Hampir satu dekade, saya tidak pernah berada di kampung halaman ketika pemilihan kepala desa atau sangadi berlangsung. Bukan apa-apa, karena memang saya lebih banyak berpindah-pindah daerah sepanjang tahun-tahun itu berlalu.
Awal bulan depan, pilsang akan dilaksanakan di desa kami tercinta. Kali ini saya kebetulan berada di kampung. Tak bisa ke mana-mana, sebab lebaran pun tinggal tiga kali menyobek lembar kalender. Alangkah ruginya bepergian jauh.
Terkadang, sekelas pilsang ini akan lebih seru terasa, dibandingkan pilpres atau pilkada dan "pilpilpil" lainnya. Seru karena apa? Karena yang bertarung biasanya setali ikat pembuluh darah saja. Kerabat versus kerabat, atau sahabat versus sahabat. Tobaloyan (serumah).
Seiring perkembangan teknologi, medsos jadi salah satu wadah berkampanye paling praktis. Namun selalu saja ada dampak buruknya. Misal, jika dulu omongan hanya berpindah dari mulut ke mulut, atau SMS ke SMS, sekarang bisa menyebar sekampung hanya dalam sekali klik.
Kerap kali linimasa berjejeran status yang saling menyindir antara pendukung kandidat andalan. Itulah kenapa, akhir-akhir ini saya cenderung mengurangi durasi bermedsos apalagi Facebook yang, tentu saja paling dikuasai oleh mamak-mamak.
Semua kandidat ialah orang-orang terbaik di desa, yang rela mendedikasikan dirinya untuk menjadi pemimpin sekaligus pelayan masyarakat. Siapa pun yang terpilih, jangan sampai sesudah itu, teman sepermainan atau kerabat berubah menjadi musuh abadi. Yang bahkan ketika bersua pun mulut seperti digembok dan enggan bertegur sapa. Padahal, siapa yang kali pertama bersalam, tentu adalah pemenang dari sikap egonya itu sendiri.
Memaafkan atau meminta maaf memang berat. Ia serupa pil pahit, namun setelah kau menelannya, ia mampu menyembuhkan dendam.
Pada momen pilsang kali ini, Ramadan dan Idulfitri pun sudah di ambang pintu. Setiap tahun kita berjumpa dengan hari penuh pemaafan ini. Coba menunduk sejenak lalu tarik ingatan: apakah sudah pernah berjabat tangan dengan orang-orang yang pernah berseteru ketika pilsang-pilsang yang lalu?
Belakangan, saya berpikir, ternyata ada manfaatnya juga ketika pilsang kemudian kita tidak berada di kampung halaman. Karena kita terlepas dari beban, bahwa kita berada di kubu A atau B atau C.
Untuk sekarang? Sedikit berbeda karena saya sedang berada di atmosfer itu, namun saya akan mencoba bersikap seperti biasanya. Bukankah ketika memilih nanti, tak ada seorang pun yang melihat kita mencoblos siapa?
Atau seperti "pilpilpil" lainnya, saya memilih tidur pulas saja ...
No comments :
Post a Comment