Tepat di hari raya usia yang kebetulan seiring perayaan Paskah oleh kawan-kawan nasrani, saya terbangun dan menemukan berbagai bentuk ucapan. Saat membuka Instagram, WhatsApp, Facebook, dan Telegram, yang berserakan hanya kebahagiaan.
Saya seketika membayangkan, di tengah pandemi global ini, seandainya setiap orang yang positif Covid-19, mendapat ucapan serupa dengan narasi berbeda-beda yang terus menyemangati mereka? Mungkin, stigma kepada mereka akan pudar. Yang ada hanya kebahagiaan membedaki langit-langit kamar mereka atau ruang di mana mereka dirawat. Mereka yang masih bisa mengakses ponsel mungkin bisa membaca setiap dukungan kita. Mereka yang berventilator dengan mata yang masih terbuka, mungkin bisa ditunjukkan oleh perawatnya bahwa di luar sana ada banyak orang yang menyemangatinya.
Kemarin saya membaca berita yang menuliskan Ikatan Dokter Indonesia tak mempermasalahkan jika data pribadi para pasien dibuka. Beberapa hari sebelum berita ini saya baca, saya dan seorang kawan sempat berbincang tentang ini. Bisa jadi, stigma kepada mereka yang suspect, PDP, ODP, dan segala deret istilah yang dilekatkan pemerintah kepada mereka, berandil menciptakan stigma itu, atau ketika para pasien diubah menjadi angka. Saya dan kawan ini pun bersepakat, bahwa data pribadi mereka memang tak perlu disembunyikan.
Penolakan-penolakan terhadap jenazah yang meninggal akibat Covid-19, menyiratkan bahwa sebagian orang belum benar-benar memahami apa yang mereka hadapi. Ketika melihat video-video pemakaman, saya bersedih bukan karena tak ada orang atau keluarga yang hadir, tapi karena beberapa di antaranya dimakamkan di sudut tanah lapang, seolah-olah terkucilkan hingga mereka berpulang. Apa tidak sebaiknya pemerintah menganjurkan agar jenazah bisa dimakamkan di pemakaman umum atau pemakaman keluarga berdampingan dengan orang-orang yang mereka kasihi. Lahan khusus pemakaman jenazah Covid-19 mungkin bisa dipakai jika sehari atau sepekan jumlah kematian mencapai puluhan.
Beredar pula video ketika seorang perawat perempuan melangkah keluar dari tempat tinggalnya menuju mobil yang terparkir. Di punggung jaketnya tertulis: ambulance. Ia terkejut ketika tiba-tiba suasana menjadi riuh. Gelegar tepuk tangan dari tetangganya, mengiringi niatnya untuk bertugas di masa-masa wabah ini mengancam setiap yang bernyawa. Wajahnya seketika memerah. Ia menangis. Peran-peran kemanusiaan seperti ini layak menjalar dari setiap jemari kita.
Setiap akun media sosial adalah bayangan wajah kita dalam cermin. Kita bisa memindai kepribadian atau masalah seseorang hanya dari unggahan mereka. Di masa-masa sulit seperti ini, kita bisa membaca kawan-kawan kita yang harus mengemasi meja kerja mereka, bukan karena harus bekerja di rumah, tapi karena di-PHK perusahaan tempat ia bekerja. Sebagian orang mungkin bersedih ketika mata pencaharian hilang begitu saja, tapi jauh lebih dalam, ada orang-orang yang lebih bersedih sebab kantor itu adalah tempat ia bisa berkarya. Tempat ia selama berminggu-minggu menyiapkan apa saja dengan penuh semangat.
Sebelum pandemi ini terasa mengintai kita lebih dekat, saya dan seorang kawan di sela-sela pekerjaan, coba menyiapkan usulan-usulan liputan untuk media lain. Hampir sebulan kami menyiapkannya. Saya sampai melakukan detoks media sosial atau menon-aktifkan beberapa akun hampir sebulan, agar fokus dengan pekerjaan ini. Sebagai jurnalis lepas, beginilah cara kami menyiasati agar saku kami tak melulu kosong. Tapi ketika pandemi ini tiba, semuanya tertunda. Beruntung ada saja kawan yang rela membagi pekerjaan mereka untuk kami kerjakan dan diupah.
Bukan hanya pedagang kaki lima, mama-mama penjual pinang dan penganan lokal, warung-warung makan, atau kedai-kedai kopi yang merasakan dampak buruk dari pandemi ini. Segala jenis usaha diliputi awan kelabu. Setiap orang mengecek isi dompetnya, rekeningnya, atau bahkan terpaksa membanting celengan mereka.
Setiap yang agamais juga diajak menepi. Barangkali, Tuhan memang ingin kita merenung, bahwa riuh doa di rumah-rumah ibadah kita yang berkilauan, atau di tanah lapang yang disesaki ribuan umat, tak sebanding ketika kita bersunyi-sunyi dengan-Nya dalam doa dan ibadah.
Seandainya kita bisa selamat dari pandemi ini, kita perlu sadar bahwa kita tak bisa hidup tanpa saling mendukung satu sama lain dalam kemanusiaan. Hal yang sebenarnya telah berkali-kali diajarkan orang-orang Papua kepada kita.
No comments :
Post a Comment