Saya baru saja menerima kabar berpulangnya salah satu kerabat dekat mendiang ayah, yang rumah kami berdampingan. Kami kerap menyapanya Papa Tua'. Ibunya adalah kakak perempuan dari ayah saya.
Ingatan purba tentang Papa Tua' segera terlintas. Sewaktu saya masih sekolah dasar, saya sering diajak ayah ketika berkunjung ke kantor Taspen di Manado. Saya masih ingat jelas, ayah sering membeli tiket bus berwarna kuning bergambar Menara Eiffel dan angka 88, yang menjadi logo Pangkalan Paris di Kotamobagu. Kala itu, medio 90-an, harga tiket bus dari Kotamobagu ke Manado hanya enam ribu rupiah, dengan lama tempuh sekitar lima sampai enam jam.
Di Manado, ada tiga kerabat dekat ayah dan ibu yang sering jadi tempat kami menginap. Yang pertama rumah Papa Anti', yang juga tempat tinggal salah satu kakak laki-laki saya yang sedang berkuliah di Manado. Yang kedua rumah Papa Isal, dan yang ketiga rumahnya Papa Tua'.
Ayah sering mengajak saya menginap di rumahnya Papa Tua' atau Papa Isal. Sesekali di rumahnya Papa Anti', tapi tak terlalu sering karena rumahnya dipenuhi anak kos. Papa Tua' membantu mengurus beasiswa saya. Ia kebetulan pegawai di salah satu dinas di kantor Pemerintahan Provinsi Sulawesi Utara. Beasiswa yang saya terima, diperuntukkan bagi siswa berprestasi, lalu orangtua dan siswa harus mengambilnya di Manado.
Di rumahnya, Papa Tua' sering mengajak saya mengobrol. Kemudian ia menyampaikan rencana Gubernur Sulawesi Utara, C.J. Rantung, untuk bertemu dengan siswa-siswa berprestasi se-Sulawesi Utara. Nama saya masuk di daftar itu. Tentu saja, saya bahagia mendengarnya. Apalagi ayah.
Sebulan kemudian, ayah dan saya kembali mengunjungi Manado. Tapi ketika berangkat ke kantor gubernur, ayah tidak ikut karena urusannya di Taspen. Papa Tua' yang menemani saya. Dalam perjalanan, ia sesekali merapikan topi dan dasi sekolah saya. Ia memperlakukan saya seperti anaknya. Ia juga menyemangati saya agar tidak gugup.
Saya terkesima ketika memasuki sebuah gedung besar, dengan deretan meja kursi bersusun serupa di gedung parlemen. Pandangan saya terus menyapu seisi ruangan. Papa Tua' menyadarkan saya dengan tepukan di pundak, lalu mengantar saya sampai ke kursi. Setelah itu ia duduk terpisah dari kami para siswa.
Di setiap meja kami tersedia mikrofon mungil. Bergantian, kami diminta memperkenalkan diri, menyebutkan asal dan nama sekolah. Acara terus berlangsung, dari pidato gubernur, pembacaan puisi, tari-tarian, penampilan paduan suara, dan masih banyak lagi, sampai akhirnya kami disuruh berjabat tangan dengan gubernur dan wakilnya. Papa Tua' dari kejauhan memberi isyarat, agar saya mengikuti anak-anak lain. Keping ingatan itu tak akan pernah saya lupakan. Apalagi kebaikan Papa Tua' selama mendiang ayah dan saya menginap.
Papa Tua' dan Mama Tua' memiliki seorang anak laki-laki bernama Randi. Ketika Randi berseragam abu-abu, iringan sepeda motor yang ia dan teman-teman sekolahnya kendarai, terlibat kecelakaan beruntun saat hendak menyusul Papa Tua' dan Mama Tua' yang berkunjung ke Kotamobagu. Randi dan beberapa teman sekolahnya meninggal di lokasi kecelakaan. Saya menyaksikan bagaimana Papa Tua' begitu kehilangan kala itu.
Mama Tua' telah berpulang beberapa tahun lalu. Sekarang Papa Tua' menyusul Mama Tua', juga anak kesayangannya Randi. Selamat jalan Papa Tua', Papa Randi, segala hormat dan ucapan sukur moanto' atas kebaikan Papa Tua', saya kirimkan bersama doa...
Inna lillahi wa inna ilaihi raji'un...
No comments :
Post a Comment