan lagi ke sini!"
Dilarang ke sorga memang jadi ancaman yang serius. Kala itu Sipatuo memang belum ada tandingannya.
Tapi seiring waktu, ternyata usaha ini malah bukan terus berkembang. Rasa jenuh menghinggapi gamers. Selain itu, keahlian para gamers terus meningkat dan terlatih. Dari yang biasanya butuh berpuluh-puluh koin untuk bisa mencapai level terakhir. Kini hanya butuh tiga koin, level terakhir dari Raiden, Tekken, atau Mortal Combat bisa terlewati dengan mudah. Siapa yang pernah memamerkan tendangan bayangannya Hwoarang? sampai lawan di akhir turnamen menelungkup.
Misalnya kalau dalam game Raiden, saya pun sudah bisa menebak di mana letak sasaran yang bisa memberi nyawa. Cukup disasar sebuah pohon, lalu nyawa-nyawa tambahan akan bermunculan.
Namun Mas sendiri akhirnya, jikalau melihat kami yang sudah master, suka menegur dan memberi kesempatan para newbie (pemula) untuk bermain. Dengan harapan bisa meraup untung yang lebih besar, dari para newbie yang kantongnya lebih dalam. Tapi seperti kami, newbie pun akhirnya seiring waktu akan menjadi master.
Dan.... Mas tertunduk. Ada awan gelap di luar sana, selain maraknya razia para guru dan orang tua murid, pun Playstation telah terpajang di toko-toko elektronik. Dua ribu untuk sewa per jam, dirasa lebih murah. Ko' Cao' dan Kansis jadi pilihan lain bagi para gamers. Apalagi VCD Player yang suka menyetel tontonan syur menjadi bonus. Meski begitu, Sipatuo menurut penuturan teman melalui chat BBM, saat ia di bangku SD sekira tahun 2004-2005 masih tetap eksis. Tapi akhirnya, saya menemukan toko Sipatuo kembali ke bentuk dekorasi semula, pada tahun 2009. Seingat saya, Sipatuo kembali menjadi toko emas. Sekarang, entah telah menjadi toko apa.
Tapi, benar sudah, bahwa ada begitu banyak pelajaran hidup di Sipatuo. Kebersamaan pernah berada di sana. Silaturahim antara remaja-remaja dari penjuru sekolah di Kotamobagu. Meski pernah ada tengkar antar kelompok pelajar, akhirnya damai selalu tercipta, berbaur dengan tawa, teriak, dan bising Sipatuo.
Maka beruntunglah mereka yang sempat mencecap Sipatuo.
"Masa kecil dan remaja Anda sangat bahagia."

Jumat, 11 September 2015

Tuhan Yang Maha Mendengkur

1 komentar
Kerah kemeja seragam sekolah bersandi rumput kupelototi. Namaku Idra. Dan aku baru mau berangkat sekolah, tapi kemejaku bau dan kotor. Ini hari Senin.
"Maaaaaaak!!" raungku, "kenapa kemejaku tidak dicuci?"
Tak ada sahutan dari luar sana. Rumah ini setelah kepergian ayah setahun yang lalu, jadi serupa pemakaman. Peziarah hanya kakak perempuanku beserta keluarga andalannya. Yang lain, hanya ayam-ayam peliharaan Mamak.
Aku merayap ke luar, berharap ada mahluk melata lainnya yang bisa kuajak bicara. Tak ada siapapun. Aku kembali ke kamar lalu meraih kemeja tadi, bergegas menuju kamar mandi. Suara sikat seakan memenuhi seisi kotak ubin dingin.
"Ah, andai Tuhan bisa kumintai pembantu."
Gerutuku tak lantas meretakkan plafon kamar mandi, lalu turun seorang babu dari atas langit sembari bermandi cahaya. Slow motion. Kenapa setiap doa yang acapkali seperti menyuruh Tuhan, tak pernah dikabulkan meski hanya lewat kebetulan? Tuhan sedang tidur, mungkin. Aku bersolilokui.
Usai menyikat kerah kemeja, sandi rumput sirna tersihir gelembung deterjen. Yang kubutuhkan hanya mengeringkannya. Kulempar wajahku ke jam dinding, tersisa dua puluh menit agar aku tidak telat ke sekolah. Setrika kuambil di samping meja makan, lalu memanaskannya. Setrika menempel di kerah basah yang meringis berdesis dengan asap membumbung. Seperti bernyawa saja pikirku. Sejak tadi, keringat kembali mengucur deras meski aku sudah mandi.
"Indaaanggg!!" Suara Mamak menyihir rasa yang memadukan antara lega dan kesal. Nama itu panggilan rumahku. Ah, Indang. Asal jangan rendang atau kunang-kunang.
"Sedang apa?" tanya Mamak menggelembungkan rasa kesalku makin besar.
"Sedang menelepon," sembari membayangkan setrika ini kutempelkan ke kupingku, "sedang menyetrika, Mak. Kerah kemeja ini ditumbuhi rumput hitam seperti jarum pengukur gempa."
"Aduh, benar, Mak lupa mencucinya kemarin. Kakakmu menelepon minta meresep bebek panggang di rumahnya."  Apologi dengan dalil yang begitu sakti tak bisa dibantahi. Diracik dengan wajah Mamak yang tiba-tiba bola matanya menghitam, berkaca-kaca, dan bergelembung di sudut mata. Mamak sedang berakting lagi. Untuk kesekian kalinya.
"Sudahlah, lain kali biar Indang yang mencucinya. Kalau Mak bilang, Indang tak berharap lagi. Tapi, memang seharusnya Indang tak berharap." Bersamaan dengan keringnya kerah, aku pun bergegas ke kamar.
Terlambat. Pintu kelas ditutup rapat. Aku mengetuk sekali, dua kali, dan....
"Masuk!"
Suara Pak Jun terdengar tak berkawan dengan alasan. Nadanya begitu keras. Kalau boleh, kerasnya tadi itu disusul deretan pagar tanda seru, dengan tanda kutip geram.
"Kamu terlambat lagi Idra Nadim!"
"Maaf Pak, tadi ban motorku bocor di tengah jalan." Alasan klasik yang terlampau hambar dilempar. Bahkan jika dilempar ke anjing sekalipun, pasti anjing enggan mengendus lagi, hanya menggigit sebab tahu yang dilempar itu tulang plastik. Tapi mau alasan apalagi, seribu alasan berbeda, tetap saja aku terlambat. Alasan seringkali tidak mampu merubah penilaian. Apalagi penilaian Pak Jun si guru pelajaran Agama Islam.
"Kamu dihukum, pergi ke musola lalu catat 99 Asmaul Husna di bukumu. Usai mata pelajaran akan kuperiksa!"
Hampir sejam aku di musola, pun runut 99 nama Allah di lembar kertas sedari tadi usai. Pekerjaan ini memang mudah, aku tinggal browsing di internet. Namun batang hidung Pak Jun yang pesek itu tak kunjung kelihatan.
Hingga lonceng berdentang, Pak Jun tak datang. Aku memang sengaja dilupakan. Itu adalah hukuman terberat. Sengaja dilupakan.
"Sialan!"
Di rumah Tuhan nan mungil yang hanya bisa menampung 40 jamaah, aku tercenung setelah mengumpat. Dalam hati aku bertanya, mungkinkah Tuhan menghukum hambanya yang kerap terlambat salat?
"Idra, ayo pulang!" Panggilan itu menyayat lamunanku. Gilang tiba tanpa derak suara sepatu, seperti hantu. Atau memang aku yang tenggelam di lamun terlalu dalam.
"Aku lihat, ban motormu tak kempes."
"Ah, Gilang, kamu memang benda mati di ruang kelas. Seperti mistar."
"Maksudmu?"
"Itu yang kumaksud."
"Aku tidak mengerti maksudmu?" Alis tebal Gilang saling merangkul.
"Benda mati!"
Kemudian kejar-kejaran seperti Tom and Jerry terjadi. Untuk ukuran remaja yang duduk di bangku kelas dua SMA, Gilang berhasil bertahan setelah angkatannya sekarang sudah ngampus. Tapi, hanya ia satu-satunya sahabat yang pernah menolongku saat dikerubuti kakak kelas. Tubuhnya tinggi besar dan berkumis. Gilang masih keturunan Arab. Warisan bulu di sekujur tubuhnya cukup menjelaskan.
"Oh yah, Pak Jun kemana tadi? Kenapa ia tak datang ke musola?" Tanyaku penasaran sembari mengelap sadel motor.
"Istrinya menelepon, anaknya sakit."
"Sialan. Aku berpikir yang bukan-bukan tadi. Meski Pak Jun terkadang kejam, tapi di balik itu, ia memang jahanam!"
Gigi Gilang berderet tak beraturan saat tertawa.
"Kamu yang jahanam!"
Setelah itu sepeda motor kami berpisah di depan gerbang. Aku tak bergegas pulang, lalu mampir di toko buku Papirus yang biasa kusinggahi. Di rumah, sudah puluhan buku yang kujajani.
"Eh, Idra," sapa Sandra, perempuan berhijab penjaga toko. Usianya di atas 30, tapi terlihat masih 20an. Mungkin karena kulitnya putih, dibumbuhi dengan komposisi senyum yang acapkali tersimpul dan lesung pipit bak sumur di belakang rumahku.
"Ada stok buku baru?"
"Tadi ada, judulnya Iblis Menggugat Tuhan, sama.... Mmm... Sejarah Tuhan."
"Waduh, yang tuhan-tuhan gitu sudah banyak kubacai. Apalagi tadi barusan mengeja 99 nama Tuhan. Capek. Novel-novel atau kumpulan cerpen ada?"
"Iblis Menggugat Tuhan itu novel, tapi dari resensi kelihatannya ringan. Untuk usia remaja sepertimu mungkin bisa. Penuh tanya." lantas Sandra terkekeh.
"Kayak jual miras aja."
"Tapi buku memang punya standar pengetahuan. Tidak boleh dipaksakan. Dan IMT itu mungkin cocok denganmu."
Aku menuju rak di mana novel itu dijejerkan setelah bibir Sandra menyungging. Mataku tertuju pada sampul kuning. Di pinggiran sedikit jelaga hitam dan cokelat terpoles. Pria plontos kekar memunggungi dengan dua lengan mengepal mengacung. Seperti menantang. Nama pengarang tertato di punggung hitam pria tersebut. Shawni. Tiga lembar mirip papirus saling menindih di sampul bawah. The Madness of God.
Aku tertarik seperti ada kutub magnet setelah membaca sepenggal kalimat. "Kau bilang Adam berdosa gara-gara hasutanku? Kalau begitu, atas hasutan siapa aku melakukan dosa?"
Aih, buku ini pasti keren. Bisa menjadi referensi untuk menghujani Pak Jun dengan pertanyaan-pertanyaan. Sebenarnya, di kelas, Pak Jun acapkali terdiam lalu marah saat pertanyaan-pertanyaanku terlontas seputar agama. Itulah satu dari dua alasan kenapa Pak Jun tidak menyukaiku. Terlambat dan terlalu banyak bertanya. Padahal siswa kan, seharusnya begitu. Seram jika mengingat tampang Pak Jun plus dahi hitamnya.
"Jadi diambil?" Tanya Sandra meletaskan gelembung lamunanku.
"Ngutang dulu yah. Celengan bawah kasurku belum membumbung."
"Hmm.... Okelah." Disusul bibirnya tertarik ke kiri.
Sesampai di pemakaman, eh rumah, hanya hening yang kutemui. Mamak seharusnya sudah pulang dari kantor. Kesempatan. Aku menyelinap ke kamar Mamak, lalu bagai ninja Hatori. Seluruh tempat penyimpanan uang dari; laci, gelantungan tas, bawah bantal dan kasur, sampai akhirnya dua lembar lima puluh ribu kutemukan terselip di bawah kain pembersih kacamata. Di dalam kotak mungil itu, aku pernah menemukan tiga lembar ratusan ribu. Tapi hanya seratus ribu yang kuambil. Sesuai kebutuhan, buat bayar buku. Ada kredo yang kuusung selama ini; 'Daripada nyuri buku, mending nyuri uang ibu'. Maaf bang Chairil Anwar, aku tak lihai mencuri buku, apalagi penjaga tokonya cantik dan baik hati.
"Indang kamu sudah pulang? Pintu rumah tidak ditutup kembali. Kalau maling masuk, gimana."
Berjinjit ringan bagai pipit aku berlari keluar kamar Mamak. Kusahuti setelah tiba di dapur.
"Iya, Indang lapar jadi langsung ke dapur Mak." Jurus itu yang kupelajari selama ini pada Mamak. Mengelak.
Masih berselempang tas sekolah, aku menemui Mamak.
"Dari mana saja Mak?"
"Biasa, arisan Senin. Ditambah belum gajian, eh apes, Mak Rojiun yang dapat. Besok kalau lapar, makan di rumah saja, uang Mak tinggal beli lauk esok. Beras juga habis."
Kotak kacamata melintas begitu saja di hadapanku. Mamak melangkah ke kamar tidur. Tak lama ia pun mendengkur.
Langit di luar sana memerah. Layung senja mulai diterkam jelaga. Lalu kemudian menghitam. Di bawah cahaya bohlam aku membacai malam. Di beranda posisi duduk melantai dan menekuri buku yang, tergolek di atas paha kiri adalah yang ternyaman. Tapi hasrat membaca tiba-tiba sirna, sebab hanya kotak kacamata kembali berkelebat. Mamak belum terbangun. Kesempatan jadi Hatori.
Masih serupa pipit tanpa cicit, aku menyelinap ke kamar Mamak. Masih gelap. Dengkuran masih bergema di seisi ruangan. Di atas meja rias jemariku merayap, merabai kotak kacamata. Sebuah botol kecil kaca yang entah apa jatuh pecah di lantai. Sialan. 
"Indaanngg!!"
Siluet tubuh Mamak bergerak menuju sudut kamar. Lampu berpijar bersama tatap nanar.
"Mak."
Mata nanar itu merangkak tertuju ke dua lembar uang di genggamanku.
"Indang! Tak perlu begini. Kalau perlu minta! Selama ini Mamak tahu saat mulai kehilangan uang. Mak sebenarnya mau Indang jujur, minta Ndang, minta!"
Tak pernah kulihat muka Mamak merah pertanda marah sekaligus bulir-bulir air mata bergantung di sudut matanya. Tak terbendung, Mamak menangis. Ini bukan akting.
"Mak, Indang tak bermaksud.... Indang mau mengem...."
"Keluaaaarrrrr!!!" Teriak itu menggelegar. Tak pernah hatiku bergetar seperti ini. Aku lari keluar kamar setelah melemparkan uang kusut ke atas ranjang.
Motor kubiarkan terparkir, sama seperti buku yang menunggu di lantai beranda. Aku menuju kedai kopi yang tak jauh letaknya, hanya tiga kali menyudahi gang. Kantong kurabai, ponsel tak ada, uang pun nihil. Sebuah pipa besar di samping jembatan dekat kedai kopi, menjadi kursi ternyamanku sekarang. Sialan! Gara-gara buku itu aku nekat lagi mencuri uang.
Kerikil sebesar kelereng mengenai punggungku. Aku mencari-cari dari mana lemparan maha dahsyat yang mendebur punggungku. Aku memicingkan mata, di jejeran payung-payung kedai kopi, nampak sosok bertubuh besar melambaikan tangannya. Seketika sosok itu berubah menjadi peri mungil, bersayap, bertongkat, lalu mengabulkan dahagaku akan kopi. Gilang. Hampir empat puluh meter jauhnya, tapi kerikil itu sampai juga.
"Itu kerikil ketujuh," terangnya dengan raut muka heran, "ngapain kamu di sana?"
"Ah, tadi ada sedikit musibah di rumah."
"Namanya musibah itu tidak sedikit."
"Emang harus tsunami Aceh, gempa Jogja, gunung Krakatau meletus, baru dinamai musibah?" debat antara aku dan Gilang dimulai lagi, "berkawan denganmu saja itu adalah musibah!"
Bantah-bantahan terulang, meski akhirnya tawa menjulang. Kedua sahabat kental ini larut dalam buih-buih kopi susu dan cerita bersusun-susun. Tiba-tiba, Gilang menatapku seraya membenamkan pandang begitu dalam. Aku jelas mulai risih. Tapi Gilang terus terpaku. Baginya, aku seperti sebuah lukisan yang sedang tidak dimengerti lalu coba dimengertinya. Wajah kotakku, rambut cepak, dan tubuh yang agak gendutan, ditambah bola mata cokelatku jadi serupa lukisan pemandangan yang tak tepermanai. Aku jadi sahabat teruniknya.
"Gilang! Kamu kenapa?"
"Eh, nggak, aku pulang dulu ya."
Setelah membayar, Gilang pergi yang kali ini meninggalkan coretan kerut di dahiku. Aku pun melangkah pulang dengan harapan Mamak sudah kembali mendengkur. Sesampai di depan rumah, lampu dapur menyala. Aku berjalan ke samping kanan rumah menuju jendela dapur. Kudapati Mamak tengah merokok. Hampir sebulan Mamak berhenti merokok, setelah batuk hebat membikin bising di seisi rumah. Bising yang ia sendiri pun benci lalu memutuskan membuang dua bungkus rokok ke tong sampah. Mataku menemukan tong sampah non organik terbuka di samping pintu dapur. Beberapa sampah plastik berhamburan.
Aku berjalan menuju beranda untuk memastikan bukuku masih di lantai. Tak ada buku. Gagang pintu kuputar searah jarum jam, kubukai pelan-pelan agar Mamak tak menyadari kehadiranku. Bagaimana pun, gengsi sebagai seorang anak remaja yang diusir keluar rumah masih secuil ada. Bukuku kutemukan berada di atas kasur. Aku kemudian tertidur tanpa kuketahui apakah aku ini pendengkur. 
"Indang bangun, kamu harus ke sekolah. Seragammu sudah Mak cuci dan setrika."
Suara itu terdengar begitu bijaksana. Mamak seperti balita yang terlalu cepat lupa dengan tangis.
"Iya Mak." Aku menyahut selembut mungkin. Aku memang yang salah meski telah berniat mengembalikan uang itu.
Berangkat ke sekolah, aku memutuskan ke toko buku dulu. Meski aku yakin telat, tapi niatku tetap ke toko buku untuk mengembalikan buku. Aku paling takut berhutang lebih dari sehari.
Beruntung Sandra memang pekerja yang rajin. Pagi adalah pusaran rejeki menurutnya, untuk itulah pukul tujuh ia sudah membuka lebar-lebar pintu toko.
"Hai."
"Hei!"
"Sepagi ini?"
"Iya, aku mau mengembalikan buku ini."
"Loh, kan, bisa dibayar kapan-kapan. Kamunya sih yang terlalu cepat bayar hutang."
"Nggak, memang aku jadi tidak berminat membacanya."
"Itu buku bagus loh."
"Biarlah."
Buku Iblis yang penuh pertanyaan kritis itu pun kembali ke rak. Sandra terus menatapku heran. Setelah pamit aku memacu motor ke sekolah. Sepanjang jalan, bayang-bayang iblis yang mempertanyakan statusnya di mata Tuhan terus menggangu. Tapi pikirku, sudahlah, nanti kalau punya uang aku akan membelinya. Atau mungkin mencurinya. Sekarang, bang Chairil benar, mending mencuri buku daripada mencuri uang.
Setelah membujuk Pak Idun si satpam yang meski tampangnya seram, namun ada hati ibu peri dari balik otot-ototnya, aku diizinkan masuk.
"Masuk sana!"
Aku berlari menuju kelas berharap mata pelajaran Bahasa Indonesia baru dimulai. Itu pelajaran kesukaanku.
"Braakk!!!"
Buku-buku berhamburan. Aku terpental dan pot-pot bunga kuseruduk. Sedangkan orang yang bertabrakan denganku.... Sialan! Pak Jun!
"Anak kurang ajar!"
Pak Jun sambil mengurut dengkul terus mengumpat.
"Maaf Pak."
Tiga hari aku berdiam diri di rumah. Aku diskors hanya karena tabrakan dengan guru. Mana ada aturan hanya karena tabrakan, terus tidak harus mengikuti pelajaran selama tiga hari. Jumat baru aku bisa masuk sekolah lagi. Selama diskors, tak ada buku yang bisa kubaca, maka kuhabiskan dengan menonton film di laptop. Gilang sesekali ke rumah menawarkan film-film di laptopnya yang didominasi film Bollywood.
Mamak sepulang kerja menuju kamar tidur usai memberiku sebungkus nasi goreng. Berminyak tapi enak. Sebelum Mamak masuk ke kamar, aku iseng bertanya.
"Mak, menurut Mak, manusia itu akan benar-benar bertemu Tuhan jika mati nanti?
"Iyalah."
"Jadi bapak sudah bertemu Tuhan?"
"Pasti sudah."
"Lalu jika seperti kita ini yang masih hidup, akan ketemu Tuhan?"
"Indang, memang kita nggak ketemu Tuhan kayak kamu tabrakan sama Pak Jun itu. Jika seperti dua sisi mata koin, Tuhan dan manusia itu satu, bersama tapi tak saling pandang. Tapi jika melebur bersama, tak ada lagi dua sisi itu. Seperti koin logam yang dilebur. Nyatu Ndang."
Mendengar itu, aku seperti menemukan beribu buku ditutur Mamak. Setelah mengusap rambutku, Mamak masuk ke kamar. Tak lama suara dengkuran terdengar. Mamak memang selalu cepat tertidur. Andai saja tidur Mamak bisa kubeli. Aku melangkah menuju pintu kamar. Kupandangi wajah lelah Mamak. Aku melihat Tuhan yang sedang tidur.
Jumat aku tidak telat. Lalu hari bergulir begitu cepat. Senin kembali lagi, Monday itu Monster Day. Ah, Sabtu dan Minggu, weekend yang hanya kuhabiskan di rumah saja. Kini saatnya menekuri pelajaran Agama Islam. Pak Jun. Dan.... Terlambat.
"Kamu setelah bersemedi selama tiga hari di rumah, plus ditambah libur dua hari bukannya merenungi perbuatanmu!"
"Sana ke musola, catat kembali 99 Asmaul Husna dan artinya!"
Secarik kertas diserahkan Pak Jun. Gontai aku melangkah ke musola. Semilir angin mengusap wajahku. Setelah menjelajahi internet lagi, 99 nama Allah kutulisi satu per satu hingga nama terakhir. Setelah angka 99 aku menggenapinya 100. Al-Mamak. Yang artinya Tuhan Yang Maha Mendengkur. Pak Jun menggugat Indang.

Selasa, 08 September 2015

Osney

Tidak ada komentar
Namanya Osney, baru saja saya namai tadi. Saya sebenarnya jarang menamai hewan peliharaan atau ternak, sama seperti kucing, anjing, bebek, dan kambing yang pernah hidup di pekarangan dan rumah.

Osney ini jenis ayam yang ternyata setelah saya telusuri di wikipedia, tergolong endemik. Osney adalah ayam ketawa yang mulanya berkembang biak di kabupaten Sindrap, Sulawesi Selatan.

Lewat chat BBM, seorang kawan bernama Sandri berkata, "Sudah tepat kamu memelihara ayam itu." Usai ia memindai foto dan status saya di recent updates.

Saya tanyai balik, "Kenapa?"

"Coba kamu tengok, ayam itu menertawakan segala kegilaan di sekitarnya," balasnya.

"Ha-ha-ha. Nietzsche!" sambut saya.

"Ayam ini menertawai nasibnya yang bermula dari peliharaan para bangsawan Bugis, lalu berakhir di pogutatan," saya berseloroh.

Ah, nasib memang lucu, maka silakan tertawai sepuasnya.

Di wikipedia memang dijelaskan, ayam ketawa dikategorikan sebagai unggas endemik. Untuk itulah, ayam seperti Osney ini konon dulu hanya keliaran di lingkungan para bangsawan Bugis.

Benar sudah, Osney menertawai nasibnya yang sebagai simbol status sosial para darah biru di Bugis, kini harus berakhir di pekarangan belakang rumah saya.

Kisah Osney pun cukup dramatis, setelah saya tanyai ibu.

"Nenek Esa' (kakak kandung ibu) yang membawa ayam itu saat pogutatan tiga malam. Menurut ibu ayam itu dengan terpaksa dijual empunya, sebab sedang kesulitan uang. Si empu juga berpesan, kalau bisa jangan disembelih, tapi dipelihara saja," jelas ibu. Osney dibawa saat kenduri tiga malam berpulangnya ayah saya, Maret lalu.

Namun tanpa mendengar pesan empunya yang memang dianggap angin lalu oleh Nenek Esa', saya sudah menduga ayam ini spesial waktu ibu menyampaikan Osney jenis ayam ketawa.

"Jangan disembelih. Pelihara saja," pesan saya.

Tiba-tiba, seberkas cahaya dari langit menyoroti kandang Osney.

Ha-ha-ha. Nasib Osney terselamatkan, meski setelah itu saya tidak banyak menghabiskan waktu dengannya. Ibu yang sehari-hari memberi makan, sebab saya tidak lagi menetap di rumah.

Osney baru dibiasakan dilepas, setelah sempat dipelihara di perkebunan Desa Otam, desa yang letaknya tak jauh dari rumah saya di Desa Passi. Osney dititipkan kepada suami sepupu saya, sebab di rumah nasib Osney hanya terus meringkuk di kandang. Ibu takut melepasnya, dengan dugaan keras bahwa Osney bakal kabur dan tak pernah kembali lagi.

Hanya beberapa pekan Osney kembali diantarkan ke rumah, sebab hampir seluruh ayam peliharaan di kebun menjadi jajahannya. Osney dengan tajinya suka mengejar ayam-ayam lain, lalu menghajar dan menertawai mereka.

Setelah kembali ke rumah, karena sudah terbiasa dilepas, Osney pun merasa telah memiliki rumah dan keinginan untuk pulangnya perlahan-lahan muncul. Sehari-hari Osney dilepas pagi, lalu petang menggiringnya kembali ke kandang.

Namun naluri mengejar, menghajar, dan menertawai ayam-ayam tetap tak kunjung hilang. Osney masih diwaspadai di sekitar rumah meski oleh jenis ayam jago sekalipun, sebab taji Osney yang dibiarkan meruncing, mampu menyurutkan niat ayam jago untuk sekadar mengadu nasib dengannya.

Bagi Osney, nasib sudah terlalu kejam, jadi untuk mati pun sebenarnya Osney lebih rela berakhir di pertarungan, bukan di balik kandang para bangsawan Bugis atau sayatan pisau. Sekarang, Osney sedang menertawai keterkandangan sekaligus kebebasannya.

Barusan, setelah lama memindai dan mencocokkan dengan apa yang tertulis di wikipedia, ternyata Osney ini jenis ayam ketawa jantan yang biasa disebut Lai. Dari nada ketawanya pun Osney termasuk jenis Garetek yang kokoknya beritme cepat. Setelah dicocokkan lagi dari warna bulu hitam dengan goresan merah hati, Osney tergolong Lapping.

Dari bahasa Bugis, Lapping artinya menampung harta, sehingga dipercaya Osney dapat menampung harta. Hmm, penjelasan ini terbunuh dengan sendirinya sebab si empunya Osney terpaksa menjual Osney sebab sedang kesulitan uang. Satu alasan lagi yang membikin Osney tertawa. Ha-ha-ha.

Soal penamaan, Osney adalah kata yang berarti: iya, OK, siap, yang saya cipta sendiri. Banyak chat kawan di BBM, acap kali saya balasi Osney. Asal saja.

Setelah lama memandangi Osney saya hanya bisa tarcenung, sebab tidak seperti saya — manusia —yang bisa menentukan nasib, bisa berikhtiar, dan apapun hasil dari ikhtiar kita itulah takdir, sedangkan Osney sendiri hanya bergantung pada apa yang kita ikhtiarkan; mungkin Osney bisa dijual lagi, disembelih, dicuri, atau malah ditakdirkan tergilas mobil di jalanan.

Namun di sisi lain, Osney beruntung sebab bisa terus menertawai nasib. Nasib kita. Manusia.