Saya pernah berkisah tentang para penghuni kos. Mereka yang datang dan pergi. Mereka yang gagal dan bertahan.
Orang pertama yang akrab dengan saya di kos adalah pemuda Jawa yang lahir dan besar di Lampung. Ia di kamar nomor 1. Ia sopir mobil rental. Saya akrab dengannya karena mula-mula ia menawari bir kaleng.
"Ini sisa dari tamu tadi," katanya. Kami duduk di depan pintu kamarnya, lalu menenggak beberapa kaleng bir.
Ia gemar bermain judi online. Pernah suatu malam, ia meminta saya mentransfer sejumlah uang ke akunnya karena rekening banknya kosong. Jadi uang tunai diberikannya sebagai pengganti. Esok pagi, air mukanya keruh. Kalah.
Hanya sekitar tiga bulan setelah saya menyewa kamar nomor 3 di sampingnya, ia memutuskan pulang ke Lampung. Katanya mau kawin. Kamarnya diganti oleh kerabatnya dari Lampung juga. Yang ini, jejaka yang sering salat lima waktu. Ia sopir mobil rental juga.
Kamar nomor 2 dihuni perawat asal Ambon. Bujang ini lebih mirip saya. Paling banyak menghabiskan waktu di kamar. Tapi beberapa bulan kemudian, ia pindah. Kabarnya, tabungannya sudah mampu mengkredit rumah. Ia termasuk kepala suku di kos. Paling lama. Tujuh tahun. Setelah ia pindah, saya mengisi kamarnya yang ukurannya jauh lebih besar dari kamar lain, dan memiliki jendela lebar.
Kemudian, kamar saya sebelumnya ditempati orang asal Jawa Timur. Mas ini sudah menikah. Ia pekerja bangunan. Dulunya, ia pernah menghuni kamar itu, tapi ia mudik ke kampung halaman. Saat ia kembali, kamar ini gaduh dengan dangdut koplo setiap pagi.
Beberapa bulan kemudian, seorang perawat asal Ambon menempati kamar nomor 4 yang sudah lama kosong. Tapi ia hanya dua bulan lalu memilih pindah. Saat itu, kos memang sedang dilanda krisis air bersih. Bukan hanya kos, tapi sekompleks. Kamar nomor 4 kembali kosong.
Di kamar nomor 5, ada seorang bapak yang meninggalkan anak-istrinya di Jawa Tengah, untuk mengadu nasib di Papua. Ia sudah tiga tahun di kos. Tapi di Jayapura, ia mengaku sudah sejak 2006. Segala macam pekerjaan telah dilakoninya dari tambal ban, jualan es, buka warung makan, sampai akhirnya jadi sopir mobil rental. Karena ia yang paling tua, ia dipanggil Pakde.
Beberapa bulan kemudian, Mas di kamar nomor 3 mudik lagi. Ia sakit. Saat ia kembali sebulan kemudian, ia mengajak satu teman sekampung untuk tinggal sekamar dengannya. Mas yang ia ajak ini pintar memasak. Ia menjual mi ayam. Tapi sayang, hanya tiga bulan, ia lantas memilih pulang. Padahal, saya menjadi salah satu pelanggannya.
Ada tiga orang Mas yang berdesak-desakan di kamar nomor 6. Mereka bekerja membikin rumah sekalian pagar-pagarnya, atau merancang papan reklame. Tapi hanya beberapa bulan juga, dua Mas memilih pulang ke Lampung. Mereka sekompleks dengan sopir rental di kamar nomor 1 yang pernah akrab dengan saya. Mas satunya lagi dari Jawa Timur masih bertahan.
Kamar terakhir, nomor 7, dihuni pasutri asal Jawa Timur. Tapi berbeda daerah dengan Pakde. Mereka juga tak bertahan lama, meski mereka lebih dahulu tinggal di kos itu daripada saya. Pasutri ini, paling rajin membuang sampah setiap pagi. Ada beberapa penghuni kos, yang hanya meletakkan kantong sampah di halaman depan. Saya lebih sering membuang sampah sendiri ketika malam hari. Pasutri ini gemar memasak. Aroma masakan mereka sering menggoda leher para penghuni lain, yang kebanyakan memilih gorengan sebagai lauk, mawar (makan warung), atau merebus mi instan.
Seperti sudah ditakdirkan, pengganti kamar nomor 7 juga pasutri. Mereka asal Toraja. Suaminya perawat sedangkan istrinya guru kontrak yang memilih berhenti, karena harus ikut suami setelah menikah. Sama halnya dengan pasutri sebelumnya, mereka ini paling rajin membersihkan kos. Dan mereka juga yang sering mengepulkan asap di dapur. Dan sama, mereka tak bertahan lama.
Berbulan-bulan, kamar nomor 4 dan 7 tak berpenghuni. Kemudian, Pakde merekomendasikan kamar nomor 4 ke salah satu Mas asal Jawa Timur, yang juga sopir mobil rental.
Tak lama kemudian, satu lagi sopir mobil rental yang diajak Pakde, untuk menempati kamar nomor 7. Pakde jadi serupa "broker properti" Ibu Kos yang berasal dari Lampung tapi berdarah Jawa. Tapi bujang yang diajak Pakde ini jarang sekali di kos. Kamar itu hanya seperti persinggahan sementara baginya.
Lengkaplah sudah. Saya berada di antara semua orang Jawa. Mereka berbahasa Jawa. Mereka gemar mendengarkan dangdut koplo, yang kebanyakan dilantunkan dengan Bahasa Jawa juga.
Pernah suatu hari, kami berada di tempat mencuci pakaian di sebelah dapur dan kamar mandi. Karena sewa kamar kami hanya 600 ribu rupiah per bulan, kami tak memiliki kamar mandi masing-masing di dalam kamar. Hanya ada dua kamar mandi di belakang untuk kami pakai bergantian. Saat mencuci pakaian itulah, mereka semua berbahasa Jawa sambil tertawa. Merasa tak nyaman, saya pindah mencuci pakaian di depan.
Bulan demi bulan berjalan. Saya lebih banyak menghabiskan waktu di kamar. Sementara itu, mereka terkadang menonton bola bersama, atau bermain game online bersama. Ketika sedang gaduh, saya memilih pergi ke kantor atau mawar atau keliling kota dengan taxi (mikrolet).
Belakangan, saya mulai mencari cara, agar Mas yang sering menyetel dangdut bisa peka kalau sebenarnya ada orang yang merasa terganggu dengan kebisingan. Anehnya, cara yang saya pilih adalah kebisingan juga. Saya mulai menyetel di pengeras suara lagu-lagunya System Of A Down, Sepultura, Korn, Limp Bizkit, Linkin Park, dan berbagai macam genre musik yang bising. Tapi malah Mas itu ikut mengencangkan volume. Saya sebenarnya bukan pembenci dangdut, ada beberapa lagu dangdut yang saya gemari. Tapi koplo berbahasa Jawa, ampun sudah!
Cara pertama itu tak berhasil. Karena rata-rata mereka salat lima waktu, saya coba mencari cara lebih islami. Ketika Mas di kamar nomor 3 menyetel dangdut koplo, saya menyetel lagu selawat. Ternyata, cara ini berhasil. Setelah satu sampai dua lagu selawat, tiba-tiba lagu dangdut koplonya dimatikan. Saya membekap mulut dengan bantal karena tak sanggup lagi menahan tawa.
Satu hal yang baru saya sadari, ternyata para penghuni lain sempat mengganggap saya seorang Nasrani. Ini karena ada poster yang membentuk salib di dinding kamar saya. Poster ini tampak dari luar jika saya menyingkap tirai jendela. Sebenarnya, dulu pasutri asal Toraja juga beranggapan saya seagama dengan mereka, karena poster itu. Saat Natal, mereka pernah bertanya kepada saya: tidak mudik ke Manado? Saya merespons pertanyaan itu, dengan anggapan pertanyaan itu mungkin muncul karena hari libur panjang saat Natal. Setelah itu, saya sadar, pasti karena poster itu.
Karena selawat dan poster itulah, saya menjadi dua agama di kos. Padahal saya mendaku sebagai penyembah air. Penyembah pohon, lewat sudah! Apalagi sekarang lebih banyak pohon sawit.
Seiring waktu, Mas di kamar nomor 4 mulai akrab dengan saya. Dia baik dan sering sekali menyapa saya. Dialah yang menjadi pintu saya, untuk semakin mengenali satu demi satu penghuni kos. Mas ini sepertinya sadar, karena mereka terlalu banyak bercakap-cakap berbahasa Jawa, saya merasa kurang nyaman dan memilih menutup diri. Ia juga sesekali bertanya apakah saya mengerti percakapan mereka, lalu mengartikan beberapa kata.
Belakangan, Mas nomor 4 ini juga membuat grup WhatsApp untuk anak-anak kos. Ia menamai grup itu "Keluarga Kos Cemara". Sejak saat itu, saya mulai akrab dengan mereka semua. Bahkan ketika pintu saya tertutup, mereka akan mengetuk pintu dan memanggil ketika sedang memasak ikan atau membeli gorengan.
Pernah suatu hari, kami berada di tempat mencuci pakaian di sebelah dapur dan kamar mandi. Karena sewa kamar kami hanya 600 ribu rupiah per bulan, kami tak memiliki kamar mandi masing-masing di dalam kamar. Hanya ada dua kamar mandi di belakang untuk kami pakai bergantian. Saat mencuci pakaian itulah, mereka semua berbahasa Jawa sambil tertawa. Merasa tak nyaman, saya pindah mencuci pakaian di depan.
Bulan demi bulan berjalan. Saya lebih banyak menghabiskan waktu di kamar. Sementara itu, mereka terkadang menonton bola bersama, atau bermain game online bersama. Ketika sedang gaduh, saya memilih pergi ke kantor atau mawar atau keliling kota dengan taxi (mikrolet).
Belakangan, saya mulai mencari cara, agar Mas yang sering menyetel dangdut bisa peka kalau sebenarnya ada orang yang merasa terganggu dengan kebisingan. Anehnya, cara yang saya pilih adalah kebisingan juga. Saya mulai menyetel di pengeras suara lagu-lagunya System Of A Down, Sepultura, Korn, Limp Bizkit, Linkin Park, dan berbagai macam genre musik yang bising. Tapi malah Mas itu ikut mengencangkan volume. Saya sebenarnya bukan pembenci dangdut, ada beberapa lagu dangdut yang saya gemari. Tapi koplo berbahasa Jawa, ampun sudah!
Cara pertama itu tak berhasil. Karena rata-rata mereka salat lima waktu, saya coba mencari cara lebih islami. Ketika Mas di kamar nomor 3 menyetel dangdut koplo, saya menyetel lagu selawat. Ternyata, cara ini berhasil. Setelah satu sampai dua lagu selawat, tiba-tiba lagu dangdut koplonya dimatikan. Saya membekap mulut dengan bantal karena tak sanggup lagi menahan tawa.
Satu hal yang baru saya sadari, ternyata para penghuni lain sempat mengganggap saya seorang Nasrani. Ini karena ada poster yang membentuk salib di dinding kamar saya. Poster ini tampak dari luar jika saya menyingkap tirai jendela. Sebenarnya, dulu pasutri asal Toraja juga beranggapan saya seagama dengan mereka, karena poster itu. Saat Natal, mereka pernah bertanya kepada saya: tidak mudik ke Manado? Saya merespons pertanyaan itu, dengan anggapan pertanyaan itu mungkin muncul karena hari libur panjang saat Natal. Setelah itu, saya sadar, pasti karena poster itu.
Karena selawat dan poster itulah, saya menjadi dua agama di kos. Padahal saya mendaku sebagai penyembah air. Penyembah pohon, lewat sudah! Apalagi sekarang lebih banyak pohon sawit.
Seiring waktu, Mas di kamar nomor 4 mulai akrab dengan saya. Dia baik dan sering sekali menyapa saya. Dialah yang menjadi pintu saya, untuk semakin mengenali satu demi satu penghuni kos. Mas ini sepertinya sadar, karena mereka terlalu banyak bercakap-cakap berbahasa Jawa, saya merasa kurang nyaman dan memilih menutup diri. Ia juga sesekali bertanya apakah saya mengerti percakapan mereka, lalu mengartikan beberapa kata.
Belakangan, Mas nomor 4 ini juga membuat grup WhatsApp untuk anak-anak kos. Ia menamai grup itu "Keluarga Kos Cemara". Sejak saat itu, saya mulai akrab dengan mereka semua. Bahkan ketika pintu saya tertutup, mereka akan mengetuk pintu dan memanggil ketika sedang memasak ikan atau membeli gorengan.
Saya pernah sekali ikut memancing bersama mereka. Di sana, saat bercakap-cakap, mereka tak lagi total berbahasa Jawa. Atau ketika kami berada di kos dan saya sedang duduk bersama mereka, hanya sesekali saja mereka berbahasa Jawa.
Saya mulai belajar memahami orang-orang di kos. Mereka pun perlahan-lahan mulai memahami saya. Kami telah saling mengenal. Jika terjadi apa-apa dan butuh bantuan, orang-orang terdekat dengan kita adalah para penghuni kos.
Saya mulai belajar memahami orang-orang di kos. Mereka pun perlahan-lahan mulai memahami saya. Kami telah saling mengenal. Jika terjadi apa-apa dan butuh bantuan, orang-orang terdekat dengan kita adalah para penghuni kos.
Bagaimana kita ingin mengubah hal-hal besar, tapi hal-hal kecil di sekitar saja tak mampu kita pahami?
No comments :
Post a Comment