Saya seperti menerima wangsit, saat pesan singkat tiba menumpuk. Kutepuk-tepuk kepala setelah membaca isi pesan, "Kalau memang kaos PKI itu ada, kami pesan satu kontainer!"
Iya, pesan menekan itu datang tak diundang, padahal lebaran belum lama usai. 'Kami' dalam pesan itu mengisyaratkan sekompi, atau mungkin sebatalion, bisa juga seresimen. Lalu wangsit itu lirih berkata, "Menulislah!"
Berawal ketika saya dan seorang sahabat nun jauh di sana, saling berkirim pesan di BBM. "Mau kaos begini?" ejeknya.
Sebelumnya gambar kaos merah menyelinap di chat BBM, dengan palu arit kuning menghujam dada. Oleh-oleh karibnya yang melancong ke Vietnam. Aih, sialan! Keren abis. Itu ucap saya, yang sudah jauh-jauh hari, bulan, tahun, telah sadar dan waras, bahwa hanya orang dungu yang masih memiliki kenang pahit akan sejarah PKI di negeri ini. Cukup sudah saya disumpali film tentang penghianatan G-30S/PKI, Gestapu, atau Gestok. Saya ingat mendiang ayah, ketika saya masih di bangku SD. Malam itu ayah mengajak menonton Tv di rumah tetangga. Sarung ayah selalu menjadi kantung kangguru, tempat saya meringkuk dari dingin uap ubin, sembari dibuai ayunan sarung.
TVRI di zaman Orde Baru memang jadi satu-satunya stasiun Tv yang paling kece kala itu. Setelah beberapa program acara usai, saya tertidur. Desing peluru dari suara Tv membuat saya terkesiap lalu terbangun tanpa disadari ayah. Namanya bocah, tidur bisa sesekali lelap hingga pagi, tapi terkadang setelah terbangun, mata kembali benderang lalu terjaga. Ayah masih tidak sadar saya sedang ikut menonton, mungkin saking tegangnya dengan adegan demi adegan dalam film. Tepat di adegan saat Brigjen DI Pandjaitan diberondong peluru yang tengah bersimpuh berdoa. Putrinya histeris, "Papiiiiiii!!!!!" lalu menuruni anak tangga dengan langkah yang entah. Saya kira ia bakal mengejar para tentara yang menarik tubuh ayahnya.
Perkiraan saya salah, tubuhnya jatuh di genangan darah. Kedua telapak tangannya menyapu bersih genangan merah itu. Kemudian wajah sendunya bergincu darah. Saya hanya bisa memicingkan mata. Ayah masih belum sadar bahwa saya sudah bangun dari alam bawah sadar. Film itu usai, akhirnya saya memilih tidur di kamar ayah dan ibu. Setelah itu bukan rasa takut yang membekas namun penasaran yang terus berkecamuk. Hari di mana film itu bakal diputar lagi, kerap saya tunggui hingga usia dimana akhirnya film tersebut tidak pernah ditayangkan lagi. 30 September jadi hari yang selalu saya tunggui. Dan yang ada, hanya benci kepada PKI. Sebab kemanusiaan (humanisme) yang mana, yang mampu menerima perih. Nyatanya, film itu sukses disutradarai Arifin C Noer.
Sampai akhirnya lembar demi lembar buku saya bacai. Bergaul dengan sahabat-sahabat yang mengetahui jelas apa itu PKI. Kebencian saya berbalik. Pembantaian demi pembantaian di Sumatera, Jawa, dan pulau Bali, mencambuki napas setiap hela. Yang terhirup hanya jutaan bau amis darah dari mereka yang dituduh antek PKI. Genosida di Indonesia yang baru bisa saya sadari. Saya hanya memikirkan ayah, kemudian sebuah dialog pernah tercipta di meja makan.
"Ayah, kenapa film tentang penumpasan penghianatan PKI tidak pernah diputar lagi?" ayah hanya menatap.
Setelah makanan tandas, ayah menjawab seadanya tapi meringkus segalanya.
"Film itu sudah dilarang, di berita diterangkan bahwa film itu pembodohan sejarah."
Lega hati saya. Ayah bukan bagian dari mereka yang terkutuk dan terus memercayai bahwa PKI itu laknat. Bertahun-tahun kemudian, referensi tentang sejarah PKI berhamburan. Di internet, di lirik lagu, di buku-buku yang dijual bebas setelah jatuhnya rezim Soeharto. Saya makin kenyang namun tetap berprinsip. Saya bisa sepakat dengan komunisme, meski sebenarnya Pancasila sudah cukup sebagai ilmu kanuragan bangsa ini.
Tapi saya akhirnya memilih menjadi humanisme, sebab hanya itu satu-satunya yang bisa mengejahwantahkan kengerian dan kepedihan saya, atas genosida yang membikin remuk dada. Hanya humanisme yang mampu menstabilkan goncangan saat nanar mata bocah saya, saat pertama kali tersuguhi tanpa sengaja film yang memang belum pantas ditonton anak seusia saya. Sejarah memang penuh genang darah. Lalu kemanusiaan membersihkan merah darah itu, menjadikannya suci dengan juang tanpa henti. Garis tegas dalam kalimat, "Menolak lupa!" membatik di batin. Masih ada luka kemanusiaan di sini yang tak terobati. Pengakuan akan kesesatan sejarah, masih terbelenggu oleh kekuasaan dan derap senjata. Atau oleh bunyi tanda pesan masuk. Ting! Dor!
Iya, pesan menekan itu datang tak diundang, padahal lebaran belum lama usai. 'Kami' dalam pesan itu mengisyaratkan sekompi, atau mungkin sebatalion, bisa juga seresimen. Lalu wangsit itu lirih berkata, "Menulislah!"
Berawal ketika saya dan seorang sahabat nun jauh di sana, saling berkirim pesan di BBM. "Mau kaos begini?" ejeknya.
Sebelumnya gambar kaos merah menyelinap di chat BBM, dengan palu arit kuning menghujam dada. Oleh-oleh karibnya yang melancong ke Vietnam. Aih, sialan! Keren abis. Itu ucap saya, yang sudah jauh-jauh hari, bulan, tahun, telah sadar dan waras, bahwa hanya orang dungu yang masih memiliki kenang pahit akan sejarah PKI di negeri ini. Cukup sudah saya disumpali film tentang penghianatan G-30S/PKI, Gestapu, atau Gestok. Saya ingat mendiang ayah, ketika saya masih di bangku SD. Malam itu ayah mengajak menonton Tv di rumah tetangga. Sarung ayah selalu menjadi kantung kangguru, tempat saya meringkuk dari dingin uap ubin, sembari dibuai ayunan sarung.
TVRI di zaman Orde Baru memang jadi satu-satunya stasiun Tv yang paling kece kala itu. Setelah beberapa program acara usai, saya tertidur. Desing peluru dari suara Tv membuat saya terkesiap lalu terbangun tanpa disadari ayah. Namanya bocah, tidur bisa sesekali lelap hingga pagi, tapi terkadang setelah terbangun, mata kembali benderang lalu terjaga. Ayah masih tidak sadar saya sedang ikut menonton, mungkin saking tegangnya dengan adegan demi adegan dalam film. Tepat di adegan saat Brigjen DI Pandjaitan diberondong peluru yang tengah bersimpuh berdoa. Putrinya histeris, "Papiiiiiii!!!!!" lalu menuruni anak tangga dengan langkah yang entah. Saya kira ia bakal mengejar para tentara yang menarik tubuh ayahnya.
Perkiraan saya salah, tubuhnya jatuh di genangan darah. Kedua telapak tangannya menyapu bersih genangan merah itu. Kemudian wajah sendunya bergincu darah. Saya hanya bisa memicingkan mata. Ayah masih belum sadar bahwa saya sudah bangun dari alam bawah sadar. Film itu usai, akhirnya saya memilih tidur di kamar ayah dan ibu. Setelah itu bukan rasa takut yang membekas namun penasaran yang terus berkecamuk. Hari di mana film itu bakal diputar lagi, kerap saya tunggui hingga usia dimana akhirnya film tersebut tidak pernah ditayangkan lagi. 30 September jadi hari yang selalu saya tunggui. Dan yang ada, hanya benci kepada PKI. Sebab kemanusiaan (humanisme) yang mana, yang mampu menerima perih. Nyatanya, film itu sukses disutradarai Arifin C Noer.
Sampai akhirnya lembar demi lembar buku saya bacai. Bergaul dengan sahabat-sahabat yang mengetahui jelas apa itu PKI. Kebencian saya berbalik. Pembantaian demi pembantaian di Sumatera, Jawa, dan pulau Bali, mencambuki napas setiap hela. Yang terhirup hanya jutaan bau amis darah dari mereka yang dituduh antek PKI. Genosida di Indonesia yang baru bisa saya sadari. Saya hanya memikirkan ayah, kemudian sebuah dialog pernah tercipta di meja makan.
"Ayah, kenapa film tentang penumpasan penghianatan PKI tidak pernah diputar lagi?" ayah hanya menatap.
Setelah makanan tandas, ayah menjawab seadanya tapi meringkus segalanya.
"Film itu sudah dilarang, di berita diterangkan bahwa film itu pembodohan sejarah."
Lega hati saya. Ayah bukan bagian dari mereka yang terkutuk dan terus memercayai bahwa PKI itu laknat. Bertahun-tahun kemudian, referensi tentang sejarah PKI berhamburan. Di internet, di lirik lagu, di buku-buku yang dijual bebas setelah jatuhnya rezim Soeharto. Saya makin kenyang namun tetap berprinsip. Saya bisa sepakat dengan komunisme, meski sebenarnya Pancasila sudah cukup sebagai ilmu kanuragan bangsa ini.
Tapi saya akhirnya memilih menjadi humanisme, sebab hanya itu satu-satunya yang bisa mengejahwantahkan kengerian dan kepedihan saya, atas genosida yang membikin remuk dada. Hanya humanisme yang mampu menstabilkan goncangan saat nanar mata bocah saya, saat pertama kali tersuguhi tanpa sengaja film yang memang belum pantas ditonton anak seusia saya. Sejarah memang penuh genang darah. Lalu kemanusiaan membersihkan merah darah itu, menjadikannya suci dengan juang tanpa henti. Garis tegas dalam kalimat, "Menolak lupa!" membatik di batin. Masih ada luka kemanusiaan di sini yang tak terobati. Pengakuan akan kesesatan sejarah, masih terbelenggu oleh kekuasaan dan derap senjata. Atau oleh bunyi tanda pesan masuk. Ting! Dor!
No comments :
Post a Comment