Selain Borobudur, Prambanan, Malioboro, Keraton, dan ratusan objek wisata lain di Yogyakarta, rasanya tak komplet jika tak melawat ke salah satu objek wisata yang baru saja tenar, yaitu kantor Mojok.
Jika Anda berada di pusat Kota Yogyakarta, hanya berbekal gugelmep di aplikasi gojek atawa grab, Anda pasti akan segera menemukan kantor Mojok. Asal jangan naik becak gowes aja. Bahkan becak mesin motor, mungkin bisa ngos-ngosan kalau ke kantor Mojok.
Saya ingatkan, berdasarkan pengalaman saya pada Jumat 17 November 2017 kemarin, ketika memesan grab, di gugelmep biasanya keluar kantor Mojok.co dan Mojok Store di Ngaglik, Sleman. Waktu mesan saya kepakai alamat yang Mojok.co. Dan akhirnya nyasar ke Gang Elang. Saya pikir itu alamat yang sama, sebab sama-sama Ngaglik, Sleman.
Kantornya mayan jauhlah dari kota. Sekitar 30an menit, ditambah lampu merah dan nyasar, bisa 40an menit. Ongkos grabcar Rp49 K. Saya naik mobil karena gerimis. Kalok grabbike hanya berkisar Rp28 K.
Akhirnya setelah menghubungi Pemimpin Redaksi (Pemred) Mojok, Prima Sulistya, saya dikasih tahu kalau itu alamat lama. Kantor yang baru, jaraknya masih lumayanlah jauhnya. 16 menitan lagi lama tempuhnya. Biasanya orang Yogya nyebutnya di Jakal km 13.
Angkringan Mojok kalau saya tidak salah ingat, kata Prima ada di Jakal km 9. Jakal itu akronim Jalan Kaliurang. Bukan Jaka Kalong. Saya saja baru ngeh pas janjian dengan teman yang kontrakannya ada di Jakal km 6. Terus saya nanya, Jakal itu apaan?
Saat menuju kantor Mojok, rutenya kalau kayak di Bali, ya, kita sedang menuju Ubud. Beberapa jalan masih melewati persawahan nan menawan. Terus udaranya tipis-tipis AC di angka 20an. Apalagi saat itu sedang hujan. Mungkin itu alasannya mereka milih ngantor di Ngaglik. Biar saat menulis, lebih nyaman. Sepi.
Tapi menemukan kantor ini tak semudah yang saya kira. Saya dan sopir grab masih muter-muter lorong, nanya ke bapak-bapak yang malah kebingungan, sampai akhirnya saya harus menghubungi Prima lagi. Setelah Prima menampakkan behelnya di depan kantor yang tanpa plang itu, sopir grab seketika mendengus dan ngucapin: ohhhh. Dongkol. Mungkin kalau si sopir ini jadi intel, dan jalan sendirian, pasti harus nongkrong di perempatan lorong dulu, mantau-mantau, nungguin kemilau behel Prima atawa giginya Agus.
Untung saja, saya tidak dikasih patokan tiang listrik. Kecuali tiang listriknya ditabrak Papa Setnov atau digigit Agus Mulyadi. Baru bisa jadi patokan. Bukan saja patokan, malah bekas gigitan Agus itu, bakal menambah popularitas tiang listrik depan kantor Mojok itu, dan menjadi destinasi pariwisata baru lagi di Yogyakarta.
Saat masuk kantor Mojok, pandangan saya yang tengah menyapu seisi ruangan, mentok ke gigi, eh, wajahnya Agus. Puja gigi ajaib, akhirnya ketemu orang ini.
Di deretan kursi pertama, saya menyalami Aditya Rizki si webmaster. Kemudian ada Manajer Keuangan, Dyah Permatasari, yang transferannya selalu ditunggu-tunggu para penulis Mojok, yang pada kere seperti si Adlun Fakir, eh Fiqri. Tapi sayang, Dyah saat itu juga harus pamit.
Setelah itu, baru saya menyalami Prima. Selanjutnya, Agus, yang sejak saya masuk senyum terus. Tapi senyum itu kayaknya efek 3D dari giginya. Berikutnya ada Arman Dhani, si pendekar twitter, yang tengah berasyik-masyuk dengan game. Kemudian ada Azka Maula, yang khusyuk menggambar ilustrasi di pen tablet.
Sayang seribu malang, sebab Kepala Suku, Puthut EA, sedang ke Malang. Sekretaris Redaksi, Audian Laili, dan Desainer Grafis, Ega Fansuri, yang biasa jadi duetnya Agus Mulyadi di Movi, juga tidak ada. Tapi mayan tergantikanlah, karena mantan Pemred, Eddward S Kennedy, ternyata mampir juga ke Mojok, beberapa menit setelah saya.
Ada hal teristimewa yang saya alami, dan sebelumnya tidak pernah terjadi selama saya menjadi wartawan. Saya dibikinin kopi sama seorang Pemred. Jarang-jarang lho, Pemred bikinin kopi. Meski Prima bukan Pemred di media yang mempekerjakan saya. Tapi jujur saja, kopinya terlampau pahit. Dan bubuk kopinya sampai nangkring di sesap kali pertama. Itu kopi brapa sendok ngana taruh e?
Agus yang sedari tadi senyam-senyum terus, mengajak saya ngobrol. Saya iri kepada makhluk yang namanya sebanyak rambu-rambu lalu lintas ini. Agus, wajahnya selalu ceria. Senandungnya mengikuti lagunya Abid Ghoffar bin Aboe Dja'far a.k.a Ebiet G. Ade yang disetel Azka di komputer, lebih sering terdengar, daripada ucapan yang keluar dari mulutnya. Kayaknya ini anak, emaknya ngidam kaset pita kali yak? Atau mungkin toa masjid.
Selama berada di kantor Mojok, saya sedikit memahami cara kerja redaksi. Mereka membicarakan isu, tentu saja, saat itu soal Papa Setnov, tertawa, mengumpat, kemudian menuliskannya secepat kereta api Shanghai Maglev di China. Posting.
Azka yang biasa membikin ilustrasi, juga tampak teliti melukis wajah-wajah orang yang hendak dijadikan bahan lelucon. Misal, saat itu, Iqbal Aji Daryono, yang foto gondrongnya seperti John Lennon baru keluar salon, dipilih sebagai ilustrasi di info penulis berikutnya.
Arman Dhani dari rehat nyinyirnya, memilih meripres otaknya dengan main game. Setelah itu pantengin laptop, menulis. Sementara Rizki yang kalemnya minta ampun--sampai-sampai saya jadi tidak tegaan sewaktu sibukin dia nyariin buku dan kaus--, tengah serius pantengin laptop juga. Prima jangan ditanya lagi, kelincahan jarinya seperti pianis Ananda Sukarlan.
Dan ... Agus? Sudah saya bilang, dia makhluk terbahagia di alam semesta ini. Kerjaannya senyum, ketawa, bersenandung, dan mindahin pantat dari satu kursi ke kursi lain. Tapi karena Agus sedang santai, dialah yang banyak bercakap-cakap dengan saya. Orangnya cepat lengket.
Eddward S Kennedy yang biasa mereka panggil Panjul, lebih banyak dengan gadget, nyisir rambut pirangnya--yang kata Agus mirip Hatta Rajasa--dengan jejarinya, dan sedikit-sedikit benerin kausnya di bagian perut. Tampak dari perutnya, dia sangat sejahtera di Kumparan.
Hari itu, ada juga satu lagi pria, mungkin dia si Dony Iswara, yang biasa mosting-mosting di media sosial. Tapi si Dony ini kebanyakan di dalam kamar. Sibuk lemesin jejarinya mungkin, setelah seharian skrol-skrol klik-klik. Atawa malah mungkin dia si Ali Ma'ruf yang bertugas menjadi videografer. Saya tidak kenal wajah mereka berdua soalnya.
Nah, bagi kalian yang ingin berwisata ke kantor Mojok, diharapkeun membawa uang tunai. Sebab ada banyak buku layaknya toko buku di Taman Pintar, dan kaus-kaus yang tentu saja kerennya ngalahin kaus-kaus dilapakan Borobudur yang serupa labirin itu.
Saya hanya sempat membeli satu novel karya Puthut EA: Seorang Laki-Laki yang Keluar Dari Rumah. Karena judulnya hampir sama dengan keadaan saya, yang sedang keluar rumah dari awal tahun dan belum pulang-pulang. Sama satu kaus kloningan dengan yang dipakai Agus saat itu. Bagian depan kaus bertuliskan: speak english, drive american, kiss french, party caribbean, dress italian, spend arabic, agus magelangan. Asyu!
Agus sempat bilang gini, "Masak ke sini hanya beli bukunya Mas Puthut?"
Mungkin dari kalimat itu, terselubung iklan buku-bukunya yang itu tuh: Diplomat Kenangan, Bergumul dengan Gus Mul, dan Jomblo Tapi Hafal Pancasila. Atawa bukunya Arman Dhani: Dari Twitwar ke Twitwar. Atawa bukunya Eddward Kennedy: Sepak Bola Seribu Tafsir.
Tapi ... ya, begitulah. Kalian masih kalah tenar dan sakti dengan Kepala Suku. Dan uang di dompet saya tinggal cukup untuk satu buku dan satu kaus. Tentu saja saya prioritaskan yang sakti. Buku kalian ada di antreanlah. Sekalian nunggu bukunya Pemred Prima kelak, yang mungkin saja bakal diberi judul: Kamus Behel-Behel Indokarta.
Salam sayang selalu, for ngoni …