Perjalanan pulang dari Kota Gorontalo menuju Kota Kotamobagu tempo hari, terasa begitu panjang. Penumpang lainnya yang terdiri dari para penambang tradisional, yang mengadu palu mereka di Desa Dongi-dongi, Kabupaten Poso, Sulawesi Tengah, mengisi ruang-waktu dengan perbincangan mengenai 'seteru' yang terjadi di sana. Antara penambang dan aparat keamanan.
Ada sekira 8 mobil beserta kami, yang digunakan para penambang untuk pulang. Mereka semua berasal dari berbagai desa di Bolaang Mongondow. Keluh-kesah tumpah-ruah. Mereka mengaku kesal, sebab keputusan pemerintah dan aparat keamanan untuk menutup areal tambang itu, membuat sebagian dari mereka pulang dengan tangan hampa.
"Jika sampai di Kotamobagu, terus dikabarkan tambang itu kembali dibuka, maka kami akan segera kembali ke sana," celetuk salah satu penambang, di tengah perjalanan yang belum seperempat tempuh.
Saya yang sedari tadi penasaran coba melempar pertanyaan-pertanyaan. Sebab dari desa asal saya, Desa Passi Bersatu, hampir sebagian pemuda dan orang-orang tua, juga pergi mengadu nasib di sana. Termasuk kakak saya.
"Yang kemarin beredar videonya, itu peluru karet?"
"Iya, peluru karet. Tapi banyak yang luka-luka. Coba inga jo, waktu kacili torang baramain prang-prang pake pluru dari tali kursi, saki to? (Coba diingat saja, sewaktu kecil kita bermain perang-perangan menggunakan peluru dari tali kursi, sakit kan?)" kata penambang yang satunya lagi.
Mengenai pungli yang dilakukan aparat pun mereka benarkan. Bahwa ketika hendak mengangkut material menuju tempat pengolahan, mereka kerap dimintai uang.
"Pokoknya lumayan kalau ditabung. Bisa beli motor jika puluhan penambang yang dimintai," kata seorang penambang yang duduk di kursi paling belakang.
"Yang 'dua bunga' saja suka mangkal di sana," terangnya lagi. Tanda pangkat seorang aparat pun diutarakannya.
Areal tambang di Desa Dongi-dongi yang tengah ramai itu, memang terletak di Taman Nasional Lore Lindu (TNLL). Hal itu yang menjadi alasan pemerintah daerah dan aparat keamanan untuk menutup pertambangan. Namun yang sangat disayangkan, jika niat untuk menutup areal pertambangan baru mencuat, ketika mereka sebagai penegak hukum telah puas menikmati hasilnya.
Para penambang yang terdiri dari masyarakat lokal dan pendatang, merasa diperas. Mereka yang menggaruk tanah, memalu, mengangkut, dan mengolah. Dan ketika mereka ingin menikmat, ternyata hasilnya harus dibagi lagi dengan aparat. Lalu tiba-tiba tambang ditutup.
Beberapa lembaga pemerhati lingkungan di Sulawesi Tengah, menyatakan pertambangan di Dongi-dongi bisa meningkat dengan cepat, sebab adanya sokongan aparat, baik TNI maupun POLRI. Tapi saya sendiri juga sedikit menyangsikan, sebab lembaga-lembaga pemerhati lingkungan seperti itu pun, terkadang lengan mereka juga ikut berlumpur.
Namun tidak bisa pula dipungkiri, bahwa jika aparat benar-benar turut mengamankan, maka keberadaan tambang ilegal di Dongi-dongi sejatinya tidak akan semenjamur itu. Dampak bagi rusaknya lingkungan, apalagi wilayah pertambangan yang terletak di TNLL, memang sangat mengancam.
Selain bencana banjir dan longsor sebab adanya pembukaan lahan dan penebangan pohon, potensi tercemarnya aliran sungai pun sangat mungkin. Apalagi di Dongi-dongi, terdapat sungai Sopu.
"Memang di areal tambang telah banyak pohon tumbang," kata sopir yang ternyata, sudah beberapa kali ke Dongi-dongi, untuk menjemput para penambang. Ia mengaku pernah menuju lokasi pertambangan di wilayah TNLL.
"Itu juga yang sebenarnya salah, tapi mau apalagi, kita-kita juga butuh makan," kata seorang penambang lagi.
Sudah hampir setengah perjalanan, seiring waktu ke enam orang penambang itu akhirnya diam. Mungkin mereka lelah. Saya pun akhirnya tertidur pulas. Saya dibangunkan sopir, yang memberitahu bahwa kami sedang mampir di sebuah rumah makan. Tepat di Desa Bintauna, Bolaang Mongondow Utara.
Hampir seisi rumah makan dipenuhi para penambang. Mobil-mobil yang mereka pakai beriringan tadi, juga memilih singgah di rumah makan yang sama.
Usai menandaskan makanan, kami melanjutkan perjalanan. Karena kekenyangan, saya kembali tertidur. Saya terbangun ketika kami sudah berada di Desa Lolak. Sepanjang perjalanan, pepohonan rindang saling merangkul, menjadi peneduh jalan. Sepanjang Lolak hingga beberapa desa berikutnya, hampir setiap jalan dipenuhi pohon. Saya mengabadikan momen itu, lewat foto dan video dari ponsel.
Beberapa puluh menit kemudian, Kota Kotamobagu telah di depan mata. Sopir menanyakan di mana saja para penumpang hendak turun. Saya memilih turun di terminal tempat bentor-bentor Passi berkumpul.
Sopir mengambil jalur kiri, saat berpas-pasan dengan simpang empat di Kelurahan Mogolaing. Mobil yang kami tumpangi menuju ke arah kantor Dinas Pendidikan Kota Kotamobagu.
Kemudian... Pemandangan di depan kami sangat miris. Pohon-pohon yang sengaja ditanam di sepanjang jalan, tak lagi saling merangkul, seperti saat menemu Desa Lolak. Di samping kanan, pohon-pohon bertumbangan. Tepat di depan kantor Dinas Pendidikan.
"Nah, di sana (Dongi-dongi), pemerintah dan aparat melarang menebang pohon. Ini, malah pemerintah yang menebang pohon," kata seorang penambang.
Saya segera menyalakan perekam video di ponsel. Sepanjang jalan, pohon-pohon rebah. Gerimis yang sedari tadi menyambut kami ketika sampai di gerbang Kotamobagu, mendramatisir keadaan yang kami temui.
Ucapan penambang tadi, meski jauh di lubuk hatinya, saya bisa memahami bahwa ia seakan ingin mencari pembelaan, atas apa yang telah mereka lakukan di areal pertambangan. Ketika pemerintah menyalahkan mereka, ternyata pemerintah sendiri pun kerap berbuat hal yang sama.
No comments :
Post a Comment