Ismail (sumber foto: www.youtube.com) |
Pernah saat membeli rokok di sebuah warung, saya dilayani si empu setelah beberapa detik berlalu. Perempuan paruh baya itu sebelumnya terpaku di layar TV. Ismail saat itu sedang bersenandung. Jelas ia penggemar berat Ismail. Apalagi memang sekarang saya menetap di Kota Gorontalo. Kota asal Ismail, yang kini tengah mengadu suara dan nasib di kontes dangdut D'Academy 3, Indosiar.
Setelah itu, ketika perjalanan pulang saya melewati kerumunan orang yang serius melongo ke layar tancap. Musik dangdut berdentum. Ismail masih di sana.
Kota ini memang sedang demam Ismail. Hingga muncul jargon masyarakat Gorontalo yang menggemarinya berbunyi 'padeti Ismail' yang, kurang lebih diartikan sesuai bahasa Gorontalo yakni 'sikat Ismail'.
Meski saya pernah membaca status dari akun facebook Riden Baruwady, bahwa arti dari kata padeti sebenarnya mengecat atau memberi warna. Sedangkan kata yang mungkin lebih tepat seharusnya wadeti yang artinya sikat. Tetapi, entahlah. Saya juga belum belajar banyak bahasa Gorontalo.
Ismail saat ini memang tengah dipuja-puji di seantero negeri Binte Biluhuta ini. Sampai-sampai, jika ada orang yang berani berseberangan pendapat dengan penggemarnya, bakal dirisaki habis-habisan. Mudah-mudahan saya juga tidak dirisaki karena menuliskan ini.
Saya yang berasal dari Kabupaten Bolaang Mongondow (Bolmong), yang pernah serumpun dengan Gorontalo ketika masih di pangkuan Sulawesi Utara, pernah pula menemui euforia yang sama di negeri saya. Kala itu Bolmong tengah terhipnotis dengan suara merdu Abner. Ia salah satu kontestan Idola Cilik 2, tahun 2008.
Berasal dari Kecamatan Dumoga, Bolmong, Abner jelas mengundang dukungan yang cukup militan. Warga Bolmong di empat kabupaten dan satu kota, berjibaku mengirimi SMS dukungan untuk Abner. Dari kelas yang biasa mengisi pulsa lima ribuan, sampai kelas ratusan ribu.
Namun, akhirnya langkah Abner harus terhenti. Ia tidak berhasil lolos hingga ke babak grand final. Meski demikian, saat kembali ke Bolmong ia tetap dipuja. Undangan manggung di sana-sini berdatangan. Yang terjadi kemudian sangat disayangkan. Ketenaran itu hanya sesaat. Abner terlupakan seiring putaran waktu. Bahkan sampai saat ini kabarnya tidak pernah lagi terdengar.
Beberapa tahun kemudian, warga Bolmong kembali riuh dengan penampilan Novi. Ia berasal dari Bolaang Mongondow Timur (Boltim). Suaranya berbeda dengan Abner. Cadas dan berciri khas. Tapi nasibnya sama seperti Abner. Setelah gagal menuju grand final Idola Cilik tahun 2013, ia kembali ke tanah kelahirannya. Novi tetap banjir undangan menyanyi. Sampai akhirnya tergerus waktu pula. Lenyap di riuh panggung.
Abner dan Novi yang ketika pentas di Idola Cilik kerap didandani seperti orang dewasa, dan membawakan lagu-lagu orang dewasa pula, akhirnya tenggelam dari kepopularitasan. Bukan hanya mereka yang tidak berhasil lolos, bahkan mereka yang menjuarai Idola Cilik pun, nama-nama mereka redup satu per satu.
Tahun demi tahun bocah-bocah seperti mereka dicetak, dijadikan pundi-pundi rupiah, kemudian lenyap dari layar kaca dan industri musik. Pasar diciptakan hanya ketika stasiun TV dan para sponsor membutuhkan mereka pada setiap kontes. Meskipun tidak bisa dipungkiri, dalam setiap ajang hiburan semacam itu, ada beberapa yang beruntung dan karier mereka tetap bertahan.
Sama halnya dengan Abner dan Novi. Ismail, adalah salah satu pemilik suara merdu yang sedang mereka cetak. Dari cetakan-cetakan itupun akan kembali diseleksi, mana cetakan yang terbanyak meraup keuntungan. Mana yang terbanyak banjir SMS. Dan ia bakal didapuk menjadi pemenang.
Saya sempat bertanya-tanya dalam hati, apakah setiap kali pentas, kontestan mendapat jatah dari keuntungan perusahaan provider? Juga dari stasiun TV yang hitungannya sesuai rating sebagai magnet iklan?
Sampai di sini, akhirnya ada dua kemungkinan yang berlaku untuk Ismail. Pertama, jikalau ia lolos dan menjuarai kontes dangdut itu, seberapa lama uang hadiah dari kontes dangdut itu bertahan? Kalau mendapat kontrak album, apakah album itu disukai atau laku di pasaran? Terus seberapa kuat ia akan bertahan di Ibukota, sebab suara-suara merdu artis pendatang baru berbodi sintal dan seksi, serupa jamur di sana? Suara bagus pun tidak menjamin itu semua, karena penggemar selain menyenangi suara, lirik dan irama lagu pun jadi tolak ukur. Peran pencipta lagu juga sangat menentukan.
Kedua, jika Ismail tidak lolos ke babak grand final, saat ia pulang, masyarakat Gorontalo memang akan tetap menyambutnya hangat. Mengelu-elukannya. Seperti Abner dan Novi kala itu, Ismail pun akan banjir undangan di acara-acara hajatan, kampanye Pilkada, dan sebangsanya. Tetapi ketenaran di layar TV dan di panggung-panggung jelas berbeda. Untuk itu, pudarnya kepopularitasan secara perlahan sangat mungkin.
Tapi bisa jadi Ismail nanti memilih untuk berkarier di Gorontalo, dengan menelurkan album yang kemudian sukses di daerahnya. Saya pernah sekali memindai di youtube, lalu coba mendengarkan suara Ismail tatkala sedang pentas. Suaranya memang merdu dan mendayu-dayu. Tapi jika dibilang menghibur, lagu yang kerap dibawakannya bertema kesedihan. Orang sedih mendengar lagu sedih, ya tambah sedih. Benar, bukan? Yang aneh ketika mendengar lagu dangdut bertema kesedihan, tapi malah asyik berjoget.
Untuk Ismail, kita juga tidak bisa mengesampingkan perannya yang kerap berbusana Karawo, lalu mengenalkan potensi-potensi pariwisata di Provinsi Gorontalo. Mungkin bisa ditambah pula kampanye konservasi hutan mangrove di Gorontalo. Membuat tagar #SaveDanauLimboto bersama burung-burung migrannya. Tolak sawit dan penebangan pohon di Gorontalo. Dan lain sebagainya. Mumpung kesempatan iklan gratis di TV.
Dan untuk itu semua, semoga saja warga Gorontalo yang besorak-sorai kepada Ismail, tidak akan mengalami euforia yang sama, yang juga pernah dirasakan warga Bolmong ketika menyoraki Abner dan Novi kala itu.
Euforia... Sembari mengunyah permen karet.
No comments :
Post a Comment