Wamena adalah kota ketiga yang sa pijaki di Papua. Jayapura dan Timika sebelumnya. Kota-kota lain, masih dalam impian.
Ketika kali pertama melihat Wamena yang serupa pusar Lembah Balim, sa tersenyum. Tak sabar rasanya ingin segera mendarat, lalu merayap di atasnya. Perasaan ini berkebalikan ketika sa melihat Timika dari udara. Kota ini seperti nyaris disapu limbah raksasa dari PT. Freeport Indonesia.
Kawan-kawan jurnalis di Wamena yang sehati seperjuangan, pertama-tama mengajak sa ke gedung Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kabupaten Jayawijaya. Kebetulan ada rapat tahunan antara legislatif dan eksekutif. Di sanalah sa dikenalkan dengan beberapa orang pejabat di sana. Salah satunya Kepala Dinas Pariwisata Pemerintah Kabupaten Jayawijaya.
"Siapa tahu ko butuh wawancara," kata teman sa.
"Sebenarnya laporan sa ini hanya narasi perjalanan saja. Tak butuh wawancara narasumber. Tapi tak apalah," kata sa.
Di halaman gedung itu, kepala dinas tadi mengatakan akan ada pemecahan rekor MURI saat Festival Budaya Lembah Baliem, kategori noken terbesar. Nanti ada dua kampung yang membuat nokennya. Satu noken berbahan benang pabrikan, sedangkan satunya lagi berbahan alam biasanya dari kulit kayu atau akar anggrek.
"Sebenarnya Baliem itu ditulis Balim," kata teman sa, yang sudah bertahun-tahun meliput di Wamena.
Sorenya, kami beranjak ke salah satu puncak, tempat melihat Kota Wamena dari ketinggian. Kami harus melewati satu pos tentara. Setelah meminta izin, kami berhasil melewati pos itu. Sebelumnya kami juga melewati lokasi belajar anak-anak pengungsi yang sudah tak terpakai. Beberapa sekolah darurat sudah dibongkar.
"Di pos tadi, Jakub Fabian Skrzypzki warga negara Polandia ditangkap," kata teman sa.
"Sayang ee... Bayangkan, ketika kita sedang asyik melancong ke negeri orang, lalu tiba-tiba ditangkap begitu?" kata sa.
Skrzypzki, menurut pengakuannya, hanyalah "wisatawan ekstrem" yang suka mempelajari budaya, bahasa, dan masalah kemanusiaan. Ia mengunjungi beberapa negara konflik dan terpencil. Tapi di Wamena, ia ditangkap karena dituduh sebagai pengedar senjata. Ia akhirnya divonis lima tahun penjara. Saat ini, ia sedang banding.
Keesokan harinya, kami berangkat ke kampung pertama yang mama-mamanya sedang merajut noken berbahan benang pabrikan. Perjalanan ke sana melalui jalan yang kondisinya mulus tapi terkadang berlubang-lubang. Yang paling parah, di daerah longsoran yang katanya sudah bertahun-tahun tak pernah diperbaiki.
Sesampainya di kampung itu, mama-mama membawa noken rajutan mereka. Sudah sejak Maret dikerjakan oleh sepuluh mama. Per mama merajut bagian-bagian terpisah sepanjang tiga meter. Nanti tinggal disatukan. Tapi mereka mengeluhkan soal biaya. Mereka ingin per orang dibayar sepuluh juta rupiah, karena pengerjaannya terbilang rumit.
Saat kembali dari kampung itu, kami berkesempatan singgah di rumahnya Pastor John Djonga. Ia pernah dianugerahi Yap Thiam Hien Award, pada 10 Desember 2009 di Jakarta. Rumahnya asri dan berada di tepi Sungai Balim.
Ketika memperkenalkan diri, pastor ternyata sudah diberitahu salah seorang teman sa. "Oh, Kris. Iya, ini dikirim teman nomormu," katanya.
Pastor orangnya humoris. Kaus yang dipakainya bercorak A.C.A.B. Sesekali kisahnya penuh canda. Tapi ketika ia berkisah tentang pengungsi dan konflik Nduga, sa nyaris meneteskan air mata. Orang sakit yang dibakar dalam honai, mama-mama yang melahirkan dalam hutan, mereka yang melihat keluarga dibunuh, dan kisah-kisah pilu lainnya. Yang ini sudah diberitakan Jubi dan BBC.
Keasyikan berbincang, pembahasan kami sampai ke soal film The Mahuzes. Lalu sa menawarkan semua film dokumenter Ekspedisi Indonesia Biru kepada pastor. Ia masuk ke kamar mengambil harddisk dan sebungkus kacang.
"Ini kacang kulit dari Manado," katanya. Menyusul bergelas-gelas kopi.
"Ini kacang Kawangkoan. Kebetulan sa orang Sulawesi Utara," kata sa.
Pastor sempat menyentil soal jalan yang terkena longsor, yang sempat kami lewati. Ia meminta untuk diberitakan lagi karena tidak pernah ada perhatian pemerintah. Padahal itu menjadi akses sehari-hari masyarakat.
Kami lanjut mengunjungi siswa-siswi SMA Negeri 1 Wamena, yang sedang berlatih tarian kolosal untuk festival. Saat sedang memotret, sa terus mencari siswa-siswi yang orang asli Papua. Tapi jumlahnya tak banyak. Sa bertanya-tanya dalam hati, apakah di Wamena, bahkan penduduknya sudah lebih banyak pendatang layaknya Kota Jayapura, dan daerah lainnya?
Setelah kembali dari perjalanan, kawan sa membuat berita soal noken, mengenai keluhan mama-mama dan rencana mereka untuk tidak menyerahkan noken itu jika pembayarannya tidak sesuai permintaan mereka. Rekor bakal batal. Besoknya, berita itu dibantah pihak pemerintah daerah. Menurut mereka, noken yang dibuat mama-mama itu tak masuk rekor MURI. Yang masuk hanya berbahan alami buatan mama-mama di kampung lain. Namun, tak apalah soal tak masuk rekor MURI itu. Asal karyanya telah kami saksikan dan mendengar tawa mama-mama di tengah lelah mereka, itulah hal-hal yang lebih berharga dibandingkan rekor-rekoran.
Sebelumnya, sa sungguh tertarik ingin melihat festival. Tapi belakangan niat sa itu sa tepiskan. Sa menduga, festivalnya juga nanti mirip dengan festival lainnya. Padahal yang terpenting apa hasil festival yang kerap terabaikan, seperti pemberdayaan kampung-kampung wisata, dan lain sebagainya. Agar tak hanya setahun sekali orang-orang menemui rupa budaya satu daerah.
Sa lalu memilih pulang setelah lima hari di sana. Liputan sa memang hanya untuk persiapan festival. Sudah terlalu banyak media yang memberitakan festival itu, apalagi tentang keelokan Balim. Sa sudah sedikit puas, karena yang menjadi tujuan lain sa berangkat sudah tercapai: melihat pengungsi Nduga dan menemui orang-orang yang ikhlas membantu mereka. Duka mereka yang tak "difestivalkan" beritanya oleh media-media Jakarta.
Wa Wa Wa Wa...
"Ini kacang kulit dari Manado," katanya. Menyusul bergelas-gelas kopi.
"Ini kacang Kawangkoan. Kebetulan sa orang Sulawesi Utara," kata sa.
Pastor sempat menyentil soal jalan yang terkena longsor, yang sempat kami lewati. Ia meminta untuk diberitakan lagi karena tidak pernah ada perhatian pemerintah. Padahal itu menjadi akses sehari-hari masyarakat.
Kami lanjut mengunjungi siswa-siswi SMA Negeri 1 Wamena, yang sedang berlatih tarian kolosal untuk festival. Saat sedang memotret, sa terus mencari siswa-siswi yang orang asli Papua. Tapi jumlahnya tak banyak. Sa bertanya-tanya dalam hati, apakah di Wamena, bahkan penduduknya sudah lebih banyak pendatang layaknya Kota Jayapura, dan daerah lainnya?
Setelah kembali dari perjalanan, kawan sa membuat berita soal noken, mengenai keluhan mama-mama dan rencana mereka untuk tidak menyerahkan noken itu jika pembayarannya tidak sesuai permintaan mereka. Rekor bakal batal. Besoknya, berita itu dibantah pihak pemerintah daerah. Menurut mereka, noken yang dibuat mama-mama itu tak masuk rekor MURI. Yang masuk hanya berbahan alami buatan mama-mama di kampung lain. Namun, tak apalah soal tak masuk rekor MURI itu. Asal karyanya telah kami saksikan dan mendengar tawa mama-mama di tengah lelah mereka, itulah hal-hal yang lebih berharga dibandingkan rekor-rekoran.
Sebelumnya, sa sungguh tertarik ingin melihat festival. Tapi belakangan niat sa itu sa tepiskan. Sa menduga, festivalnya juga nanti mirip dengan festival lainnya. Padahal yang terpenting apa hasil festival yang kerap terabaikan, seperti pemberdayaan kampung-kampung wisata, dan lain sebagainya. Agar tak hanya setahun sekali orang-orang menemui rupa budaya satu daerah.
Sa lalu memilih pulang setelah lima hari di sana. Liputan sa memang hanya untuk persiapan festival. Sudah terlalu banyak media yang memberitakan festival itu, apalagi tentang keelokan Balim. Sa sudah sedikit puas, karena yang menjadi tujuan lain sa berangkat sudah tercapai: melihat pengungsi Nduga dan menemui orang-orang yang ikhlas membantu mereka. Duka mereka yang tak "difestivalkan" beritanya oleh media-media Jakarta.
Wa Wa Wa Wa...
No comments :
Post a Comment