Rabu, 22 Januari 2025

Botol Vodka Kedua

Tidak ada komentar



Botol vodka pertama membuatnya bertanya, "Kau kenapa?"

Dia selalu bisa membaca kesunyianku. Meski aku bersembunyi di balik lipatan tangan, wajah ceria, atau mulut yang terlalu banyak bicara.

Pandangannya terus bertanya. Disusul tendangan pelan yang mengajakku meraih tubuh botol. Setelah kusesap isinya, kini aku yang menjawab sekaligus bertanya, "Aku tidak apa-apa, hanya merasa kau sedang tidak di sini, 'kan?"


Masih botol vodka pertama, ia tiba-tiba berkata, "Aku tidak bahagia."

Dia sepertinya mulai mabuk. Aku juga menemukan kesunyian dalam getar suaranya. Kemudian satu demi satu jahitan di mulutnya terlepas, "Malam ini aku tak pulang. Aku ingin bersamamu."


Botol pertama sudah mau habis, ia memelukku, "Aku belum mabuk."


Mata bundarnya memicing. Bibirnya seperti embun yang disapa terang pagi.


Sebatang rokok di jepitan jemarinya, dibiarkan membakar sendiri. Sekumpulan abu yang menyelimuti bara membengkok lalu patah menimpa lantai lesi.


Dia menoleh ke arahku namun pandangannya ke sudut lain. Mungkin pada poster Nirvana yang kupunggungi. Jidatnya berminyak. Bayangan wajahku ada di sana.


Pada botol vodka kedua, terasa sepuluh tahun waktu yang singkat, tetapi sepuluh jam adalah waktu yang lama untuk aku dan dia. Larut bersama vodka dan setumpuk kisah. Membicarakan ledakan-ledakan pada setiap pertemuan dan lenguhan.


Botol kedua membuatnya lirih berkata, "Aku nyaman bersamamu."


Kini di sepasang bola matanya, aku menemukan matahari pagi dan purnama yang berjumpa di langit abu-abu. Jemariku menyisiri rambutnya. Menggaruk pelan kulit kepalanya seperti sepuluh tahun yang lalu.


Aku memeluknya kemudian berbisik di telinga kirinya, "Jangan tinggalkan dia."

Selasa, 21 Januari 2025

Dan dan "&"

Tidak ada komentar



Aku terbiasa berkirim pesan denganmu menggunakan: e ye de. Kau sering bilang aku orang yang suka repot: ca pe de.

 

Ada tingkahmu yang kerap membikin kedua alisku saling merangkul. Tak pernah ada satu pun kata "dan" dalam pesan singkatmu. Semuanya terganti dengan simbol "&". 

 

Aku bertanya lalu katamu bentuk "&" seperti orang yang sedang duduk membaca, karena itu kau lebih menyukainya. Baru setelah kau berkata begitu, aku mulai memperhatikannya saksama. Bentuknya memang mirip orang yang sedang membaca; entah buku; entah ponsel pintar; atau malah seperti seseorang yang sedang berdoa; atau mungkin seperti seekor ular.

 

Aku makin menyukaimu karena caramu melihat sesuatu dengan berbeda. Sejak saat itu, setiap kali berkirim pesan singkat denganmu aku mulai belajar menggunakan "&".

 

Suatu hari aku mengirim pesan singkat kepadamu, "Osney & Molet sudah kauberi makan?"

 

Sebaris pesan balasan darimu menyembul, "Sdh."

 

"Cobalah kau belajar menulis dengan EYD. Aku saja mulai belajar memakai simbol mirip orang berdoa itu," balasku.

 

"Knp dinmkn psn sngkt? Byr cpt!" jawabmu.

 

Aku lantas menghitung berapa langkah jemari untuk mengetik "&", ternyata butuh tiga ketukan jempol di layar ponsel sampai kembali ke tombol QWERTY. Jumlah langkah yang sama ketika mengetik "dan". Ah, aku dan kamu memang seperti "dan" dan "&". Kau ampersand yang selalu memunggungiku.

 

"Dn!" tulisku.

 

"Apa itu?" tanyamu dengan ketikan sempurna.

 

"The end!" balasku.