Personel Beranda Rumah Mangga, dari kanan Yedi, Vicky, Vicro, Christy, dan Rian. |
Dari kelima lagu dalam album itu, ada lagu berjudul Adil Sejak Dalam Pikiran. Judul lagu tersebut tak asing bagi pembaca karya Pramoedya Ananta Toer. Dari lembaran novel Bumi Manusia-lah, 'adil sejak dalam pikiran' ditimang-timang lalu dijadikan sebuah lagu oleh Braga.
Selain Adil Sejak Dalam Pikiran, ada empat lagu lain berjudul Samudra Ingatan, Sepasang Senja, Bilur-bilur, dan Patah Menjadi Air Mata. Empat lagu di antaranya sudah pernah saya dengar. Hanya lagu Sepasang Senja yang belum. Karena itu, saya memulai mendengarnya dari lagu itu.
Papua, khususnya Jayapura, kota di mana saya berdiam, sedang bergejolak akibat sikap rasisme yang mendera para mahasiswa Papua di Kota Malang, Surabaya, dan Makassar. Jaringan internet lamur karena dibatasi oleh Kementerian Komunikasi dan Informatika. Sungguh perbuatan yang menghalangi kami mengakses atau menyebarkan informasi. Karena itu, saya lebih dulu mengunduh lagu-lagu Braga yang baru di kanal Youtube, ketika internet bisa diakses sebisanya dengan Wi-Fi kantor, agar bisa didengarkan offline di kamar kos nanti.
Setelah Sepasang Senja yang melebur penat saya karena bekerja seharian, dan rintihannya menyeretku ke kampung halaman, Bilur-bilur menjadi lagu kedua yang menepuk pundak dengan versi yang baru kali ini saya dengar. Sebelumnya, demo lagu itu dibawakan Vicky. Tapi kali ini dinyanyikan oleh Yedi. Baik Vicky atau Yedi, keduanya memiliki warna suara yang saya suka.
Entah kenapa, lagu-lagu Braga menurut saya seperti memiliki separuh nyawa saya. Ada bait-bait lagu yang penaka merangkul, mengiris, dan menebalkan ingatan, bahwa kisah setiap orang memang selalu istimewa. Bahkan dalam lagu-lagu asing yang entah datang menyapa dengan sengaja atau kita cari, ada saja lirik yang mewakili perjalanan hidup kita.
Bagi siapa saja yang gigih melawan lupa, atas kejahatan negara yang tak pernah berniat meminta maaf kepada para korban kekerasan Hak Asasi Manusia (HAM), maka lagu Bilur-bilur ialah pelarungan yang begitu lembut namun tegas.
Biar waktu berlalu takkan hentikan ingatan pilu/ kebenaran bertumbuh senandungkan dosa-dosa yang bisu/ biar kau bungkam ragaku takkan hentikan suara pikiranku/ kebenaran takkan lumpuh bertumbuh menyembilu di nadimu/ sembilu di nadimu...
Ya, kebenaran berpinak dan tak bisa jinak. Ia tak luruh meski berputar waktu. Ia berdetak di nadi yang tak henti menagih janji.
Saya menghantar lagu Bilur-bilur di altar berisi tumpukan daftar kekerasan HAM. Lalu saya menyingkap lembar demi lembar. Di sana ada kekerasan HAM terhadap orang Papua, pengungsi Nduga yang dituding hanya sedang bermigrasi meski sudah ratusan yang meninggal, para petani yang direbut lahannya atas nama pembangunan, hutan-hutan rindang yang lindang, laut yang diuruk, orang-orang diterungku karena memperjuangkan haknya, dan segala rupa dosa paling bedebah para penguasa kepada jelata.
Repihan lagu Samudra Ingatan yang dulu hanya diunggah di media sosial ketika Braga tampil di kedai-kedai kopi di Kotamobagu, pun kini bisa saya dengar seluruh. Mungkin lagu ini bisa menjadi perayaan atas segala kegelisahan yang akhirnya mewujud. Liriknya tak segembira iramanya. Tapi dari situlah pesannya lahir: melawanlah dengan gembira.
Patah Menjadi Air Mata pernah saya buatkan puisi setelah mendengarnya, meski lagu ini bagi saya sudah sebuah puisi. Ketika mendengar lagu itu, kata-kata ini melantas ke jemari: barangkali, seorang resi ditakdirkan sendiri/ agar bisa ruah berbagi/ pada tanah yang menumbuhkan rerumputan dan cendawan/ atau pada telinga-telinga yang mampu menangkap sunyi.
Lagu Adil Sejak Dalam Pikiran jauh bulan telah dikirim Vicky ke saya, tepat di malam hari raya usia saya, 12 April 2019. Saat itu saya tengah mengutuk nyala pelita Jakarta, dari jendela bening gedung jangkung. Lagu itu semacam hadiah pengingat, bahwa tetaplah adil sejak dalam pikiran. Lekas pikiran saya hendak menuliskan rasa terima kasih atas lagu itu. Tapi niat itu saya tahan. Bukankah sebaiknya sebuah hadiah tidak kembali memuji pemberinya?
Jikalau di Makassar ada kawan-kawan Kapal Udara dan Ruangbaca, maka di Bolaang Mongondow ada Beranda Rumah Mangga. Anak-anak muda yang senantiasa bersetia dengan karya. Sudah seharusnya, setiap daerah memiliki arus seperti mereka. Harus ada yang mendirus jiwa-jiwa lelap, yang terlalu lama terbuai oleh band-band ibu kota. Bukan soal kita di pelosok bisa. Tapi tentang keberanian untuk memulai. Sekarang band-band indie sedang melarung saya dengan se-samudra karya, maka Braga adalah lungkang yang membikin perahu saya jenak tenang.
Adil Sejak Dalam Pikiran sebenarnya adalah janji yang pernah saya tagih kepada Braga. Beberapa tahun lalu, Vicky mengutarakan rencananya untuk membikin lagu tentang sosok Pram. Saya menuguri dan sempat menulis semacam 'tagihan' atas janji itu. Tulisan itu hanya sebagai pengingat agar lagu itu bisa mengada. Tak perlu buru-buru memang. Karena saya adalah orang yang selalu percaya: dalam berkarya tak usah tergesa-gesa. Sebab karya yang melalui permenungan, akan memiliki ruh lalu hidup selamanya di hati para pengkhidmatnya.
Kini, langsai sudah...
Uluk salam untuk Vicky, Yedi, Rian, Vicro, Christy, dan semua handai yang turut menyemai benih-benih, hingga akhirnya bertumbuh menjadi sebuah karya yang genah untuk disebut indah.
Selamat mengarungi Samudra Ingatan. Kelima lagu yang bertalun dalam album ini adalah seruan, agar kita tetap ingat untuk menepi di dermaga lalu meniti rampa. Pergi menengok ingatan. Atau menyapa kawan-kawan sekepal tinju, yang terus ada dan berlipat ganda.