Apakah kalian punya ingatan tentang salah satu orangtua, mungkin Ayah atau Ibu, tapi ingatan itu ketika kalian masih balita?
Aku punya beberapa...
Entah kenapa, di penghujung tahun ini, aku tiba-tiba terbayang ingatan paling purba itu. Dan ingatan itu tentang Ayah. Hanya ada tiga keping ingatan...
Rumah kami punya pintu lain di samping kiri, yang berdekatan dengan kamar Ayah dan Ibu. Suatu malam, pintu itu diketuk berkali-kali. Aku terbangun. Masih setengah sadar, aku melihat ibu bangkit dari tempat tidur.
Ibu menyalakan lampu, yang membuat mataku memicing karena beradaptasi dari gelap ke terang. Aku menangis. Ibu kemudian menggendong dan coba menenangkanku. Ia melangkah menuju pintu lalu membukanya. Dari memunggung sembari bersandar di bahu Ibu, aku coba berbalik. Ayah di sana.
Ayah bertopi koboi. Kausnya berkerah dipadankan dengan celana pendek. Larsnya berlumpur. Ia membukanya sebelum melangkah masuk, sambil menjinjing tas.
Saat Ibu meletakkan saya di kursi dan melangkah menuju dapur, Ayah tersenyum kepadaku. Ia mendekat, lalu duduk di samping sambil mengelus kepalaku. Ia kemudian berkata kepada Ibu, tak usah membikin kopi. Bawakan saja gelas.
Setelah Ibu datang membawa gelas, Ayah bersalin kursi. Dari tas jinjing, ia mengeluarkan dua botol minuman. Ia membuka penutupnya dengan gigi, yang kusaksikan dengan ekor mata sebelum Ibu menggendongku masuk ke kamar. Saat itu, mungkin usiaku sekitar tiga. Botol itu bertulis Bintang. Kami pernah punya kalender bergambar bir ini.
Ayah seorang pegawai negeri sipil di Dinas Pekerjaan Umum, Kabupaten Bolaang Mongondow. Malam yang aku ceritakan dalam ingatan itu, ketika Ayah baru pulang dari proyek pengerjaan jalan. Aku pernah menanyai Ibu tentang ingatan itu, dan beruntungnya ia ingat.
Ingatan lain tentang Ayah, kala itu aku iseng membuka tas kantornya. Di dalam ada beberapa pena. Aku mengambil satu, kemudian berjinjit di atas meja dan coba menggapai kertas-kertas di atas lemari. Aku menemukan selembar kertas yang seperti berbahan plastik, bening, dan agak tebal. Kertas itu dipenuhi garis dan gambar berbentuk rumah, juga sejumlah angka.
Aku kemudian duduk di lantai, lalu mulai iseng menulis angka, huruf, dan kata demi kata. Tinta pena itu sering macet. Karena kesal, aku mencoret dengan kasar sampai jarum pena patah. Aku lantas tertarik untuk mempreteli pena. Tiba-tiba tirai pintu tersibak, dan Ayah menemukanku dengan muka geram. Tapi ia hanya mengangkat, lalu menggendongku keluar dari kamar. Aku menangis. Ia kemudian memanggil Ibu.
Aku pernah menanyai Ibu tentang kejadian itu. Ibu bercerita, pena yang aku preteli adalah Rotring, sementara kertas yang aku coreti adalah kertas desain gambar untuk proyek bangunan. Kepada Ibu, Ayah mengaku salah, karena lupa memasukkan kertas itu ke dalam tabung gambar, sesudah mencopotnya dari meja gambar.
Tapi, sekesal-kesalnya Ayah, seingatku ia tak pernah memukulku, atau mungkin kami semua anak-anaknya. Karena tak ada satu pun ingatan tentang itu. Aku hanya pernah digertak dengan ikat pinggang, karena mengambil uang di saku celananya. Saat itu aku SMP.
Setelah kejadian itu, aku malah sering menemukan uang di saku celana atau kemejanya, yang sepertinya sengaja ia letakkan di sana untuk ditemukan. Apalagi ia tak pernah bertanya ketika uang itu berpindah saku. Tapi nilainya lebih rendah dari yang pernah aku curi. Ayah, memang berbeda dengan Ibu. Ia kerap berbagi uang saku lebih dibandingkan Ibu. Karena itu, Ibu kami juluki Paman Gober.
Dan, ini ingatan terakhir yang kejadiannya sekali lagi membuat Ayah jengkel. Kala itu aku menemukan arloji Ayah di kamar mandi. Aku coba mengenakannya di pergelangan tangan. Karena tak pas, aku mencari gelang karet, lalu melipat sabuk logam arloji dan mengikatnya. Tapi itu tak membuatku tertarik. Aku melepasnya, kemudian memandangi jarumnya yang terus berputar. Rasa penasaran dengan jarum jam itu, membuatku mencari sebongkah batu. Aku menumbuk-numbuk kacanya dengan hati-hati. Bermaksud membukanya, dan menyentuh jarum jamnya.
Ibu, tak bisa menyembunyikan perbuatanku, karena ketika ia menemukanku di samping rumah, hanya sepersekian detik Ayah telah menyusulnya. Arloji yang hancur itu, Ayah beli di Makassar, ketika ia mengikuti pendidikan dinas di sana. Kata Ibu, arloji itu adalah kesayangannya. Tapi Ayah tak bisa berbuat apa-apa, karena yang merusaknya adalah anak bungsunya yang paling istimewa. Aku, sudah bisa calistung ketika memasuki empat tahun. Dan arloji yang aku hancurkan itu, seingatku tertulis Seiko.
Tak seperti anak-anak sepantar, aku tak pernah merasakan duduk di bangku TK. Sewaktu ibu-ibu mengantar anak-anaknya ke TK, aku hanya menyaksikannya dari pintu rumah. Ketika anak-anak seusiaku mulai mendaftar ke SD, aku turut didaftarkan. Aku diterima meski tak pernah TK. Sampai kelas tiga SMP, aku juara kelas. Baru ketika SMA, aku berubah menjadi aku yang lain. Aku berkali-kali pindah sekolah.
Ayah, yang paling kecewa kepadaku, karena ketika sering berpindah sekolah, ia yang kerap mengantar. Ia pernah sekali mengutarakan kekecewaan itu, ketika pukul 8 malam, aku pulang ke rumah masih dengan seragam. Ia mendapat laporan dari guru, aku tidak pernah lagi hadir di kelas. Semua baju sekolahku disimpan. Aku pernah rindu sekolah, kemudian meminjam seragam teman. Aku mendaftar sendiri di sekolah tempat para siswa terbuang. Tapi itu tak berlangsung lama. Ketika kawan-kawan sepantar lulus, aku tak semangat lagi. Sesudah ikut bercorat-coret seragam dengan mereka, aku menyerah.
Tak lama setelah itu, pernah suatu malam, aku seperti menemukan sosok Ayah ketika kali pertama ingatan purba itu hadir. Ketika ia bertopi koboi, tersenyum, dan duduk di sampingku. Ia mengutarakan tentang apa yang pernah ia harapkan untuk masa depanku, saat aku masih SMP dan sering juara kelas. Ayah mengaku, memang tak akan sanggup membiayai kuliahku, jika mengikuti keinginannya agar aku menjadi dokter. Tapi katanya, tak menjadi dokter tak apa-apa, karena ia sudah mempunyai pilihan lain, yang biaya pendidikannya tak terlalu mahal. Pilihannya Akademi Gizi Manado. Kebetulan kata Ayah, kampus itu berdekatan dengan rumah salah satu kerabat dekat Ayah di Manado. Tapi meski sesederhana itu yang ia harapkan, pada akhirnya aku gagal mewujudkannya. Itu yang membuatnya kecewa.
Bertahun-tahun setelah itu, ada sebuah pesan dari Ayah, yang ia katakan ketika aku mendapatkan pekerjaan di Manado.
"Bekerja dengan jujur, dan jangan mau kejujuran itu dibeli."
Setelah Ayah berpulang empat tahun lalu, aku menemukan narasi-narasi yang erat antara pribadinya dan pesannya kepadaku itu. Tak seperti pegawai negeri sipil lainnya di masa itu, keluargaku dididik Ayah untuk hidup sederhana.
Aku pernah secara tidak sengaja berjumpa teman sekantor Ayah, ketika hendak mewawacarai seorang tokoh. Rumahnya serupa istana yang diitari kolam ikan. Ia bertanya siapa namaku dan kaget saat mendengar margaku: Galuwo. Ia kemudian mengeja lengkap nama Ayah. Ia lantas bertanya bagaimana keadaan Ayah.
"Ayah baru berpulang dua bulan lalu," kataku.
Ia berbelasungkawa. "Ayahmu itu, orangnya jujur."
Ada banyak yang ia ceritakan tentang Ayah. Beberapa di antaranya pernah aku dengar sendiri dari Ayah dan Ibu. Dan nama-nama yang berkelindan dengan kisah-kisah itu, rata-rata tokoh-tokoh penting di tanah kelahiranku. Sebagian dari mereka ada yang sudah berpulang, ada juga yang masih hidup.
Tak tahu kenapa, dua bulan setelah Ayah berpulang aku dipertemukan dengannya. Dan hanya beberapa bulan setelah perjumpaan, bapak itu dikabarkan berpulang.
Satu cerita Ibu, yang juga berhubungan dengan orang penting di sekitar Ayah. Waktu itu, Ayah sedang mengerjakan proyek jalan di satu daerah. Seorang pengusaha dari daerah itu lantas jauh-jauh bertamu ke rumah. Ia menawarkan motor, fasilitas modern, dan beberapa ekor kambing. Syaratnya, Ayah harus bekerja sama dengannya. Ayah menolak, karena ada rencana yang tidak baik.
"Terima kasih tawarannya. Tapi kebetulan kami masih punya motor. Kambing juga ada, meski hanya beberapa ekor," kata Ayah kepada pengusaha itu. Seiring tahun, keluarga pengusaha ini menjadi orang paling disegani di tanah kelahiranku.
Mengenai kambing, seingatku, kami memang punya beberapa ekor. Biasanya kambing-kambing itu meringkuk di dalam drum-drum bekas, yang Ayah rebahkan dan jejerkan di belakang rumah. Tapi aku lupa ke mana akhirnya kambing-kambing itu. Apakah disembelih saat hajatan demi hajatan, mati sakit, atau dicuri.
Pada akhirnya, apa yang membuat aku bisa mewujudkan harapan Ayah? Satu hal sederhana saja seperti pesannya: kejujuran tak bisa dibeli.
Damai di sana, Ayah...
No comments :
Post a Comment