(Refleksi atas tragedi Ayu dan Malam Bakupas Pilwako KK)
Gantungkan pelepah daun kurma di atas keranda, dan kita tulis bait-bait tentang kematian.
Dari tulisan sebelumnya, saya sempat "mengulas" tentang siapakah musuh Ayu Basalamah, yang hingga hari ini belum tercuil satu pun pelaku dan motif yang melatar-belakanginya. Maaf jika saya nekat mengaatakan bahwa aparat berwenang (polisi) tersita dan "terpaksa" sibuk dengan "perang politik" di Kota Kotamobagu.
Dari malam kemarin serasa suhu politik Pilwako Kota Kotamobagu menyarukan kasus Ayu. Ayu tenggelam diluapan hiruk-pikuk "serangan fajar" melumat kalimat Syahrini dengan cetar membahanannya, ini tak sekadar cetar, tapi membumi di tanah Bogani dengan isu-isu tamparan centil amplop-amplop merah dan biru, yang membakar nurani, yang memporak-porandakan "suci hati". Rakyat Kota Kotamobagu sedang dipanggang, entah apapun yang terjadi nanti, pasti soal jauh api daripada panggang. Yang pasti pemilih terpanggang untuk selamanya; mereka memelihara api dan yang memantiknya. Hidup dalam nurani tanpa tahu tirani sedang menggerogoti dengan bengis.
Kita sedang tak asing dengan bau amis. Kota amis dengan kasus Ayu, tapi kita menutup hidung untuk itu. Amis apa? Cakalangkah??
Ayu adalah mayat kaku yang kita temui kemarin dengan bau amis, bahkan bau amis ikan dan aroma uang kertas yang menusuk hidung di kegelapan malam kemarin dan malam kali ini tak sebanding dengan itu. Ini tentang darah. Darah manusia. Tapi tetap saja, kasus itu tergeserkan layaknya kasus Eyang Subur yang dihempaskan begitu saja oleh beragam kasus.
Sejenak kasus Ayu bak Timeline di Twitter yang tergeser begitu saja. Lupakan saja. Kita fokus dengan Pilwako. Tapi apakah seperti ini penanganan pihak berwajib? Ada satu hajat besar dan yang hajat-hajat kecil selalu terlupakan. Kita terbiasa melupakan hal-hal kecil; dosa-dosa kecil, padahal dari tumpukan dosa-dosa kecil itulah dosa besar menumpuk, menggunung.
Soal pembunuhan, itu bukan dosa kecil, hanya saja itu framing sekarang ini. Kasus Ayu termasuk lukisan puluhan ribu yang dijejerkan pelukis amatir di jalanan kota Ubud, Bali.
Namun pagi ini, mari kita menunduk dan merenung sejenak; lihat tumpah ruahnya Broadcast Messages soal malam Nisfyu Sya'ban. Tentang yang tertindas dan keadilan yang jauh panggang dari mereka yang termarjinalkan. Kita ini manusia berakal, jangan kantongi akalmu Anda, sebagai kantong untuk uang, bukan untuk pikiran rasional kita.
Sekarang saya melemparkan diri ke perkataan Musashi. Bahwa musuh adalah guru yang menyamar. Guru itu masih tetap dibalik topeng. Saat ini musuh Ayu masih belum diketahui. Sama halnya dengan siapa Walikota selanjutnya. Belum satu setanpun hingga kini memasti siapa yang tahu sudah.
Tapi soal keadilan dan ketertindasan, saya menukil satu kalimat dari Nietzsche; "Dimanapun kekuatan ada, di sana jumlah yang menjadi tuan, ia paling berkuasa,"
Jumlah akan selalu menjadi pemenang, sama halnya dengan esok. Bersama riuh "orang-orangan" yang telah ditaksidermi dari penggalan-penggalan jerami dan pakaian lusuh. Kita tinggal memilih menjadi Musashi yang menganggap musuhnya adalah guru yang menyamar, atau memilih menjadi diri kita sendiri dengan pemahaman, bahwa musuh dalam bentuk apapun itu adalah lubang yang kita akan pelajari dengan seksama.
Alangkah idiotnya manusia yang kemarin masuk melesak ke dalam lubang, dan selanjutnya ia kembali memijaki lubang yang sama.
Ayu dan Pilwako. Kita tak pernah tahu siapa pembunuhnya. Dan kita tak pernah bisa tahu pasti siapa Walikota selanjutnya (malam ini). Kota hanya butuh kenyamanan. Namun tetaplah memiliki musuh. Karena sebenar-benarnya musuh dalam hidup kalian adalah KOTA.
Gantungkan pelepah daun kurma di atas keranda, dan kita tulis bait-bait tentang kematian.
Dari tulisan sebelumnya, saya sempat "mengulas" tentang siapakah musuh Ayu Basalamah, yang hingga hari ini belum tercuil satu pun pelaku dan motif yang melatar-belakanginya. Maaf jika saya nekat mengaatakan bahwa aparat berwenang (polisi) tersita dan "terpaksa" sibuk dengan "perang politik" di Kota Kotamobagu.
Dari malam kemarin serasa suhu politik Pilwako Kota Kotamobagu menyarukan kasus Ayu. Ayu tenggelam diluapan hiruk-pikuk "serangan fajar" melumat kalimat Syahrini dengan cetar membahanannya, ini tak sekadar cetar, tapi membumi di tanah Bogani dengan isu-isu tamparan centil amplop-amplop merah dan biru, yang membakar nurani, yang memporak-porandakan "suci hati". Rakyat Kota Kotamobagu sedang dipanggang, entah apapun yang terjadi nanti, pasti soal jauh api daripada panggang. Yang pasti pemilih terpanggang untuk selamanya; mereka memelihara api dan yang memantiknya. Hidup dalam nurani tanpa tahu tirani sedang menggerogoti dengan bengis.
Kita sedang tak asing dengan bau amis. Kota amis dengan kasus Ayu, tapi kita menutup hidung untuk itu. Amis apa? Cakalangkah??
Ayu adalah mayat kaku yang kita temui kemarin dengan bau amis, bahkan bau amis ikan dan aroma uang kertas yang menusuk hidung di kegelapan malam kemarin dan malam kali ini tak sebanding dengan itu. Ini tentang darah. Darah manusia. Tapi tetap saja, kasus itu tergeserkan layaknya kasus Eyang Subur yang dihempaskan begitu saja oleh beragam kasus.
Sejenak kasus Ayu bak Timeline di Twitter yang tergeser begitu saja. Lupakan saja. Kita fokus dengan Pilwako. Tapi apakah seperti ini penanganan pihak berwajib? Ada satu hajat besar dan yang hajat-hajat kecil selalu terlupakan. Kita terbiasa melupakan hal-hal kecil; dosa-dosa kecil, padahal dari tumpukan dosa-dosa kecil itulah dosa besar menumpuk, menggunung.
Soal pembunuhan, itu bukan dosa kecil, hanya saja itu framing sekarang ini. Kasus Ayu termasuk lukisan puluhan ribu yang dijejerkan pelukis amatir di jalanan kota Ubud, Bali.
Namun pagi ini, mari kita menunduk dan merenung sejenak; lihat tumpah ruahnya Broadcast Messages soal malam Nisfyu Sya'ban. Tentang yang tertindas dan keadilan yang jauh panggang dari mereka yang termarjinalkan. Kita ini manusia berakal, jangan kantongi akalmu Anda, sebagai kantong untuk uang, bukan untuk pikiran rasional kita.
Sekarang saya melemparkan diri ke perkataan Musashi. Bahwa musuh adalah guru yang menyamar. Guru itu masih tetap dibalik topeng. Saat ini musuh Ayu masih belum diketahui. Sama halnya dengan siapa Walikota selanjutnya. Belum satu setanpun hingga kini memasti siapa yang tahu sudah.
Tapi soal keadilan dan ketertindasan, saya menukil satu kalimat dari Nietzsche; "Dimanapun kekuatan ada, di sana jumlah yang menjadi tuan, ia paling berkuasa,"
Jumlah akan selalu menjadi pemenang, sama halnya dengan esok. Bersama riuh "orang-orangan" yang telah ditaksidermi dari penggalan-penggalan jerami dan pakaian lusuh. Kita tinggal memilih menjadi Musashi yang menganggap musuhnya adalah guru yang menyamar, atau memilih menjadi diri kita sendiri dengan pemahaman, bahwa musuh dalam bentuk apapun itu adalah lubang yang kita akan pelajari dengan seksama.
Alangkah idiotnya manusia yang kemarin masuk melesak ke dalam lubang, dan selanjutnya ia kembali memijaki lubang yang sama.
Ayu dan Pilwako. Kita tak pernah tahu siapa pembunuhnya. Dan kita tak pernah bisa tahu pasti siapa Walikota selanjutnya (malam ini). Kota hanya butuh kenyamanan. Namun tetaplah memiliki musuh. Karena sebenar-benarnya musuh dalam hidup kalian adalah KOTA.
No comments :
Post a Comment