Puluhan hujatan saling jejal di recent updates BBM. Bersikut-sikutan, gonta-ganti display picture, dengan meme hujatan dan sindiran dilengkapi kepopuleran "di situ kadang saya merasa sedih."
Sindiran itu ditujukan kepada segenap insan mahasiswa/mahasiswi Akademi Keperawatan Totabuan Kotamobagu, yang berkesempatan nongol di acara Dahsyat RCTI, Minggu 8 Maret 2015.
Saat salah satu mahasiswi mengaku asal Manado saat ditanya presenter acara, sontak membikin geram penulis kawakan asal Bolmong, Katamsi Ginano. Pun disusul dengan kalimat-kalimat satire di blog Kronik Mongondow.
Usai di-broadcast, puluhan kontak lain bergegas gagap. Kolom chat saya penuh dengan pesan berantai. Bukan hanya itu, même di BBM mengalahkan même seteru Haji Lulung Vs Ahok. Ini ramai, enggan menyebut asal Mongondow atau mungkin faktor kebiasaan menyebut Manado sebagai Ibukota Provinsi, membuat mahasiswi itu jadi bulan-bulanan.
Ke-Mongondow-an kita, tonteek dan pololeke yang, telah menjadi ciri khas Mongondow, terkadang perilaku itu menempa kita menjadi orang yang gemar meng-hiperbola-kan suatu kesalahan. Pada akhirnya, kita tumbuh dan besar menjadi pribadi pengolok-olok. Apapun itu, mengolok-olok lebih kejam dari tak sengaja - mengaku - asal Mongondow. Siapa bisa menjamin? Jika mahasiswi itu benar-benar tak ingin menyebutkan asalnya dari Mongondow? Bisa jadi ia gugup saat pria seganteng Raffi Ahmad bertengger di hadapannya. Atau sebab lebih familiarnya kota Manado, membuat alasannya menyebut Manado agar terawang Raffi lebih mudah, tak sibuk menerka dengan dahi mengernyit, di durasi waktu yang begitu sempit. Lagipula Akper Totabuan mahasiswa dan mahasiswinya beragam suku. Bukan hanya Mongondow.
Nah, kembali ke hujat menghujat. Saat tonteek dan pololeke itu dilakoni, seolah debur dada kita bahagia dengan ketertindasan si manusia yang di-tonteek. Tak bisa dipungkiri, saya pun sering terlibat dengan tonteek dan pololeke, namun sebatas celoteh persekawanan yang bahkan berusaha tak memeloroti luhur etika berbahasa Mongondow. Konon, saat kakek saya menjabat sebagai Sangadi di Desa Passi yang masih kuno, kata kotor dan sindiran bisa membuat alasan seseorang itu disidang adat. Namun kala menilik Mongondow di era serba canggih ini, saya sulit membeda mana yang lebih beradab era sekarang atau era kuno Mongondow.
Hujatan yang tak lagi berbau humor-positif, atau menjurus ke penghinaan total malah menjadi suatu kebanggaan.
Saya ingin mencotohkan kalimat tonteek atau pololeke , kepada orang yang pesek hidungnya, dengan mengatakan, "Na 'polapa' inandol ngiungnya," terdengar lucu, berusaha disarukan, namun tetap saja mampu membuat si yang dimaksud jengkel. Ini kategori yang bisa disidang adat, meski berusaha disarukan dengan kalimat perumpamaan tingkat tinggi, namun berbau negatif.
Contoh kalimat tonteek yang semburat dari kawan-kawan, "bukang maen ngana pe motor e, depe pece so bole tanam akan bawang Modoinding," Satu kalimat tonteek dan pololeke yang dimaksudkan agar si pemilik motor, memerhatikan kebersihan. Ini kategori humor-positif.
Bukan seperti tonteek dan pololeke yang seliweran di BBM, ditujukan kepada mahasiswa/mahasiswi Akper Totabuan.
- "Olat monimuo aka mobui, brenbo (burein boke ') monimu."
- "Soe skali, padahal jaga makang yondog. "
- "Mangaku dari Manado kata supaya gaul."
- "Tutu mosoe-soe moikow, bagu natua doi 'don mangaku Mongondow."
Dan masih banyak lagi dahsyatnya tonteek dan pololeke di sana-sini. Padahal bukan tidak mungkin, di suatu kelak, saat kita sakit lalu dirawat di Rumah Sakit, ada si yang dihujat-hujat ini sedang merawat kita. Hahaha ....
Nah, jika mengaku orang Mongondow, ASLI, yo tonteek bo pololeke monimu nion tutu bidon moaid.
Saya pikir, standar penilaian ke-Mongondow-an pun bukan ditilik dari sepotong kejadian yang mungkin - tak disengaja - di acara Dahsyat itu .
Bahkan jika soal penghinaan ke-Mongondow-an, di saat kita menghujat berlebihan, adat dan kebiasaan Mototabian, Motompiaan bo Mototanoban, sirna sekejap.
Maka, intaw Mongondow so ikow?
(sambil mendengarkan rekaman gemuruh teriak Akper Totabuan di acara Dahsyat, yang dikirim salah satu teman)
Sindiran itu ditujukan kepada segenap insan mahasiswa/mahasiswi Akademi Keperawatan Totabuan Kotamobagu, yang berkesempatan nongol di acara Dahsyat RCTI, Minggu 8 Maret 2015.
Saat salah satu mahasiswi mengaku asal Manado saat ditanya presenter acara, sontak membikin geram penulis kawakan asal Bolmong, Katamsi Ginano. Pun disusul dengan kalimat-kalimat satire di blog Kronik Mongondow.
Usai di-broadcast, puluhan kontak lain bergegas gagap. Kolom chat saya penuh dengan pesan berantai. Bukan hanya itu, même di BBM mengalahkan même seteru Haji Lulung Vs Ahok. Ini ramai, enggan menyebut asal Mongondow atau mungkin faktor kebiasaan menyebut Manado sebagai Ibukota Provinsi, membuat mahasiswi itu jadi bulan-bulanan.
Ke-Mongondow-an kita, tonteek dan pololeke yang, telah menjadi ciri khas Mongondow, terkadang perilaku itu menempa kita menjadi orang yang gemar meng-hiperbola-kan suatu kesalahan. Pada akhirnya, kita tumbuh dan besar menjadi pribadi pengolok-olok. Apapun itu, mengolok-olok lebih kejam dari tak sengaja - mengaku - asal Mongondow. Siapa bisa menjamin? Jika mahasiswi itu benar-benar tak ingin menyebutkan asalnya dari Mongondow? Bisa jadi ia gugup saat pria seganteng Raffi Ahmad bertengger di hadapannya. Atau sebab lebih familiarnya kota Manado, membuat alasannya menyebut Manado agar terawang Raffi lebih mudah, tak sibuk menerka dengan dahi mengernyit, di durasi waktu yang begitu sempit. Lagipula Akper Totabuan mahasiswa dan mahasiswinya beragam suku. Bukan hanya Mongondow.
Nah, kembali ke hujat menghujat. Saat tonteek dan pololeke itu dilakoni, seolah debur dada kita bahagia dengan ketertindasan si manusia yang di-tonteek. Tak bisa dipungkiri, saya pun sering terlibat dengan tonteek dan pololeke, namun sebatas celoteh persekawanan yang bahkan berusaha tak memeloroti luhur etika berbahasa Mongondow. Konon, saat kakek saya menjabat sebagai Sangadi di Desa Passi yang masih kuno, kata kotor dan sindiran bisa membuat alasan seseorang itu disidang adat. Namun kala menilik Mongondow di era serba canggih ini, saya sulit membeda mana yang lebih beradab era sekarang atau era kuno Mongondow.
Hujatan yang tak lagi berbau humor-positif, atau menjurus ke penghinaan total malah menjadi suatu kebanggaan.
Saya ingin mencotohkan kalimat tonteek atau pololeke , kepada orang yang pesek hidungnya, dengan mengatakan, "Na 'polapa' inandol ngiungnya," terdengar lucu, berusaha disarukan, namun tetap saja mampu membuat si yang dimaksud jengkel. Ini kategori yang bisa disidang adat, meski berusaha disarukan dengan kalimat perumpamaan tingkat tinggi, namun berbau negatif.
Contoh kalimat tonteek yang semburat dari kawan-kawan, "bukang maen ngana pe motor e, depe pece so bole tanam akan bawang Modoinding," Satu kalimat tonteek dan pololeke yang dimaksudkan agar si pemilik motor, memerhatikan kebersihan. Ini kategori humor-positif.
Bukan seperti tonteek dan pololeke yang seliweran di BBM, ditujukan kepada mahasiswa/mahasiswi Akper Totabuan.
- "Olat monimuo aka mobui, brenbo (burein boke ') monimu."
- "Soe skali, padahal jaga makang yondog. "
- "Mangaku dari Manado kata supaya gaul."
- "Tutu mosoe-soe moikow, bagu natua doi 'don mangaku Mongondow."
Dan masih banyak lagi dahsyatnya tonteek dan pololeke di sana-sini. Padahal bukan tidak mungkin, di suatu kelak, saat kita sakit lalu dirawat di Rumah Sakit, ada si yang dihujat-hujat ini sedang merawat kita. Hahaha ....
Nah, jika mengaku orang Mongondow, ASLI, yo tonteek bo pololeke monimu nion tutu bidon moaid.
Saya pikir, standar penilaian ke-Mongondow-an pun bukan ditilik dari sepotong kejadian yang mungkin - tak disengaja - di acara Dahsyat itu .
Bahkan jika soal penghinaan ke-Mongondow-an, di saat kita menghujat berlebihan, adat dan kebiasaan Mototabian, Motompiaan bo Mototanoban, sirna sekejap.
Maka, intaw Mongondow so ikow?
(sambil mendengarkan rekaman gemuruh teriak Akper Totabuan di acara Dahsyat, yang dikirim salah satu teman)
Yesss...mantap..
ReplyDeletehahaha siyaaap ketuaaa
Delete