Tiga puluh ribu kaki meninggi. Empat ribu kilometer mengudara. Hanya untuk satu kata: Ibu.
Apa jadinya ketika hal yang ikut kau tentang, akhirnya terpaksa harus kau jalani? Pulang kampung. Saya harus melintasi setengah langit Indonesia dari Timur menuju Barat. Kemudian melanjutkan lagi setengah perjalanan udara dari Selatan ke Utara.
Selama masa pandemi Covid-19, perjalanan pulang kampung memang cukup berbahaya. Apalagi ketika kita dari dan akan memijak wilayah-wilayah yang virusnya tengah mengganas. Seandainya Ibu tidak sakit, saya memilih untuk tetap mengurung diri di kamar kos. Bahkan lebaran kemarin, saya memutuskan tak pulang karena tahun baru kemarin saya baru dari kampung.
Perjalanan ke luar Papua cukup menguras energi dan saku. Tenaga bisa pulih, uang bisa dicari, tapi kesempatan merawat orang tua yang sakit tak ternilai. Saya yang bekerja di Jayapura dan tidak mengantongi Kartu Tanda Pengenal (KTP) Papua, harus mengikuti aturan yang dikeluarkan Pemerintah Provinsi (Pemprov) Papua.
Syarat pertama bagi non-KTP Papua, saya harus membuat surat pernyataan untuk tidak kembali ke Papua selama setahun. Surat ini bisa dibikin sendiri, tapi ditanda-tangani di atas materai 6.000. Ini alternatif atau pilihan tercepat, daripada mengurus Surat Persetujuan Keluar Masuk (SPKM) yang harus melewati ruangan Sekretaris Daerah Pemprov Papua lalu Dinas Perhubungan Pemprov Papua. Jika mengurus SPKM butuh berhari-hari dan biasanya ini bagi yang ber-KTP Papua atau yang melakukan perjalanan dinas.
Saya yang berniat kembali Papua, memang bisa mengurus SPKM dengan menyertakan surat keterangan dari kantor. Tentu saja saya tidak akan sempat mengurusnya, sebab tiket pesawat sangat sulit mendapatkannya dan kebetulan tiga hari berikutnya, dengan dibantu seorang kerabat saya, kami berhasil mendapatkan tiket karena ada yang menunda perjalanannya. Saya dan dia yang tinggal di Boven Digoel, yang juga hendak pulang ke kampung yang sama, sempat berniat melalui jalur laut dan mengunjungi kantor Pelayaran Nasional Indonesia (Pelni) Jayapura, namun antrean panjang dan tiket cepat habis.
Kedua, saya harus melakukan tes cepat atau rapid test. Pukul 9 pagi, saya sudah berada di Laboratorium Kesehatan Daerah (Labkesda) di Rumah Sakit (RS) Dok II Jayapura. Tapi pagi itu antrean seperti orang-orang ini sudah berdatangan sejak matahari baru saja semburat. Penuh. Biaya tes cepat di sini, berkisar antara Rp 150 ribu. Saya memutuskan melakukan tes di RS Provita. Di RS ini antrean tidak seular di Labkesda. Hanya beberapa orang saja. Setelah mengisi formulir, saya ditanyai tiket pesawat. Sebaiknya sebelum melakukan tes cepat, kita sudah memesan tiket pesawat atau kapal laut.
Setelah membayar Rp 400 ribu di loket, saya disuruh ke ruang lab untuk mengambil darah. Saya pikir, tes cepat hanya meneteskan darah di alat rapid dan hasilnya segera diketahui. Tapi di sini, saya diambil darah hampir setabung jarum suntik ukuran sedang. Tiga jam kemudian hasilnya diketahui. Saya sempat cemas, karena kondisi tubuh saya sedang dalam masa pemulihan karena sakit. Beberapa hari sebelumnya saya dirawat di Instalasi Gawat Darurat (IGD) RS Dian Harapan, karena asam lambung naik. Awalnya saya mengira akan serangan jantung karena dada sakit dan sulit bernapas. Kata dokter, selain karena pola makan dan tidur tidak teratur, asam lambung naik juga dipicu stres. Berkurung diri di kamar selama berbulan-bulan dan dikabari orang tua sakit keras memang menambah beban pikiran. Beruntung, hasil tes cepat menyatakan saya nonreaktif.
Ketiga, syarat ini sudah jauh-jauh hari saya urus. Surat keterangan yang menyatakan Ibu sedang sakit, dari Kepala Desa Passi, tempat asal saya. Tapi karena pembatasan akses terus diperpanjang, surat ini baru bisa terpakai sekarang. Ibu juga memang kembali dirawat cukup lama hingga berminggu-minggu di RS.
Keempat, saya tinggal memfotokopi KTP yang ikut dilampirkan di surat pernyataan tidak kembali ke Papua. Bisa juga tiket ikut dicetak agar semua berkas menyatu. Tapi saya tidak mencetak tiket, nanti hanya menunjukkannya lewat email kepada petugas bandara.
Saat hari keberangkatan tiba, sebaiknya kita tiga jam sebelum berangkat sudah berada di bandara. Ini sebenarnya mungkin hanya berlaku di Papua. Karena penerbangan antardaerah Papua ikut dibuka, maka antrean memanjang. Saya direkomendasikan nomor seorang petugas di Bandara Sentani, oleh kerabat saya yang lebih dulu pulang sehari sebelum keberangkatan saya. Petugas bandara yang orang Papua ini, membantu saya membawa berkas-berkas untuk diparaf. Surat pernyataan harus ada paraf dari Dinas Perhubungan yang sudah menyediakan petugasnya di bandara.
Selanjutnya, kita harus bersabar untuk mengantre, karena ada sekitar 50-an orang berjajar untuk menunjukkan berkas mereka ke petugas Dinas Kesehatan. Semua dokumen kelengkapan akan diparaf dan dicap lagi. Serasa seperti sedang ke luar negeri lalu melewati pintu-pintu imigrasi. Sambil menunggu antrean, saya mengisi data di aplikasi eHAC Kementerian Kesehatan. Nanti barcode-nya akan di-scan di setiap bandara karena itu wajib diisi. Usai berlama-lama mengantre dan urusan selesai, suhu tubuh kita diukur dengan thermal scanner. Kemudian kita bisa melenggang bebas ke dalam bandara.
Saat mengurus boarding pass, kelengkapan berkas akan diperiksa lagi. Jika lengkap, maka kita bisa menuju ruang tunggu dan bernapas lega. Saat pesawat akan berangkat, saya kira semua urusan selesai. Ternyata masih ada satu formulir yang dibagikan petugas maskapai Garuda Indonesia yang saya tumpangi, untuk diisi. Penjelasan dalam formulir, tentang kelengkapan berkas saja selain kita kembali mengisi data pribadi. Kalau ada yang tidak lengkap kita harus menanggung semua risikonya, termasuk pembatalan penerbangan.
Bagian tengah kursi di pesawat sengaja dikosongkan untuk menjaga jarak antarpenumpang. Di sandaran kursi tertulis tagar #BecauseYouMatter. Karena penerbangan sore dan diperkirakan saya tiba di Makassar pukul 5 sore, saya tidak bisa mendapatkan tiket langsung ke Manado di hari yang sama. Tidak ada penerbangan malam. Penerbangan dari Jayapura ke Manado juga tidak ada, karena itu banyak yang harus ke Makassar dulu, lalu melanjutkan penerbangan ke daerah tujuan selanjutnya.
Hampir tiga jam mengudara dengan cuaca buruk, saya tiba di Makassar. Di Bandara Sultan Hasanuddin, kita disuruh mengisi formulir berwarna kuning atau biasa mereka sebut kartu kuning yang sudah disiapkan petugas, baru bisa ke luar bandara. Sebenarnya ini kalau sudah mengisi data di aplikasi eHAC, tinggal di-scan saja barcode-nya. Tentunya dengan menunjukkan kembali kelengkapan berkas termasuk hasil rapid test.
Saya segera mencari loket penjualan tiket di bandara, tapi semuanya tutup sore hari. Saat memesan hotel transit di bandara, untuk bermalam di Makassar, petugasnya membantu menghubungi kenalannya yang biasa menjual tiket. Saya mendapat tiket Citilink pukul 4 sore esok hari. Lion Air siang hari pelit jatah bagasi. Harganya juga hanya selisih 200-an ribu rupiah. Setelah memesan tiket, saya akhirnya bisa rebah di hotel transit yang harganya terjangkau, hanya 300 ribu rupiah semalam kita sudah dijemput dan diantar lagi ke bandara esoknya.
Pukul 1 siang keesokan harinya, saya sudah ke bandara. Di Bandara Sultan Hasanuddin ternyata ada pemeriksaan mirip di Papua. Meski antrean tidak panjang. Berkas kita harus diparaf lagi oleh Dinas Perhubungan dan Dinas Kesehatan setempat. Suhu tubuh diukur. Barcode eHAC di-scan. Lalu bisa masuk bandara.
Penerbangan dari Makassar ke Manado hanya sejam lebih. Saat tiba di Bandara Sam Ratulangi, bagi yang tidak mengisi eHAC harus mengisi data di formulir mirip kartu kuning di Bandara Sultan Hasanuddin. Barcode eHAC di-scan. Suhu tubuh diukur. Baru kita bisa keluar. Alangkah bahagianya ketika melihat lambaian tangan kawan dan kerabat saya yang datang menjemput. Akhirnya bisa tiba di Manado.
Namun perjalanan panjang belum berakhir. Sebab dari Manado menuju Kabupaten Bolaang Mongondow atau ke desa saya, masih menjalari daratan selama empat jam. Kami istirahat sejenak di rumah kerabat di Manado. Dua jam kemudian, kami pulang ke kampung.
Pukul 3 pagi, cuaca Eropassi yang berkabut menyambut ...
No comments :
Post a Comment