Sepintas tadi saya membaca BC (Broadcast Message) dari kawan-kawan Brimob (Brigadir Mobil) di kontak BBM (BlackBerry Messenger) mengenai penembakan pihak OPM (Organisasi Papua Merdeka) terhadap enam anggota Brimob yang bertugas di Papua. Sebagai manusia pecinta perdamaian, hati saya tergetar kembali ketika pertumpahan darah di negri Cendrawasih masih terus berlangsung. Maka turut berbela sungkawa untuk itu kawan.
Agar lebih jelas, saya kutip isi BC yang saya terima:
"ADD berkabung!!!!
Terjadi penembakan kembali oleh gerakan separatis OPM. Enam anggota Brimob meninggal dunia yang sedang melaksanakan tugas di Papua. Emat di antaranya dari letting kami ADD dan dua Tamtama. Semoga amal ibadahnya di terima disisi-Nya. Amin."
Setelah itu ada rentetan nama-nama yang turut menjadi korban. Kalimat penutup BC lantas berbunyi: "Selamat jalan kawan, kami di sini semua mendoakanmu. Kita balas nanti, "Nyawa dibayar nyawa!"
Buat letting ADD di seluruh NKRI minta kesadarannya untuk sedikit mengeluarkan rezekinya untuk membantu meringankan keluarga saudara-saudara kita. 87-kan ke ADD yang lain.
Terima kasih let... "
***
Apa yang membuat saya tercenung ketika membaca BC tersebut? Tak lain adalah sebuah penggalan kalimat: "Nyawa dibayar nyawa!"
Sekarang mari kita coba bayangkan sejenak tentang akibat dari perkataan itu. Nyawa dibayar dengan nyawa. Sekalipun bumi ini terbelah dua, maka manusia akan menyeberangi langit untuk berperang demi kalimat itu.
Perang akan senantiasa berkecamuk jika yang ditanamkan dalam batok kepala kita adalah: balas dendam selalu menjadi alasan suci ketika bunuh-membunuh terjadi.
Bagi saya doktrin itu sungguh sesat dan bejat.
Saya bukan ahli yang secara khusus mengamati konflik yang terjadi di Papua. Serendah-rendahnya ragam informasi yang sempat saya baca dari berbagai sumber media cetak maupun dengan bertanya pada "Om Google", saya (sebatas ukuran pribadi tentunya) berkesimpulan bahwa apa yang terjadi di Papua, bukan semata tentang kaum OPM yang brutal dengan semangat yang membabi-buta untuk membunuh. Mereka adalah kaum yang termarjinalkan di tanah bumi kandung mereka sendiri.
Di jaman Orde Baru Soeharto, mereka dilabeli sebagai GPK (Gerakan Pengacau Keamanan). Mereka berontak karena kebiadaban negara ini menjual tanah kekayaan mereka ke genggaman corporate asing. Bumi mereka dikeruk habis-habisan dalam hitungan dekade dan terus berlanjut hingga saat ini.
Tanah air Papua yang mereka yakini dan percayai sebagai Ibu.
Papua adalah negeri kaya yang teraniaya. Harga-harga yang menjulang tinggi di antara tatapan-tatapan mata cekung rakyatnya. Kekayaan rakyat Papua dikeruk. Ibu yang tengah tidur menyusui "dibunuh". Tergagahi asing.
Kemarin saya sempat berkirim-kiriman chat BBM dan berbagi cerita tentang kenaikan harga BBM (Bahan Bakar Minyak) di Papua. Bayangkan, untuk 1 liter bensin di desa-desa pinggiran di Papua bisa mencapai angka Rp 50.000. Apapun soal kenaikan BBM, maka imbasnya pula ke harga bahan-bahan pokok dan barang kebutuhan hidup lainnya. Di tanah Papua seolah-olah harga tak terkendalikan oleh invisible hand-nya Adam Smith.
Ini Tanah Air kami, hasil tanah pun kami beli, dan air pun kami beli. Ketertindasan dan kelaparan yang terus-menerus mereka alami, memuncak-jayakan satu kalimat lantang mereka; Kami berontak!
Rakyat Papua berontak lantaran ingin menunjukkan eksistensi mereka. Berontak kepada negara ini untuk membuktikan bahwa mereka 'ada' yang terlupakan dan terabaikan.
Rakyat Papua hanya ingin satu, mereka tak ingin menjadi budak lagi. Sepasukan OPM tak lebih hanya sekumpulan budak yang memberontak. Sekumpulan Gladiator yang berjuang bersama Spartacus demi keadilan. Spartacus pun pernah berucap dengan gagahnya, "Ketika manusia merdeka mati, ia kehilangan kenikmatan hidupnya. Ketika seorang budak mati, ia terbebas dari rasa sakitnya. Mati adalah satu-satunya cara yang diketahui budak untuk bisa merdeka. Kematian bukanlah hal yang ditakuti karenanya. Ketidaktakutan itu yang membuat kami menang!"
Menang untuk ketidakadilan.
Tapi apapun soal perang, selalu menyisakan duka. "Hanya yang mati yang melihat akhir perang," kata Plato.
Damailah... Damailah Papua, damailah Indonesiaku.
Powered by Telkomsel BlackBerry
Agar lebih jelas, saya kutip isi BC yang saya terima:
"ADD berkabung!!!!
Terjadi penembakan kembali oleh gerakan separatis OPM. Enam anggota Brimob meninggal dunia yang sedang melaksanakan tugas di Papua. Emat di antaranya dari letting kami ADD dan dua Tamtama. Semoga amal ibadahnya di terima disisi-Nya. Amin."
Setelah itu ada rentetan nama-nama yang turut menjadi korban. Kalimat penutup BC lantas berbunyi: "Selamat jalan kawan, kami di sini semua mendoakanmu. Kita balas nanti, "Nyawa dibayar nyawa!"
Buat letting ADD di seluruh NKRI minta kesadarannya untuk sedikit mengeluarkan rezekinya untuk membantu meringankan keluarga saudara-saudara kita. 87-kan ke ADD yang lain.
Terima kasih let... "
***
Apa yang membuat saya tercenung ketika membaca BC tersebut? Tak lain adalah sebuah penggalan kalimat: "Nyawa dibayar nyawa!"
Sekarang mari kita coba bayangkan sejenak tentang akibat dari perkataan itu. Nyawa dibayar dengan nyawa. Sekalipun bumi ini terbelah dua, maka manusia akan menyeberangi langit untuk berperang demi kalimat itu.
Perang akan senantiasa berkecamuk jika yang ditanamkan dalam batok kepala kita adalah: balas dendam selalu menjadi alasan suci ketika bunuh-membunuh terjadi.
Bagi saya doktrin itu sungguh sesat dan bejat.
Saya bukan ahli yang secara khusus mengamati konflik yang terjadi di Papua. Serendah-rendahnya ragam informasi yang sempat saya baca dari berbagai sumber media cetak maupun dengan bertanya pada "Om Google", saya (sebatas ukuran pribadi tentunya) berkesimpulan bahwa apa yang terjadi di Papua, bukan semata tentang kaum OPM yang brutal dengan semangat yang membabi-buta untuk membunuh. Mereka adalah kaum yang termarjinalkan di tanah bumi kandung mereka sendiri.
Di jaman Orde Baru Soeharto, mereka dilabeli sebagai GPK (Gerakan Pengacau Keamanan). Mereka berontak karena kebiadaban negara ini menjual tanah kekayaan mereka ke genggaman corporate asing. Bumi mereka dikeruk habis-habisan dalam hitungan dekade dan terus berlanjut hingga saat ini.
Tanah air Papua yang mereka yakini dan percayai sebagai Ibu.
Papua adalah negeri kaya yang teraniaya. Harga-harga yang menjulang tinggi di antara tatapan-tatapan mata cekung rakyatnya. Kekayaan rakyat Papua dikeruk. Ibu yang tengah tidur menyusui "dibunuh". Tergagahi asing.
Kemarin saya sempat berkirim-kiriman chat BBM dan berbagi cerita tentang kenaikan harga BBM (Bahan Bakar Minyak) di Papua. Bayangkan, untuk 1 liter bensin di desa-desa pinggiran di Papua bisa mencapai angka Rp 50.000. Apapun soal kenaikan BBM, maka imbasnya pula ke harga bahan-bahan pokok dan barang kebutuhan hidup lainnya. Di tanah Papua seolah-olah harga tak terkendalikan oleh invisible hand-nya Adam Smith.
Ini Tanah Air kami, hasil tanah pun kami beli, dan air pun kami beli. Ketertindasan dan kelaparan yang terus-menerus mereka alami, memuncak-jayakan satu kalimat lantang mereka; Kami berontak!
Rakyat Papua berontak lantaran ingin menunjukkan eksistensi mereka. Berontak kepada negara ini untuk membuktikan bahwa mereka 'ada' yang terlupakan dan terabaikan.
Rakyat Papua hanya ingin satu, mereka tak ingin menjadi budak lagi. Sepasukan OPM tak lebih hanya sekumpulan budak yang memberontak. Sekumpulan Gladiator yang berjuang bersama Spartacus demi keadilan. Spartacus pun pernah berucap dengan gagahnya, "Ketika manusia merdeka mati, ia kehilangan kenikmatan hidupnya. Ketika seorang budak mati, ia terbebas dari rasa sakitnya. Mati adalah satu-satunya cara yang diketahui budak untuk bisa merdeka. Kematian bukanlah hal yang ditakuti karenanya. Ketidaktakutan itu yang membuat kami menang!"
Menang untuk ketidakadilan.
Tapi apapun soal perang, selalu menyisakan duka. "Hanya yang mati yang melihat akhir perang," kata Plato.
Damailah... Damailah Papua, damailah Indonesiaku.
Powered by Telkomsel BlackBerry
No comments :
Post a Comment