Teuku Wisnu (sumber foto: www.pkspiyungan.org) |
Ya, karena ini namanya surat terbuka nan pendek, jadi mari kita membaca dengan pikiran terbuka tapi jangan pendekin akal kita. Saya memutuskan menulis surat pendek ini, sebab nasib saya hampir sama denganmu, Teuku Wisnu. Wajah saya juga tak jauh-jauh beda denganmu. Malah lebih ganteng saya. Aih!
Nah, seperti kata penyair Chairil Anwar: nasib adalah kesunyian masing-masing, maka kali ini saya memilih untuk tidak sependapat dengan penyair idola saya itu. Lalu menyatakan: nasib adalah keriuhan bersama. Sebab kenapa? Kita, manusia, terkadang memiliki kesamaan nasib. Bahkan dengan binatang pun bisa. Bukankah Chairil Anwar juga menyatakan itu dalam salah satu puisinya? Dengan lantang dia berkata: aku ini binatang jalang, dari kumpulannya terbuang.
Untuk kesamaan nasib kita, Teuku Wisnu, samanya di mana sih? Samanya di nama. Jelasnya begini, ketika saya membaca berita perihal niatmu untuk mengganti nama, saya seketika ingat semasa sekolah. Saat guru-guru pertama kali mengabsen, pasti mereka bertanya: agamamu Kristen? Saya kerap ditanyai demikian karena nama depan saya, Kristianto. Guru-guru mempertanyakan agama seseorang hanya dari nama.
Bukan hanya sewaktu sekolah, saat pertama kali bekerja di salah satu perusahaan swasta, saya juga ditanyai atasan dan teman-teman kerja: kamu Kristen? Saya acap kali tidak nyaman dengan pertanyaan itu. Bukannya saya tidak nyaman karena nama itu kesannya berbeda dengan agama yang saya anut, yaitu Islam. Tapi saya bosan ditanyai itu melulu.
Rasa penasaran saya memang baru muncul ketika itu. Lalu saya memilih bertanya kepada bapak, kenapa saya dinamai Kristianto. Setelah mendengar penuturan bapak, saya bertambah bangga dinamai Kristianto. Ternyata nama itu diambil dari atlet bulu tangkis legendaris Indonesia, Christian Hadinata. Meski ejaannya diubah, 'Ch' diganti 'K' lalu dibubuhi 'to' di akhiran. Mungkin bapak ingin, agar nama saya itu masih terdengar ke-endonesa-an dan ke-to-to-an, macam Soeharto. Hiks!
Ketika itu, saya lupa menanyai bapak, kenapa memilih atlet bulu tangkis, Christian. Apakah saat saya lahir, si Christian ini menang kejuaraan Asian Games, All England, atau Piala Dunia. Namun setelah saya telusuri di internet, ternyata benar. Masa keemasan Christian di era 70an dan 80an. Tepat di tahun 1983 saya lahir, dan mungkin saja di bulan yang sama, April, Christian berhasil merebut juara ganda putra bersama Boby Ertanto, di turnamen Malaysia Terbuka. Mungkin saja bulan atau harinya bertepatan dengan kelahiran saya. Ah, bapak, akhirnya anakmu ini tumbuh besar dan menjadi seorang jurnalis, bukan pebulu tangkis.
Itu sedikit setjarah nama saya, Wisnu. Dan sampai hari ini, saya bangga dengan nama itu. Saya coba membayangkan, ketika atlet pujaan bapak, yang pasti ditepuki riuh olehnya saat menang lomba, lalu bersamaan dengan itu, saya lahir ke dunia dan bapak seperti melihat titisan si Christian mungil lahir. Dan dengan bangganya menamai saya, Kristianto. Maka rasa bangga bapak saya saat itu, tidak bisa saya tebus dengan apa pun. Bahkan oleh sederet pialanya Christian.
Bisa jadi, hal yang sama juga terjadi kepadamu, Wisnu. Andaikan bapakmu itu benar-benar gemar menonton film dari tanah Hindustan, atau sering membaca epos Mahabharata dan Ramayana, juga doyan pewayangan, lalu dia sangat mengidolakan Dewa Wisnu, dan akhirnya memilihkan nama itu kepadamu. Maka betapa bangganya, sebab bapakmu berharap kamu bisa menyerap sifat-sifat luhur Dewa Wisnu. Bangganya pun itu tidak bisa ditukar dengan sederet nama-nama dewa.
Saya juga yakin, perasaan yang sama menimpamu. Mengenai penamaan yang kesannya melekat pada satu agama tertentu. Tapi tidak cukupkah nama depanmu, yang sangat ke-islam-aceh-an itu? Meski menurut saya, kenapa juga nama harus terbingkai dengan agama-agama?
Maka ketika saya membaca niatmu untuk mengubah nama--sebab "bisikan" dari Ustaz Bachtiar Nazir saat acara talkshow Makna dan Peristiwa yang bertema "Arti di Balik Nama" di salah satu stasiun televisi--yang alasannya namamu itu tidak islami, saya hanya bisa tertawa dan mengumpat dalam hati (kira-kira mengumpat dalam hati bisa dipidanakan?).
Hoi! Teuku Wisnu dan Ustaz Bachtiar Nazir! Siapa juga yang sejak bayi bisa memilih nama atau agama?
To... LOL!