"Orang tua dan guru pernah menjadi anak-anak. Tapi anak-anak tidak pernah menjadi orang tua dan guru."
Saya mengutip kalimat itu dari status seorang kawan di FB. Terdengar familiar dan menurut saya inilah kalimat paling mewakili dalam kasus "tampeleng" (tampar), yang diduga dilakukan seorang guru kepada anak didiknya di salah satu SMA di Kotamobagu.
Dari video live FB yang dilakukan ayah si siswi, tampak ibu guru ini meminta maaf karena telah berbuat demikian. Ia mengaku hanya menempeleng dengan lembut, yang dibahasakan sebagai "tampeleng sayang".
Pertama, yang harus diperhatikan dalam kasus ini adalah apakah benar ibu guru ini menempeleng siswi ini dengan lembut? Menurut pengakuan ibu guru ia hanya menempeleng dengan lembut, tapi kenapa siswi ini menangis lantas pulang mengadu? Kita tidak bisa menghakimi siswi ini sebagai anak manja, lalu membanding-bandingkan pengalaman kita semasa sekolah yang penuh dengan cubitan dan cambukan. Adagium "di ujung cemeti ada emas" telah usang.
Bagaimana dengan mental atau perasaan malunya? Setiap orang termasuk anak apalagi di masa labil, memiliki badai dalam diri mereka masing-masing. Karena itu perlakuan kasar kepada anak-anak dilarang di sistem pendidikan modern, dan ada pasal yang mempertegasnya. Siapa yang mau bertanggung jawab ketika badai dalam diri siswi itu mengamuk? Karena malu dan sejumlah alasan lainnya, kemudian dia berbuat hal yang tidak-tidak (semoga ini tidak terjadi). Saksi juga harus digali keterangannya agar menyoal penamparan ini semakin terang.
Sebuah tamparan, mau keras atau lembut, kepala adalah tempat bersemayamnya otak manusia. Otak dan kemampuan berpikir manusia inilah yang menjadikan kita makhluk superior, dibandingkan binatang, iblis, bahkan malaikat. Malaikat disetel sifatnya oleh Tuhan hanya untuk menjadi makhluk baik, begitupun sebaliknya iblis hanya jahat. Tapi manusia bisa menyerap kedua sifat itu: baik dan jahat. Betapa agungnya kita sebagai makhluk hanya karena otak (daya pikir) kita.
Mungkin karena saking terhormatnya kepala maka kenapa "tola kapala" (towel kepala) sangat dilarang dalam budaya kita. Ini bisa menjadi pangkal masalah. Bahkan kita dilarang untuk menduduki bantal tidur sebab itu adalah tempat kepala kita berlabuh. Entah kenapa juga ibu guru itu memutuskan untuk menempeleng, padahal cubitan lejen (bahkan ini pun sudah dilarang) bisa menjadi pilihan kalau memang tidak bisa menahan gemas.
Kedua, jika benar siswi ini ditampar atas nama hukuman pendisplinan, maka apa yang telah diperbuatnya? Jika sering terlambat masuk sekolah, apakah teguran harus dengan kekerasan? Ajaklah siswi itu ke ruangan yang hanya ada guru dan dia. Kemudian tanyakan alasan kenapa ia sering terlambat. Bicaralah baik-baik seperti kausedang berbagi dengan teman baikmu. Apalagi kalian yang guru, yang mungkin pernah mengikuti tes psikotes pasti paling paham yang beginian. Yang sangat disayangkan, ketika para guru yang justru ikut menormalisasi kekerasan. Solidaritas memang perlu, tapi ingat ada pasal yang melarang kekerasan terhadap siswa. Lega ketika ada kawan pengajar yang malah melawan arus dan ikut menolak kekerasan terhadap siswa. Mereka yang percaya bahwa hanya ikan mati yang bisa terbawa arus.
Saya jadi ingat sebuah film pendek tentang pak guru yang kerap memukul telapak tangan seorang siswanya dengan mistar, karena anak ini sering terlambat. Sampai suatu hari, ia melihat alasan kenapa anak itu kerap terlambat ke sekolah. Ternyata setiap pagi bocah itu sering membantu dulu saudaranya yang cacat di kursi roda. Guru itu akhirnya menyesali perbuatannya dan menciumi tangan anak itu yang sering ia hantam dengan penggaris.
Saya tidak berharap ada alasan yang dramatis seperti itu dalam kasus siswi yang ditempeleng. Tapi setidaknya, itulah tugas pihak sekolah dan orang tua untuk mengungkap, kenapa anak itu sering terlambat kemudian mencari solusinya bersama-sama. Berbagai bentuk sanksi alternatif juga bisa diterapkan selain kekerasan. Hukuman yang mendidik dan tidak menyakiti fisik atau psikis siswa. Ada banyak metode seperti itu yang bisa dibaca di buku, digugling, atau yang telah dicontohkan oleh beberapa kawan misal mengulas buku dan lain sebagainya. Bukankan setiap sekolah punya Pojok Baca?
Ketiga, setelah pengaduan dari siswi kepada orang tuanya yang kabarnya karena geram sempat membuat laporan di kepolisian, kemudian selanjutnya ditempuh langkah mediasi, apakah mediator di sini ikut juga pihak kepolisian atau hanya antara pihak sekolah dan orang tua? Kenapa sebelum mediasi tidak ada kesepakatan untuk menyimpan ponsel, agar upaya mediasi bisa berjalan baik? Apakah langkah ini dilakukan tapi si ayah siswi ini yang menolak dan tetap mau merekam upaya mediasi? Pertanyaan-pertanyaan inilah yang seharusnya ditanyakan oleh wartawan kemudian diberitakan, agar warga atau khalayak ramai yang dibuat gaduh oleh kasus ini bisa menerima informasi yang jelas.
Sejak kasus ini bergulir di medsos, saya menunggu berita yang bisa memperjelas kasus ini. Ada sejumlah laporan warga yang bisa masuk kategori citizen journalism (cj) pada kasus "tampeleng" ini. Bahan-bahan yang dirangkum dari live, status, dan sejumlah data ringkas dari postingan medsos. Keuntungan cj atau jurnalisme warga ini yakni kecepatan laporannya. Tapi tentu saja, ketidakakuratan dan biasanya bias informasi kerap ditemukan.
Nah, tugas wartawan untuk memperjelas informasi dari cj ini. Pertanyaannya, apakah ada satu media di BMR tersayang ini yang melaporkan kasus ini dengan berimbang? Memberi kesempatan kepada guru/pihak sekolah untuk menjelaskan kasus ini? Kemudian ada penjelasan dari orang tua/siswi? Serta sudut pandang dari pengamat yang benar-benar pengamat pendidikan?
Metode peace journalism atau jurnalisme damai juga bisa dipakai di sini. Untuk memberi laporan yang adem-adem atau narasi pemaafan, sehingga warga atau pembaca bisa menilai sendiri dengan bijaksana seperti apa kasus ini. Tapi sayang, hingga hari kedua tidak ada berita tentang kasus ini yang memenuhi standar kode etik jurnalistik. Jemaah pesbukiyah menjadi singa kelaparan yang memangsa apa saja informasi yang menyudutkan pihak si siswi apalagi ayahnya, padahal siswi inilah korbannya. Ia menjadi korban victim blaming (menyalahkan korban tindak kekerasan karena caranya berperilaku).
Keempat, siapa yang meminta ibu guru ini bersujud dan meminta maaf kepada pihak keluarga korban dan ke seluruh penghuni sekolah? Atau memang ini inisiatif sendiri karena rasa bersalahnya? Ini harus jelas sebab narasi "bersujud" ini yang membuat ia semakin "dikultuskan", lantas mengesampingkan bahwa ada korban si siswi ini. Apalagi video ketika ibu guru memeluk ibu si siswi sembari meminta maaf, dibandingkan dengan sikap si siswi yang menyilangkan kakinya. Bagaimana jika itu cara ternyamannya duduk apalagi ia memakai rok pendek. Tentang rok pendek, jika ada aturan tertulis tentang tidak bolehnya siswi memakai rok pendek, kenapa juga ia masih memakai rok itu saat ke sekolah. Yang begini juga harus diperjelas, bukan malah menghakimi siswi ini karena cara berpakaiannya yang mengundang syahwat. Bahkan jika ia menjadi korban cat calling (bentuk pelecehan jalanan yang pada umumnya berupa komentar seksual yang tidak diinginkan, provokasi, dan klakson kendaraan atau suitsuit) pun, ia sepertinya tetap disalahkan karena cara berpakaiannya. Ya ampun, mau pakai daster setumit pun kalau penjahat otak mesum tak akan memilah-milah korban. Sungguh sangat disayangkan apalagi komentar victim blaming seperti ini keluar dari mulut seorang perempuan, bahkan sampai ada yang menyebut anak itu bodoh.
Di Papua, saya mengenal seorang ibu guru di pedalaman yang membaca novel-novel Paulo Coelho dan tentu saja Totto-Chan, serta Paulo Freire. Ini seharusnya bacaan wajib para pendidik. Ibu guru ini sudah terbiasa dengan rute Ninja Hatori: mendaki gunung lewati lembah. Mungkin sesampainya di sekolah terpencil itu, ia berpesan kepada muridnya dengan mengutip sabda Paulo Coelho, "Agar bisa menanjak di dunia ini, kau harus menjadi sarjana. Dan begitulah ceritanya sehingga dunia kehilangan banyak petani, pembuat roti, pedagang barang antik, pemahat, dan penulis hebat."
Tidak ada anak yang bodoh. Semua spesial dengan bakatnya masing-masing. Bahkan Albert Einstein pernah dianggap bodoh saat kecil. Ia diduga mengidap disleksia semacam gangguan belajar yang membuat seseorang kesulitan memproses bahasa. Lalu ia menjadi ilmuwan jenius yang ikut mengubah peradaban dunia. Film Aamir Khan tentang anak disleksia berjudul Taare Zameen Par (Seperti Bintang-bintang di Langit) juga mengajarkan bahwa setiap anak itu memiliki keistimewaan sendiri.
Terakhir, jika netizen tidak menyukai sikap ayahnya yang dinilai arogan, yang terus menyudutkan ibu guru meski ia sudah meminta maaf, maka tak harus ikut menghakimi anaknya. Apalagi ayah si siswi ini telah menghapus video dan meminta maaf dalam sebuah postingan. Tapi coba tengoklah tuntutan para netizen yang maha benar ini, bahwa si ayah ini harus membuat video secara langsung dan meminta maaf. Jika ini terjadi, barulah katanya para netizen merasa puas.
Ada beberapa video beredar ketika si ayah berada di halaman sekolah. Ia menganggap pihak sekolah dalam upaya mediasi, malah menghimpun para guru dan siswa untuk mendukung si ibu guru. Ada juga video ketika si ayah berjalan keluar sekolah, sambil merangkul putrinya yang tengah terisak-isak. Tangisan itu dianggap drama oleh sejumlah netizen. Beberapa komentar mengerikan juga menghakimi anak ini seperti; dikeluarkan saja dari sekolah, komentar cabul, bahkan sampai mengunggah foto anak di bawah umur ini yang bisa digolongkan sebagai doxing (menyebarkan informasi pribadi seseorang tanpa izinnya). Ayahnya disalahkan karena menjadi sebab kenapa anaknya jadi bulan-bulanan netizen, seperti sebuah pemakluman bahwa anak ini bisa dibuli karena ulah ayahnya. Sungguh, netizen maha jeli dan paling maha benar inilah sebenarnya yang terus memanggang kasus ini, seperti membuat tangkapan layar diikuti narasi yang sangat subjektif atau berdasarkan penilaian sendiri, kemudian para pengikutnya yang gagap terus berlelehan iler. Minta tambah lagi konten-konten lainnya.
Para konten kreator ini lebih parah lagi. Memanfaatkan momen ini dengan terus memberi asupan konten yang semakin mengaburkan pangkal masalah. Siswi ini bahkan ketika ia sedang menangis, dijadikan konten untuk bahan lelucon. Kenapa yang begini terus lahir? Karena tak ada satu pun media yang memberikan informasi yang layak untuk menjadi bahan pertimbangan. Bahkan saat menulis ini pun, mungkin saya bisa salah tafsir dengan apa yang beredar di medsos. Sebab tak ada satu pun kabar yang valid tentang kasus ini.
Saya ingin mengulangi kalimat ini, "Orang tua dan guru pernah menjadi anak-anak. Tapi anak-anak tidak pernah menjadi orang tua dan guru." Maka yang menjadi prioritas perhatian adalah siswi itu. Ia adalah korban dan anak di bawah umur. Tolong jangan menghakimi dia.