Kita berjumpa beberapa kali dalam hening. Lalu membicarakan hal-hal yang mungkin saja penting. Tapi aku melupakan waktu yang seperti api, di setiap hari ketika kita telah berpisah. Meski jarak pernah kita lipat rapi di lemari, aromanya masih menyeret rindu ke ujung kunci.
Di Passi, mungkin cerita akan berbeda. Sebab kenangan di desa ini, seperti Gunung Ambang yang setiap hari menyapa di kiri rumahku. Sementara jauh nun di Pantura, kita berjanji meninggalkan apa saja yang pernah berisik. Mungkin pergi menatap Gunung Kelud, yang ketika bocah sering kulihat di punggung kertas bergambar.
Kita sama-sama tahu seperti apa istimewanya kertas buku. Sekalipun itu buku-buku usang yang lama berdiam di gudang. Ia pernah terbang jauh lalu bermukim di Saung Layung Arus Balik di Bilalang, sebagai tanda uluk salam. Kemungkinan selanjutnya ialah deretan gerbong berisi kata-kata yang kupungut dari semesta.
Seperti apa hidup ketika kita mulai tahu cara menghidupinya? Mungkin seperti seorang kakek pengayuh becak, yang pernah membawaku ke gedung peninggalan kolonial tak jauh dari rumahmu. Ia banyak tertawa dan giginya tinggal dua. Tapi karena kekurangannya itulah, ia melafalkan: Gedung British American Tobacco, dengan sempurna.
Bahagia tak akan hadir kecuali masing-masing kekurangan menemukan lawannya. Aku tak bisa memakai sumpit dan kau akan mengajarkannya. Lalu aku menulis dan kau membacanya. Mungkin sesekali kita akan berdebat tentang jalan cerita, hingga kita renta.
Lalu siapa yang akan membaca buku-buku itu? Aku melihat tiga bocah sedang tertawa di Karbala...
No comments :
Post a Comment