Apa yang kau inginkan jika di hari ulang tahunmu, kau diberi satu permintaan keajaiban?
Aku ingin kembali menjadi bocah dan tak pernah tumbuh dewasa.
Usia yang paling aku impikan adalah ketika menjadi balita. Mungkin empat tahun. Karena ketika lima tahun, aku sudah mulai berseragam dan dipaksa bangun lalu mandi pagi. Pergi ke sekolah dasar tanpa melewati masa taman kanak-kanak, karena di usia lima aku sudah bisa membaca dan berhitung.
Kanak-kanak adalah masa keajaiban yang terampas saat kita perlahan-lahan tumbuh. Masa yang belum memikirkan tentang cinta, segala keributan orang-orang dewasa, atau keharusan untuk pergi bersekolah. Kita hanya hidup dalam dunia bermain.
Sesekali aku mencuri dengar kakak-kakak perempuanku berkisah tentang cinta monyet mereka di sekolah, sambil aku sibuk menghabiskan permen. Aku tak terganggu dengan kisah mereka, sebab yang ada di kepalaku hanya: apa yang harus kumakan setelah permen ini habis?
Aku termasuk anak yang dimanjakan karena bungsu dari banyak kakak. Mereka akan bergantian mencubit pipiku, memangkuku, atau membawaku pergi ke tempat-tempat baru yang belum pernah kujangkau. Tentu saja, ketika mereka memiliki sisa jajan sekolah, aku kerap diberi jatah meski tak pernah meminta. Pemilik warung-warung akan selalu tersenyum kepadaku, ketika kakakku membawaku berbelanja apa yang aku suka.
Nenek dari sebelah ibuku yang tinggal di rumah kami adalah idolaku. Nenek sering menyelipkan uang pemberian kerabat di gulungan sarungnya. Ia tak pandai berbelanja dan membagi uangnya kepada kami cucu-cucunya. Jika nilai uangku banyak, kadang kakak-kakakku kerap menipuku. Mereka akan berbelanja makanan ringan atau kue, lalu uang kembalian berlembar-lembar atau koin yang lebih banyak meski nilainya sedikit, akan mereka kembalikan kepadaku.
"Ini, uangnya jadi banyak, kan?"
Aku senang dan tidak merasa tertipu. Betapa menyenangkan menjadi anak-anak, bukan? Seandainya aku tumbuh dewasa dan menjadi seperti mereka, rasa-rasanya aku akan berbuat hal serupa.
Tapi kakak-kakakku kerap mengalah jika menyoal makanan. Bagi mereka, mulut mungil dan usus pendekku tentu membuatku lebih dulu kenyang. Sisa-sisa kue atau buah yang tak habis aku makan, selalu menjadi rebutan mereka. Aku kadang memutuskan kepada siapa sisa makanan kuberikan.
Semua hal di atas, tentu tak akan terulang lagi. Fisik kita terus bertumbuh, lalu berhenti ketika dewasa. Selanjutnya yang menjalar adalah pikiran dan hati. Kita mulai dikenalkan dengan cinta, sampai akhirnya menikah, lalu memiliki anak. Terasa aneh saat kita masih mengingat kenangan masa kanak-kanak, lantas melihat masa-masa itu dalam wujud berbeda dan kali ini ialah anak kita.
Mengenai percintaan, aku memiliki seorang kerabat laki-laki yang meski ia jauh lebih muda dariku, kami sering berbincang tentang dunia cinta. Aku kagum kepadanya, meski pernah sekali aku menyelamatkan kisah cintanya yang nyaris berakhir. Sampai suatu hari, kami tiba pada percakapan yang aku anggap puncak dari segala riuh sebuah hubungan.
"Kau tahu, kenapa banyak kawan-kawanku iri kepadaku?" katanya.
"Soal pacaran?"
"Iya."
"Kenapa?"
"Mereka merasa iri, karena sedahsyat apa pun masalahnya, sampai aku ketahuan dengan cewek lain, pacarku tetap memilih bersamaku."
Aku kemudian ingat dengan beberapa film yang pernah aku tonton. Aku memaknainya bahwa sebuah hubungan yang berkali-kali diterpa badai namun bertahan olehnya, kelak hubungan itu akan sekokoh gunung. Bahkan ketika gunung menghancurkan dirinya sendiri, ia masih bisa disebut sebuah gunung.
"Seperti itu. Aku pikir, ketika masalah-masalah ini telah kami lalui, masalah berikutnya yang akan kami temui ketika menikah, hanya akan menjadi receh. Karena semua yang terberat sekalipun, berhasil kami lewati," katanya.
Itulah yang membuat aku kagum kepadanya. Ada banyak pasangan di luar sana, bahkan hidup bersama selama bertahun-tahun, baru mereka memutuskan untuk menikah. Mereka melewati dulu segala badai bersama, karena pernikahan bagi mereka begitu sakral untuk diakhiri dengan sebuah perpisahan.
Aku ingin kembali menjadi bocah dan tak pernah tumbuh dewasa.
Usia yang paling aku impikan adalah ketika menjadi balita. Mungkin empat tahun. Karena ketika lima tahun, aku sudah mulai berseragam dan dipaksa bangun lalu mandi pagi. Pergi ke sekolah dasar tanpa melewati masa taman kanak-kanak, karena di usia lima aku sudah bisa membaca dan berhitung.
Kanak-kanak adalah masa keajaiban yang terampas saat kita perlahan-lahan tumbuh. Masa yang belum memikirkan tentang cinta, segala keributan orang-orang dewasa, atau keharusan untuk pergi bersekolah. Kita hanya hidup dalam dunia bermain.
Sesekali aku mencuri dengar kakak-kakak perempuanku berkisah tentang cinta monyet mereka di sekolah, sambil aku sibuk menghabiskan permen. Aku tak terganggu dengan kisah mereka, sebab yang ada di kepalaku hanya: apa yang harus kumakan setelah permen ini habis?
Aku termasuk anak yang dimanjakan karena bungsu dari banyak kakak. Mereka akan bergantian mencubit pipiku, memangkuku, atau membawaku pergi ke tempat-tempat baru yang belum pernah kujangkau. Tentu saja, ketika mereka memiliki sisa jajan sekolah, aku kerap diberi jatah meski tak pernah meminta. Pemilik warung-warung akan selalu tersenyum kepadaku, ketika kakakku membawaku berbelanja apa yang aku suka.
Nenek dari sebelah ibuku yang tinggal di rumah kami adalah idolaku. Nenek sering menyelipkan uang pemberian kerabat di gulungan sarungnya. Ia tak pandai berbelanja dan membagi uangnya kepada kami cucu-cucunya. Jika nilai uangku banyak, kadang kakak-kakakku kerap menipuku. Mereka akan berbelanja makanan ringan atau kue, lalu uang kembalian berlembar-lembar atau koin yang lebih banyak meski nilainya sedikit, akan mereka kembalikan kepadaku.
"Ini, uangnya jadi banyak, kan?"
Aku senang dan tidak merasa tertipu. Betapa menyenangkan menjadi anak-anak, bukan? Seandainya aku tumbuh dewasa dan menjadi seperti mereka, rasa-rasanya aku akan berbuat hal serupa.
Tapi kakak-kakakku kerap mengalah jika menyoal makanan. Bagi mereka, mulut mungil dan usus pendekku tentu membuatku lebih dulu kenyang. Sisa-sisa kue atau buah yang tak habis aku makan, selalu menjadi rebutan mereka. Aku kadang memutuskan kepada siapa sisa makanan kuberikan.
Semua hal di atas, tentu tak akan terulang lagi. Fisik kita terus bertumbuh, lalu berhenti ketika dewasa. Selanjutnya yang menjalar adalah pikiran dan hati. Kita mulai dikenalkan dengan cinta, sampai akhirnya menikah, lalu memiliki anak. Terasa aneh saat kita masih mengingat kenangan masa kanak-kanak, lantas melihat masa-masa itu dalam wujud berbeda dan kali ini ialah anak kita.
Mengenai percintaan, aku memiliki seorang kerabat laki-laki yang meski ia jauh lebih muda dariku, kami sering berbincang tentang dunia cinta. Aku kagum kepadanya, meski pernah sekali aku menyelamatkan kisah cintanya yang nyaris berakhir. Sampai suatu hari, kami tiba pada percakapan yang aku anggap puncak dari segala riuh sebuah hubungan.
"Kau tahu, kenapa banyak kawan-kawanku iri kepadaku?" katanya.
"Soal pacaran?"
"Iya."
"Kenapa?"
"Mereka merasa iri, karena sedahsyat apa pun masalahnya, sampai aku ketahuan dengan cewek lain, pacarku tetap memilih bersamaku."
Aku kemudian ingat dengan beberapa film yang pernah aku tonton. Aku memaknainya bahwa sebuah hubungan yang berkali-kali diterpa badai namun bertahan olehnya, kelak hubungan itu akan sekokoh gunung. Bahkan ketika gunung menghancurkan dirinya sendiri, ia masih bisa disebut sebuah gunung.
"Seperti itu. Aku pikir, ketika masalah-masalah ini telah kami lalui, masalah berikutnya yang akan kami temui ketika menikah, hanya akan menjadi receh. Karena semua yang terberat sekalipun, berhasil kami lewati," katanya.
Itulah yang membuat aku kagum kepadanya. Ada banyak pasangan di luar sana, bahkan hidup bersama selama bertahun-tahun, baru mereka memutuskan untuk menikah. Mereka melewati dulu segala badai bersama, karena pernikahan bagi mereka begitu sakral untuk diakhiri dengan sebuah perpisahan.
Pacarmu adalah kawan terbaikmu. Nietzsche bersabda, "It is not a lack of love, but a lack of friendship that makes unhappy marriages."
No comments :
Post a Comment