Sunday, June 25, 2023

Emosi

No comments

Sejauh mana samudra kauarungi? Pulang membawamu pada puncak sebuah bukit. Di sana ada tangan siap memijat punggungmu, tempat di mana sebuah jangkar pernah tertancap, dan menahanmu di lautan bertahun-tahun.

Di kabut pagi, hening kerap membawa ketukan di jendelaku. Senyummu kemudian tergaris di antara cahaya malam. Ada angin yang merayap di sekujur tubuhku ketika melihatmu siap-siap memanjat takdir yang aku pun tak pernah menyangkanya hadir.

Namun selalu ada tingkahmu yang membuatku bertanya-tanya: seperti apa dirimu? Kau bisa menjadi serigala bertaring penuh darah, tetapi bisa sekejap berubah menjadi seekor kucing lucu dengan kibasan ekormu mengelus punggung lenganku.

Di saat semua membara, kita bisa saling mengutuk dan mengancam. Lalu candamu serupa bongkahan es yang diletakkan di ubun-ubunku. Dan amarah seketika memudar menjadi tawa. Kau selalu berhasil mencuri angkuhku, lalu melemparkannya jauh-jauh.

Aku kadang mengumpati pekerjaanmu karena kerap memeras keringatmu. Namun aku kadang kagum pula dengan kegigihanmu akan hari esok yang lebih cerah. Kau selalu menepis mendung hadir di atas kepalamu, dan melawannya berkali-kali dengan jas hujan murahmu.

Cinta memang aneh. Meski ia hanya bertepuk sebelah tangan, tetapi ia selalu menghadiahiku rasa cukup. Iya, cukup dengan mencintamu aku benar-benar tahu, bahwa Tuhan sedang tersenyum ketika menciptakan aku.

Tuesday, April 25, 2023

Rindu

No comments


Di lebaran hari ketiga, ketika hendak makan sore, entah kenapa aku tiba-tiba rindu mendiang ibu. Tirai kamarnya kusingkap, dan hanya ada kesunyian tertangkap. Sore hari, ibu memang terbiasa memanggil untuk memutar posisi badannya. Tapi kali ini, suara itu tak terdengar.

Sejak kepergian ibu hampir seratus hari lebih lamanya, aku tak menulis obituari atau kisah panjang tentangnya. Hanya sepenggal cerita yang kubawa ketika mengunjungi Jogja baru-baru, yang kutulis karena ada sosok ibu kutemui di pameran lukisan.


Blogku ini sudah berdebu. Tak ada tulisan-tulisan lagi lahir di sini. Selain itu, aku tak tahu harus menulis apa tentang ibu. Selama tiga tahun bersamanya di rumah di kampung, sudah cukup mengalahkan ribuan kisah di buku-buku.


Terkadang, kita juga akan sampai pada titik, jenuh dengan media sosial, jarang mengunggah apa-apa, bahkan buku-buku bacaan pun terlantar. Waktuku kini lebih banyak berkutat dengan pekerjaan, menonton film, atau bermain game daring.


Orang-orang yang menjadi ruh tulisanku pun, satu demi satu pergi dan menjauh. Jalan buntu kerap kali kutemui ketika muncul keinginan untuk menulis lagi di blog. Seperti apa yang selama ini aku pelajari dari menulis, sirna seketika. 


Kini, tinggal berita-berita kaku yang berulang-ulang aku hadapi setiap hari. Turun liputan pun jarang, karena aku sedang berada di kampung. Rasa-rasanya, insting menulis bahkan ide-ide liar seperti hilang dari gelembung-gelembung pikir.


Ketika selesai salat Id kemarin, aku langsung mengunjungi makan ibu dan bapak yang berdampingan. Makam ibu paling baru di antara makam-makam lainnya. Aku tercenung sejenak, dan merasakan angin pagi serupa jarum-jarum es menusuk. Doa kupanjatkan. 


Ah, ibu, maaf jika masih ada salah dan keinginan ibu yang belum kupenuhi. 


Al-Fatihah ...