Ayah duduk di tepi ranjang dengan nafas memburu berdahak. Ia coba bicara. Tak jelas apa katanya. Suaranya seakan retak.
Isyarat lambaian mengarah ke kamar kecil. Kupapah ayah lima kali langkah. Tiada yang beda, rengsa serupa kemarin.
Ayah menyudahi hajatnya. Setelah itu, raganya tiba-tiba lempai dan memberat. Seperti para malaikat mengelilingi ubun-ubunnya lalu menjatuhkan sepetak surga. Ia terbaring. Bola matanya terus mencoba mengejar apa yang ada di atas kepalanya. Kupanggil, namun malaikat-malaikat itu terus menggoda. Sebuah isyarat cepat kutangkap.
Kulit keriputnya membiru, dengan desah masih memburu. Kakakku berupaya menenangkannya. Setelah kalah dengan cemas, kakakku bergegas memapah ayah menuju mobil lalu menuruni bukit, menuju perkotaan. Meski ibu pernah diperingatkan ayah: tak perlu rumah sakit lagi, cukup di rumah saja.
Dua telepon dari kakakku terhubung. Ayah butuh oksigen yang, malam itu rumah bagi para orang sakit tak menyediakannya. Iya kakak, rumah itu tak senyaman rumah kita. Di sini udaranya gratis. Makanya ayah tak mau lagi ke sana.
Telepon ketiga menyusul. Ayah berpulang. Aku tak kaget, bahkan tak menyusul ke sana. Aku menunggu di rumah saja. Dengan debur dada retak di karang.
Berpulang. Entah siapa pengeja kata itu hingga bermula. Jika kita benar-benar berpulang, kenapa harus ada neraka untuk menakuti? Kita berpulang, ke tempat kita berasal, bukan? Tempat yang tak satu manusia pun tahu, setelah manusia itu benar-benar berpulang.
Ah, ayah... Terima kasih sudah membangun rumah dengan cinta, menganyamnya dari peluh dan kasih seluruh, agar kami tak cemas kala panas dan hujan, pun tahu ke mana arah pulang. Ayah bukan sekadar membikin rumah. Ayah membangun sepetak surga untuk kami.
Pemilik Semesta. Jika benar ayahku berpulang, sediakan tempat yang layak untuknya. Sebab rumah-Mu memang untuk sesama-Mu. Tempat segalanya berulang.
No comments :
Post a Comment