"Selamat Hari Natal Dan Tahun Baru 2015"
Satu kalimat di atas menjadi maklumat keramat MUI (Majelis Ulama Indonesia) dan bersolek beruntun menjadi polemik snow ball bagi umat kita (islam) di Indonesia ― bahwa itu sesat. Iya, benar itu fatwa yang setiap tahun menggelinding sejak mula ucap itu diutarakan dan ditanda-tangani Buya Hamka, pertama kali pada tanggal 7 Maret tahun 1981 dan terus diamini. Sebenarnya Hamka tak melarang pengucapan selamat Natal, tapi yang dinyatakan terlarang adalah mengikuti upacara Natal ― liturgi.
Kita tentu saja masih ingat Gus Dur, sang guru bangsa yang aroma ke-pluralitasan-nya selalu menohok ujung cuping hidung para pengkhidmatnya hingga sekarang. Ia yang acapkali dengan santainya menggumamkan, "Gitu aja kok repot (Yasir Wa La Tuasir)."
Guru bangsa ini mengajari kita untuk berani mencukur botak rambut kita kala berada di kuil, atau menyelipkan kemboja di telinga, dan berani bersalaman mesra dengan Santa dan pendeta, lalu hening bersama pada malam misa Natal, ataupun reriungan di bawah kerucut bangunan, dan kemudian meratapi tembok sinagoga dengan rapalan mantra Musa. Atau... Ia mengajari kita memandangi langit kosong berserak gemintang, dan berkata, "Lihatlah, kita tak sendiri."
Yah, kata mereka, mengakui Tuhan itu banyak subjektif, kan? Nah, bukankah kita mengakui Tuhan itu satu subjektif pula? Hamka ketawa sembari menyuguhkan secangkir kopi. Sedang aku terus menengadah pandang. Kita memang makhluk yang beragam, kataku pada langit.
Di teras rumahnya, Haji Abdul Malik Karim Amrullah (Hamka) berkisah tentang buku novel karyanya "Tenggelamnya Kapal Van der Wijck" dan filmnya sedang booming saat ini. Sementara di ujung lorong, Pramoedya Ananta Toer (Pram) terus mengukir kata "Plagiat" di kulit tembok rumahnya, dan meminta agar anak bangsa mem-film-kan karya tetralogi-nya, Bumi Manusia. Karyanya itu, ia maui bukan anak asing luar antah berantah yang mengiming-imingnya uang lalu membikinnya, lantas memboyongnya ke rumah bertembok marmer Italia. Pram hanya mau, anak negeri mengemasi potong demi potong dialog dalam buku, dan terucap oleh 72 bidadari dari rekah bibir yang tersayat.
Di teras rumah ini, kisah berlanjut makin mengecil serupa boneka Rusia Matryoshka dan makin ke titik nadir. Merendah dengan ujar yang pungkas, "Silahkan mengucapkan Selamat Hari Natal dan Tahun Baru," ujar Hamka yang tiba-tiba saja raga rentanya mengencang.
Pada titik ini aku seketika stagnan. Tak perlu membual dengan ratusan lapisan kulit ular, yang terus berganti dan menyisakan kering. Sebab dari fatwa itu, manusia terjerat dalam pusaran dogmatis. Kemudian selalu berakhir kepada para Nabi ― yang merubah tongkatnya menjadi ular, atau muncrat air dari ujung jemari. Hamka memutuskan: sendal kalian dilepas jika di teras.
Aku tak ingin berbicara tentang Nabi di depan Hamka. Sebab manusia akan menjadi sangat kecil di cangkir bumi. Cukup kuseruput dua kali bibir cangkir ini, dan Hamka membisikanku se-paragraf kalimat-kalimat dari kata pengantarnya ― di salah-satu kitab Tan Malaka, "Islam Dalam Tinjauan Madilog" Biarku sitir paragrafnya: "Adapun setelah membaca "Islam Dalam Tinjauan Madilog" insyaflah saya bahwasanya di jaman modern ini untuk membela agama perlulah kita memperluas pengetahuan, di dalam ilmu-ilmu yang amat perlu diperhatikan di jaman baru. Sosiologi, dialektika, logika, dan lain-lain sebagainya yang berkenaan dengan masyarakat modern, tidaklah boleh diabaikan kalau betul kita ingin iman Islam itu menguasai masyarakat jaman sekarang."
Logika, aku seorang penganut Yudaisme yang mempunyai seorang kakak laki-laki dan mengawini seorang muslimah, dan kemudian ia memilih menjadi seorang muslim. Kala itu acara khitanan anaknya digelar, dan aku menghadiri acara tersebut, mengucapkan selamat. Sesaat setelah acara itu, tiba-tiba saja keimanan saya berubah, dan tetes darah merembesi selangkangan paha. Aku disunat pula pikirku, padahal aku sudah di-metzitzah b'peh. (Ketawa terbahak-bahak)
Di teras rumahnya itu, Hamka melangkah masuk ke dalam rumah. Lalu kembali dengan kepul cerek dan kretek. Duduk dan berkata, "Beri aku hadiah Natal, Santa!"
Powered by Telkomsel BlackBerry®
Satu kalimat di atas menjadi maklumat keramat MUI (Majelis Ulama Indonesia) dan bersolek beruntun menjadi polemik snow ball bagi umat kita (islam) di Indonesia ― bahwa itu sesat. Iya, benar itu fatwa yang setiap tahun menggelinding sejak mula ucap itu diutarakan dan ditanda-tangani Buya Hamka, pertama kali pada tanggal 7 Maret tahun 1981 dan terus diamini. Sebenarnya Hamka tak melarang pengucapan selamat Natal, tapi yang dinyatakan terlarang adalah mengikuti upacara Natal ― liturgi.
Kita tentu saja masih ingat Gus Dur, sang guru bangsa yang aroma ke-pluralitasan-nya selalu menohok ujung cuping hidung para pengkhidmatnya hingga sekarang. Ia yang acapkali dengan santainya menggumamkan, "Gitu aja kok repot (Yasir Wa La Tuasir)."
Guru bangsa ini mengajari kita untuk berani mencukur botak rambut kita kala berada di kuil, atau menyelipkan kemboja di telinga, dan berani bersalaman mesra dengan Santa dan pendeta, lalu hening bersama pada malam misa Natal, ataupun reriungan di bawah kerucut bangunan, dan kemudian meratapi tembok sinagoga dengan rapalan mantra Musa. Atau... Ia mengajari kita memandangi langit kosong berserak gemintang, dan berkata, "Lihatlah, kita tak sendiri."
Yah, kata mereka, mengakui Tuhan itu banyak subjektif, kan? Nah, bukankah kita mengakui Tuhan itu satu subjektif pula? Hamka ketawa sembari menyuguhkan secangkir kopi. Sedang aku terus menengadah pandang. Kita memang makhluk yang beragam, kataku pada langit.
Di teras rumahnya, Haji Abdul Malik Karim Amrullah (Hamka) berkisah tentang buku novel karyanya "Tenggelamnya Kapal Van der Wijck" dan filmnya sedang booming saat ini. Sementara di ujung lorong, Pramoedya Ananta Toer (Pram) terus mengukir kata "Plagiat" di kulit tembok rumahnya, dan meminta agar anak bangsa mem-film-kan karya tetralogi-nya, Bumi Manusia. Karyanya itu, ia maui bukan anak asing luar antah berantah yang mengiming-imingnya uang lalu membikinnya, lantas memboyongnya ke rumah bertembok marmer Italia. Pram hanya mau, anak negeri mengemasi potong demi potong dialog dalam buku, dan terucap oleh 72 bidadari dari rekah bibir yang tersayat.
Di teras rumah ini, kisah berlanjut makin mengecil serupa boneka Rusia Matryoshka dan makin ke titik nadir. Merendah dengan ujar yang pungkas, "Silahkan mengucapkan Selamat Hari Natal dan Tahun Baru," ujar Hamka yang tiba-tiba saja raga rentanya mengencang.
Pada titik ini aku seketika stagnan. Tak perlu membual dengan ratusan lapisan kulit ular, yang terus berganti dan menyisakan kering. Sebab dari fatwa itu, manusia terjerat dalam pusaran dogmatis. Kemudian selalu berakhir kepada para Nabi ― yang merubah tongkatnya menjadi ular, atau muncrat air dari ujung jemari. Hamka memutuskan: sendal kalian dilepas jika di teras.
Aku tak ingin berbicara tentang Nabi di depan Hamka. Sebab manusia akan menjadi sangat kecil di cangkir bumi. Cukup kuseruput dua kali bibir cangkir ini, dan Hamka membisikanku se-paragraf kalimat-kalimat dari kata pengantarnya ― di salah-satu kitab Tan Malaka, "Islam Dalam Tinjauan Madilog" Biarku sitir paragrafnya: "Adapun setelah membaca "Islam Dalam Tinjauan Madilog" insyaflah saya bahwasanya di jaman modern ini untuk membela agama perlulah kita memperluas pengetahuan, di dalam ilmu-ilmu yang amat perlu diperhatikan di jaman baru. Sosiologi, dialektika, logika, dan lain-lain sebagainya yang berkenaan dengan masyarakat modern, tidaklah boleh diabaikan kalau betul kita ingin iman Islam itu menguasai masyarakat jaman sekarang."
Logika, aku seorang penganut Yudaisme yang mempunyai seorang kakak laki-laki dan mengawini seorang muslimah, dan kemudian ia memilih menjadi seorang muslim. Kala itu acara khitanan anaknya digelar, dan aku menghadiri acara tersebut, mengucapkan selamat. Sesaat setelah acara itu, tiba-tiba saja keimanan saya berubah, dan tetes darah merembesi selangkangan paha. Aku disunat pula pikirku, padahal aku sudah di-metzitzah b'peh. (Ketawa terbahak-bahak)
Di teras rumahnya itu, Hamka melangkah masuk ke dalam rumah. Lalu kembali dengan kepul cerek dan kretek. Duduk dan berkata, "Beri aku hadiah Natal, Santa!"
Powered by Telkomsel BlackBerry®
No comments :
Post a Comment