|
Ilustrasi pernikahan (www.shutterstock.com) |
LGBT di Lengan Pulau Sulawesi
MEREKA terpaksa sembunyikan jati diri. Bahkan ada yang terpaksa menikah secara “hetero”. Tak sedikit LGBT di Gorontalo dan Manado takut menunjukkan identitas seksual mereka karena penolakan masyarakat. Pilihannya, berpura-pura menjadi hetero dan menikahi lawan jenis.
Adalah Dody (nama samaran), pemilik salon di salah satu titik keramaian Kota Gorontalo. Dody adalah gay yang sukses membangun bisnis kecantikan. Ia kini mempekerjakan tiga karyawan, semuanya waria. Kendati sudah menjadi bos, ia sesekali tetap melayani pelanggan.
Dody tetap ingin disebut gay meski agak gemulai, bukan waria. Ia mengaku tidak pernah berpakaian layaknya perempuan (cross dresser), sejak ia mulai terbuka dengan orientasi seksualnya, sampai ia berusia 40 tahun kini. Penampilannya sehari-hari berkaos oblong dipadukan dengan celana jeans pendek. Rambutnya pun dipotong pendek. Tak banyak basa-basi, Dody segera bercerita tentang kehidupannya menjadi seorang gay.
“Saya tahu orientasi seksual saya berbeda saat kelas tiga SMP. Perasaan suka saya muncul pada laki-laki, tapi sebatas mencoba untuk memahami apa benar saya ini suka laki-laki. Setelah kelas satu SMA, baru saya merasakan puber. Saya mulai jatuh cinta pada laki-laki,” kisahnya.
Laki-laki yang humoris itu lahir dan tumbuh besar di salah satu desa di perbatasan Provinsi Gorontalo. Ia memilih hijrah ke kota, karena kerap kali merasa terdiskriminasi di desanya.
“Saya tertekan di desa, makanya datang ke kota. Saya juga ingin merasakan perbedaan antara desa dan kota. Di kota lebih terbuka dan pergaulannya juga menambah wawasan kita. Di desa saya merasa sangat terdiskriminasi. Selain itu, tidak bebas juga sebab saya masih tinggal dengan orang tua,” katanya.
Setelah menetap di Kota Gorontalo dan bekerja di salon, Dody belajar untuk bisa hidup mandiri. Dari hasil tabungannya selama bekerja dan juga merasa bahwa keahlian dalam bidang salon telah mumpuni, ia memutuskan untuk membuka salon sendiri tahun 1999. Kemudian ia terpikirkan untuk menikah. Tentu saja, dengan perempuan.
“Saya memutuskan menikah pada November 2013. Saya berpikir mungkin sudah sepantasnya saya menikah. Apakah hidup saya hanya terus seperti ini?” lanjutnya.
Meski berat, ia coba menjalani kehidupan itu. Menikah secara heteronormatif dengan perempuan, tentu saja melawan arus hasrat seksualnya yang notabene cenderung menyukai laki-laki.
“Saya pikir setelah membangun rumah tangga, saya bisa berubah. Tapi ternyata ada pertentangan dalam batin.”
Dody mengaku saat menikah, istrinya tahu bahwa ia seorang penyuka sesama jenis. Tapi istrinya ikhlas menerima ia apa adanya.
“Saya sudah jujur kepadanya. Saya juga menjelaskan tentang kehidupan saya yang menyenangi dunia malam. Dan saya memiliki pacar laki-laki,” aku Dody.
Mendengar pengakuan Dody, istrinya tetap memilih mengarungi bahtera hidup dengannya dan tinggal bersamanya di salon. Dari pernikahan itu istrinya pun mengandung. Dody mengaku, sebelum menikah, istrinya pernah hamil tapi mengalami keguguran. Namun pernikahan itu hanya berusia tiga bulan. Saat istrinya masih dalam keadaan mengandung, biduk rumah tangga mereka goyah.
“Saya merasa tidak ada kecocokan. Mungkin karena saya sudah terbiasa hidup dengan laki-laki. Saya tidak bisa berbohong pada diri saya sendiri. Saya hanya mencintai laki-laki bukan perempuan. Itu tidak bisa saya pungkiri,” katanya.
Di Kota Gorontalo sendiri, tidak ada tempat konseling untuk masalah-masalah rumah tangga seperti yang Dody alami. Akhirnya ia memutuskan untuk bercerai. Namun meski telah bercerai, ia tetap memberi nafkah kepada istri dan anaknya. Hubungan mereka pun tetap seperti biasa, selayaknya teman. Bahkan di antara keluarga mereka pun tetap terjalin hubungan yang baik.
Meskipun memiliki anak, tapi itu tidak menjadi pertimbangan Dody untuk tetap mempertahankan rumah tangganya. Pertentangan batinnya selalu lebih besar, bahwa ia tidak mungkin bisa menjalani pernikahan tersebut, sebab hasrat seksualnya bukan kepada perempuan.
“Pertentangannya terlalu besar. Jadi selama berhubungan seksual dengan istri, saya tidak memiliki rasa suka atau mencintainya. Hanya rasa kasih-sayang yang ada, karena sebagai suami, saya harus memenuhi pula nafkah batinnya,” katanya.
Setelah bercerai, istrinya memilih tinggal di luar Kota Gorontalo. Dody pun kembali berhubungan dengan laki-laki. Meski ia mengaku belum memiliki pasangan hidup atau tinggal serumah dengan laki-laki. Namun tetap saja ada beberapa laki-laki yang terlibat hubungan seksual dengannya. Dan mereka adalah laki-laki heteroseksual.
“Mereka suka, mungkin karena pergaulan. Biasanya saat mereka melihat yang seperti kami ini, pasti pikirannya ingin duduk minum alkohol sama-sama. Ya, kebanyakan dari sisi finansial sih, kami belikan minuman akhirnya mereka menuruti apa saja yang kami minta. Pendekatannya seperti itu,” ungkapnya.
Hidup seorang diri, Dody mengaku lebih jujur kepada dirinya sendiri. Ia semakin nyaman dengan kehidupannya yang sekarang. Sebab untuk urusan seksual, ia tidak lagi memiliki beban batin kepada istrinya. Yang ia pikirkan sekarang adalah bagaimana untuk tetap fokus dengan usahanya. Sebab ada tiga karyawan yang harus ia gaji.
***
Berbeda dengan Dody, Riko di Manado memilih mempertahankan perkawinannya yang sudah berjalan dua puluh tahun lebih dengan istrinya, seorang perempuan. Ditemui di rumah kawan baiknya, pria gay yang sejak 1988 berkarier sebagai publik figur itu akhirnya berkenan diwawancarai. Untuk menjaga identitas istri dan keluarganya, ia minta namanya disamarkan.
“Saya menikah sejak masih menetap di kota kelahiran (salah satu kota di Sulawesi), tahun 1992. Menikahnya karena MBA (married by accident – istilah untuk menggambarkan perkawinan karena mempelai perempuan sudah mengandung lebih dulu). Biasalah, pergaulan di high school (SMA),” kenangnya.
Setelah puas melanglang buana ke Jakarta, Surabaya, Samarinda dan Batam, ia memutuskan pulang ke Manado. Kariernya lumayan gemilang. Ia berpenghasilan bagus dan hidup serba berkecukupan. Dari situ pula, ia sanggup menafkahi istri dan menyekolahkan ketiga anaknya.
Riko seorang perokok berat meski profesinya menuntutnya bergaya hidup sehat. Sepanjang perbincangan, ia berkali-kali menyulut rokok. “Sudah sejak SMP, saya merasakan orientasi seksual saya berbeda,” akunya.
Demi menghindari ejekan teman-teman, Riko memilih merahasiakan. Ia mencoba bergaya hidup layaknya remaja laki-laki pada umumnya di sekolah. Pria setengah baya itu melanjutkan, dulu ia biseksual, menyukai laki-laki dan perempuan. “Tapi cenderung ke laki-laki,” tegasnya.
Ada banyak alasan mengapa kalangan LGBT, termasuk dirinya, enggan membuka diri. Menurutnya, lantaran mereka khawatir akan mendapatkan perlakuan diskriminatif dalam pekerjaan atau kehidupan sosial. Riko berpendapat, orientasi seksual tidak perlu diumbar pada banyak orang. Setelah menikah dan punya anak, ia lebih memilih menyibukkan diri pada karir.
“Saya selalu berpikir apa yang terbaik yang bisa saya buat.”
Riko menuturkan, dalam keluarga besarnya, hanya ia yang memiliki kecenderungan orientasi seksual berbeda. Orang tua dan saudara kandungnya mungkin tahu tetapi sampai saat ini ia memilih tidak berterus terang. “Kecuali jika saya tertekan atau punya masalah, mungkin saya akan mengaku. Tapi selama ini, saya merasa baik-baik saja,” katanya.
Hubungan dengan istrinya baik-baik saja. Meski demikian, saat perkawinannya diguncang pertengkaran hebat lima tahun lalu, ia sempat curiga sang istri mengetahui orientasi seksualnya. Penyebabnya, Riko pernah mengalami kesulitan berhubungan intim cukup lama dengan istrinya. “Biasanya perempuan lebih peka, mungkin dia merasakan ada sesuatu yang berbeda,” tuturnya.
Riko mengatakan pada istrinya, bahwa dirinya juga manusia biasa yang punya kekurangan dan kelebihan. “Ya, kekurangan saya seperti ini. Jadi ia boleh memilih meninggalkan saya atau bertahan,” lanjutnya sembari melonggarkan kerah kemejanya. Suaranya tambah berat. Ia kembali menyulut sebatang rokok. Dari nyala pemantik api, tampak matanya berair.
“Saya mengatakan padanya, kalau ia meninggalkan saya karena sebuah kekurangan, ia akan tetap menemui persoalan-persoalan baru saat menikah lagi dengan lelaki lain. Jadi apakah ia akan memulai hidup yang baru atau mencari solusi atas persoalan ini? Saya memberinya pilihan. Dan pertimbangan lainnya, kami sudah memiliki tiga anak dan semuanya sudah dewasa,” terangnya. Riko menunduk cukup lama.
Usai menghela napas panjang, Riko melanjutkan, “Saya juga harus berjuang mempertahankan bahtera rumah tangga ini, demi anak-anak. Walaupun pada akhirnya kadang-kadang tersiksa juga ketika hasrat seksual ini harus dilampiaskan, tapi kita tidak bisa. Akhirnya kita terpaksa memilih lagi, dalam tanda kutip, apa yang ada saja.”
Kehidupan rumah tangga sebelum dan sesudah istrinya tahu tentang orientasi seksualnya tetap berjalan seperti biasa. Menurut Riko, semua itu bergantung bagaimana cara mereka menyikapi persoalan yang muncul. Topik yang menjadi konflik bukan lagi topik yang harus dibahas setiap hari.
Bila kadang-kadang hasrat seksualnya pada laki-laki lain muncul dan ingin disalurkan, ia tidak pernah menyampaikan pada istrinya. Istrinya pun tidak pernah bertanya tentang itu. Hal itu tetap menjadi wilayah privasi masing-masing.
“Saya tetap menjaga, artinya kalaupun saya akan berhubungan seks dengan laki-laki, saya akan berusaha agar istri tidak mengetahui. Saya bukan takut, tapi lebih kepada saling menjaga perasaan, juga menjaga martabatnya di mata teman-temannya.”
Asbak di atas meja sudah penuh. Namun ia membakar sebatang rokok lagi. “Jika saya dilahirkan kembali, bukan saya tidak atau mau memilih untuk tetap begini. Tapi karena saya sudah dilahirkan seperti ini, jadi ibaratnya nasi sudah menjadi bubur, maka tugas saya adalah bagaimana agar bubur ini layak dimakan.”
Menjadi LGBT menurutnya sudah digariskan oleh Yang Maha Kuasa. Ia mengaku sulit untuk membedakan apakah ia normal atau tidak. Sebab sebutan normal dan tidak normal itu bagi Riko hanya berlaku pada masyarakat umum. Riko menambahkan, di Manado, tidak ada lembaga konseling yang khusus menangani masalah perkawinan semacam yang ia jalani. Ia juga tidak pernah mencoba untuk bertemu psikolog lalu menceritakan kehidupan rumah tangganya. Baginya, hidup seperti apapun, harus diterima dengan lapang dada.
“Saya dilahirkan seperti ini, saya harus menerima. Bukan pasrah ya, kalau pasrah, pasti mengurung diri dalam kamar lalu menyesalinya.”
Sejauh perjalanan hidup yang ditempuhnya, tidak pernah sedikitpun terbersit untuk membangun rumah tangga dengan pasangan laki-laki. Ia mengaku lebih senang menjalani hidup seperti yang dijalaninya sekarang. Bahkan ia merasa, hidup yang dijalaninya sekarang adalah sebuah dunia petualangan.
Untuk memenuhi kebutuhan seksualnya, Riko mengaku tetap sering melakukan hubungan seksual dengan laki-laki, biasanya ia memilih laki-laki hetero, bukan gay.
Perbincangan panjang itu, akhirnya ditutup dengan cerita ringan akan hobinya menonton film bertemakan kehidupan gay. Ia kerap menonton film-film itu untuk mengetahui bagaimana seseorang bisa tumbuh menjadi seorang gay dan cara mereka menjalani hidup.
|
Ilustrasi (DeGorontalo) |
Kenapa LGBT Berkomunitas
Ketika kalangan Lesbian, Gay, Biseksual dan Transgender (LGBT) berkumpul dan membuat komunitas, banyak yang marah dan menuding jika mereka akan menghomokan semua orang. Padahal komunitas-komunitas itu didirikan sebagai wadah bersama, untuk saling menghibur dan menguatkan antar sesama mereka di tengah maraknya diskriminasi. Komunitas-komunitas LGBT juga menginisiasi konseling, menjadi tempat berdiskusi, dan mempelajari hak-hak yang seharusnya mereka peroleh sebagai warga negara. Selain itu mereka juga aktif mendata dan saling mengampanyekan antar satu sama lain, mengenai bahaya HIV/AIDS.
Ada satu komunitas LGBT bernama Sanubari Sulawesi Utara (Salut) di Manado, Sulawesi Utara. Rajawali Coco (31) yang menjadi ketuanya. Ia seorang gay.
Saat ditemui di Rumah Kopi Sario, Manado, Coco bercerita mengenai kapan komunitas itu berdiri. Dari penuturannya, Salut berdiri sejak 7 Juli 2012. Ketika pertama kali dibentuk, Salut beranggotakan 200 sampai 300 orang se-Sulawesi Utara. Namun seiring waktu berjalan, makin banyak komunitas-komunitas LGBT lain yang terbentuk, khususnya di tiga Kabupaten dan Kota, yakni Bitung, Tomohon, dan Manado.
Kini anggota Salut hanya tinggal 40-an orang. Yang masih aktif pun hanya 10 orang. Itu terdiri dari 4 gender lengkap: lesbian, biseksual, gay, dan transgender. Meski demikian, upaya mereka untuk memperjuangkan hak-hak LGBT terus berjalan. Khususnya advokasi pada teman-teman mereka yang terdiskriminasi. Juga kampanye tentang bahaya HIV/AIDS.
“Sebenarnya kami bukan pecah komunitasnya. Tapi dengan dibentuknya beberapa komunitas baru, itu adalah jaringan-jaringan baru yang tetap melakukan pendataan seperti biasa,” cerita Coco, yang saat itu ditemani beberapa teman,transman dan waria.
Pada 2012, lanjut Coco, salah satu faktor penyebab berkurangnya LGBT yang terdata karena ada beberapa di antara mereka yang memilih menikah secara heteronormatif. Dan mereka terdiri dari berbagai kelas sosial dan ekonomi.
“Banyak gay dan lesbian yang memilih menikah. Mereka dari berbagai macam profesi. Mereka pun sangat menutup diri, bahkan pasangan mereka tidak mengetahui orientasi seksual mereka. Tapi untuk konsultasi tentang orientasi seksual, mereka tetap datang kepada kami,” terangnya. Coco juga menyatakan, sebagai teman, ia tidak pernah memberi masukan kepada mereka yang memilih menikah agar menjalani kehidupan mereka yang dulu.
“Itu adalah pilihan hidup mereka. Kami malah memberi support. Yang kami coba lakukan pula, agar bagaimana teman kami itu benar-benar yakin ingin menikah secara heteronormatif. Sebab akan banyak risiko yang harus dihadapi. Selain itu kami coba mengingatkan jika menikah nanti jangan sampai berbuat kekerasan. Kekerasan itu dalam arti, jangan sampai ada perselingkuhan dengan sesama jenis lagi. Setia dengan pasangannya, dengan pernikahannya, dan juga harus bertanggung-jawab,” sampainya.
Banyak di antara mereka yang menikah disebabkan pula oleh tekanan sosial, budaya, dan agama. Coco mengaku sangat prihatin, sebab tekanan orangtua pun menjadi faktor penyebab kenapa teman-temannya itu memilih menikah.
“Tekanan orangtua kami kategorikan dalam tekanan sosial. Teman-teman saya memilih jalur pernikahan itu karena merasa tertekan.” Namun menurut Coco, tidak sedikit pula dari mereka yang telah menikah yang tetap berhubungan seksual dengan sesama jenis lagi.
“Di belakang mereka tetap berhubungan dengan sesama jenis. Karena bagaimana pun, hasrat seksual mereka tetap kepada sesama jenis,” tutup Coco.
Jika di Manado keempat gender homoseksual terakomodir dalam satu komunitas, lain pula yang terjadi dengan provinsi tetangganya yakni Gorontalo. Satu-satunya komunitas waria dan gay di Kota Gorontalo yang diketuai Melky Hardy (35) diberi nama Binthe Pelangi Gorontalo (BPG). Ada satu alasan yang dikemukakannya bahwa kenapa ia dan teman-temannya memilih agar penyebutan gender kepada BPG diharuskan menyebut komunitas waria dan gay, bukan LGBT.
“Di sini stereotip masyarakat berbeda antara waria dan gay dengan LGBT. Jika disebut LGBT, pandangan masyarakat selalu negatif. Selain itu memang anggota kami juga baru terdiri dari dua kelompok ini,” jelasnya, saat ditemui di sekretariat BPG, di Kota Gorontalo.
Belum adanya gender biseksual dan lesbian yang bergabung di BPG disebabkan karena mereka belum mau terbuka. Awalnya pembentukan BPG dimaksudkan agar di antara mereka bisa tercipta keakraban. “Untuk lesbian dan biseksual mereka masih menutup diri. Dulu gay juga masih risih berkawan dengan waria. Begitupun sebaliknya,” terangnya.
Ketika direncanakan pada September 2013, lalu diresmikan bulan berikutnya Oktober, satu per satu wajah baru mulai bermunculan di BPG. Antara dua komunitas itupun, keakraban semakin terjalin.
“Setelah diadakan event Ratu Spesial 2013, akhirnya dua komunitas ini semakin akrab. Di awal pembentukan BPG anggotanya berkisar 50 orang. Anggota yang aktif sekarang tinggal 8 orang karena banyak yang mulai sibuk dengan urusan masing-masing,” terangnya.
Di samping kegiatan-kegiatan internal komunitas, gerakan BPG sama seperti Salut. Mereka berusaha untuk mengampanyekan tentang bahayanya penyakit HIV/AIDS. Mereka juga fokus mengadvokasi anggota yang terdiskriminasi oleh lingkungan masyarakat dan orangtua.
Dituturkan Melky, di Kota Gorontalo yang dijuluki Kota Serambi Madinah, diskriminasi atas dasar norma agama kerap menimpa mereka. Meski begitu, waria jauh lebih bisa diterima masyarakat ketimbang gay.
“Mungkin waria lebih aktif dan turut berbaur menjalankan beberapa program kerja pemerintah seperti penanggulangan HIV/AIDS. Sebaliknya, kalau mendengar kata gay atau lesbian, orang-orang sepertinya merasa risih,” jelasnya.
Dari teman-teman dekatnya sendiri, Melky mengaku pernah beberapa kali merasakan kehilangan. Sudah beberapa temannya sesama komunitas yang meninggal karena positif HIV/AIDS.
“Sudah tiga orang teman saya yang meninggal,” ungkapnya. Untuk itulah komunitas BPG semakin difokuskan pada kesehatan. Mereka banyak terlibat dengan kampanye penggunaan alat kontrasepsi.
Ditanya mengenai kaum homoseksual yang memilih menjalani pernikahan secara heteronormatif, Melky mengaku ada beberapa temannya yang memilih kehidupan seperti itu. Namun sukar sekali mengajak mereka yang telah menikah untuk bisa berbagi cerita. Bahkan dengan komunitas, mereka pun sangat menutup diri. Selain itu beberapa di antaranya dari kalangan menengah ke atas.
“Tapi mereka curhatnya secara personal. Bukan dalam kapasitas lembaga,” katanya.
Beberapa teman-temannya yang gay dan memilih menikah secara heteronormatif, mengaku kerap kali merasa kurang percaya diri saat menjalaninya. Terlebih saat berhubungan intim.
“Yang menjadi masalah utama saat malam pertama. Mereka suka bertanya, apakah mereka bisa atau tidak.”
Sejauh ini, Melky hanya berusaha untuk mendorong semangat mereka, juga untuk meningkatkan kepercayaan diri.
“Di tahun ini, ada juga teman gay yang akan menikah. Teman saya itu suka curhat tentang kehidupannya. Pilihannya untuk menikah sebab tekanan yang datang dari orangtuanya,” terang Melky.
|
Amato Assagaf (koleksi pribadi) |
LGBT, Moral, Agama dan Negara
Menanggapi isu tentang lesbian, gay, biseksual dan transgender (LGBT) yang semakin ramai di Indonesia, salah satu tokoh intelektual asal Manado, Amato Assagaf, mencoba menyampaikan sudut pandangnya mengenai kaum LGBT. Amato adalah penulis buku Merenungkan Libertarianisme dan sekarang aktif sebagai Direktur AMAGI Indonesia. AMAGI adalah sebuah lembaga riset dan advokasi kebijakan publik berdasarkan prinsip kebebasan individu, pasar bebas, dan pemerintahan terbatas. AMAGI berasal dari bahasa Sumeria yang berarti kebebasan; sebuah prinsip yang mendasari peradaban umat manusia, yang diyakini dapat menjadi landasan konseptual dalam membangun bangsa Indonesia.
Jurnalis DeGorontalo, Kristianto Galuwo berkesempatan mewancarai Amato pada akhir Februari 2016 di kediamannya, Manado, Sulawesi Utara :
Apa pandangan Anda dalam menyikapi fenomena LGBT di Indonesia yang akhir-akhir ini cukup kontroversial?
Saya pikir permasalahan dengan LGBT akan tetap kontroversial selama masyarakat kita belum berada pada situasi berpikir dewasa, yaitu pikiran di mana kita bisa menerima otonomi moral di tingkat yang lebih individual. Persoalannya, perjuangan untuk menegakkan otonomi moral semacam ini tampaknya masih akan panjang sementara persoalan itu akan tetap muncul dengan “memakan korban”, terutama di kalangan LGBT. Dan jika tanggapan masyarakat belum bisa diharapkan sepenuhnya positif, maka harus ada upaya dari kaum LGBT sendiri untuk bersikap kreatif dengan keadaan masyarakatnya. Kenapa? Karena tidak ada pihak yang paling bisa mendidik masyarakat untuk menerima keberadaan kaum LGBT, selain kelompok mereka sendiri.
Akan tetapi, pada tingkat tertentu, keadaan saat ini sudah jauh lebih baik dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. Sekarang sudah ada kesadaran di beberapa tingkatan masyarakat yang bisa menerima keberadaan mereka, minimal di kalangan intelektual dan kelompok-kelompok terpelajar.
Apakah masyarakat yang menolak keterbukaan kaum LGBT yang menuntut persamaan hak, salah menurut Anda?
Tentu saja salah untuk menolak realitas keragaman orientasi seksual dan pilihan-pilihan gaya hidup yang keluar dari “normalitas” umum. Tapi, persoalan kita sekarang bukan semata mengambil posisi salah-benar, karena pihak yang menolak LGBT itu masih akan dengan aman merasa bahwa mereka benar. Persoalan kita, setidaknya untuk saat ini, adalah memperjuangkan agar penolakan itu tidak berubah menjadi persekusi sosial bagi kaum LGBT, apalagi sampai melibatkan negara.
Kenapa ada masyarakat yang menolak dan ada juga yang mendukung?
Saya kira ada banyak jawaban yang bisa diberikan untuk menjawab pertanyaan itu. Tapi inti dari semua jawaban itu akan mengungkapkan satu fakta menarik, keragaman. Dan akan selalu begitu. Makanya saya katakan lagi, persoalannya bukan menolak atau menerima tapi bagaimana penolakan dan, sekarang bisa saya tambahkan, penerimaan itu, tidak mendukung sikap mereka dengan kekerasan dalam bentuk apapun, termasuk tidak mengundang campur tangan negara (sebagai pemegang hak atas kekerasan) lebih dari yang diperlukan. Saya tambahkan, mengharapkan penerimaan dari seluruh pihak dalam masyarakat adalah utopia yang berbahaya. Tapi bukan utopia untuk berharap bahwa mereka yang menolak eksistensi kaum LGBT, bisa merasa nyaman dengan sikap mereka tanpa harus menghalangi hak kaum LGBT untuk juga merasa aman dengan pilihan mereka.
Kenapa masyarakat sulit menerima kaum LGBT?
Dalam konteks masyarakat kita, ada berbagai faktor yang menjadi dasar penolakan mereka. Tapi jika harus fokus pada satu jawaban tertentu, saya lebih suka menunjuk pada kaitan antara dua hal. Pertama, ketidakmampuan kita untuk menerima yang lain “yang menyimpang” dari tatanan “normal.” Dalam kerangka ini, LGBT adalah yang lain “yang menyimpang” dari pengetahuan kita akan tatanan “normal” relasi seksual. Kedua, moralisasi atas seks dan seksualitas. Bagaimanapun juga, kita tahu persoalan LGBT akan selalu – meski tidak semata – menjadi persoalan seks dan seksualitas.
Dengan melihat persoalan seks dan seksualitas sebagai persoalan moral maka persoalan LGBT akan dilihat sebagai persoalan moral. Artinya, “penyimpangan” kaum LGBT dari pakem “normal” itu adalah sebentuk penyimpangan moral. Maka, jika ditanya kenapa masyarakat sulit menerima kaum LGBT, itu karena kaum LGBT, dalam pandangan ini, adalah para pelaku penyimpangan moral. Yakni, orang-orang yang berbahaya bagi kelangsungan tatanan hidup masyarakat.
Seperti kita ketahui, ada sebagian kaum LGBT yang mengalami tekanan sosial, yang akhirnya mereka memilih untuk menjalani kehidupan berumah-tangga secara heteronormatif, apa pendapat Anda?
Harus dipahami bahwa di negeri kita tekanan itu sangat keras. Mereka terdesak dan pada akhirnya harus memilih untuk menyesuaikan diri dengan ketentuan masyarakat. Setidaknya di tingkat individu kita tidak bisa terlalu banyak bicara soal itu. Meskipun di tingkat sosial, ini jelas penyakit yang berbahaya. Karena efeknya bisa sangat jauh. Yakni, terjadinya perceraian, kehidupan rumah tangga yang kacau-balau, apalagi jika ada anak-anak yang lahir dari perkawinan itu. Semua itu bisa terjadi. Ini adalah persoalan normalisasi lagi yang berlangsung lewat pengetahuan kita mengenai “yang lain dan menyimpang” dan kebutuhan untuk melakukan normalisasi yang, dalam kasus pertanyaan ini, dieksekusi sendiri oleh si korban; tak peduli apakah itu hanya sebagai cara untuk tampak “normal” maupun benar-benar sebagai upaya untuk menjadi “normal.” Dengan demikian, tampak jelas bahwa fenomena LGBT kawin secara heteronormatif hanya merupakan salah satu akibat dari sebab yang lebih mendasar, yaitu penolakan masyarakat terhadap eksistensi utuh kaum LGBT. Artinya jika persoalan ini hendak ditangani maka kita harus melakukannya pada tingkat yang jauh lebih mendasar itu.
Apakah menurut Anda itu tergolong “nikah paksa” karena budaya kita melarang?
Secara tidak langsung, iya. Tapi saya pikir, dengan risiko apapun, sebenarnya kaum LGBT harus terus memperjuangkan penerimaan masyarakat atas eksistensi mereka dengan strategi yang tepat. Mungkin salah satunya adalah, pada tingkat individu, menolak “nikah paksa” itu.
Apakah layak atau tidak, pernikahan semacam itu dipertahankan?
Sudah saya katakan bahwa, di negeri ini, tekanan itu sangat kuat dan datang dari berbagai arah. Jadi tidak ada jawaban sederhana yang bisa saya berikan. Tidak ada polarisasi jawaban “layak” atau “tidak layak” begitu saja. Sekali lagi, masalah kaum LGBT adalah masalah yang sangat kompleks, manakala itu menyangkut akibat-akibat yang harus mereka terima saat berada di lingkungan masyarakat secara umum. Tapi saya optimis bahwa kita sedang menuju keadaan yang terus membaik bagi kaum LGBT, sepanjang mereka sendiri memperjuangkan hak dan eksistensi mereka. Ingat, perjuangan mereka dalam dua wilayah ini akan menjadi pelajaran yang berharga bagi masyarakat secara keseluruhan.
Bagaimana nasib-nasib anak mereka menurut Anda, sebab tumbuh besar dari rumah tangga yang bisa dibilang dibangun tidak atas dasar suka dari satu pihak. Dan apa yang semestinya dilakukan?
Jika saya harus memberi jawaban mudah untuk pertanyaan ini, seperti dengan pertanyaan sebelumnya, maka perkawinan seperti itu mestinya tidak boleh terjadi karena akan mendatangkan lebih banyak mudharat dibanding manfaatnya. Tapi, sekali lagi, mengingat kerasnya tekanan kepada mereka, kita tidak bisa begitu saja menghapus kemungkinan bahwa “perkawinan pura-pura” seperti itu adalah bagian dari “taktik” mereka untuk melindungi diri dari persekusi. Diperlukan adanya perlindungan bagi kaum LGBT di Indonesia yang lebih terorganisir dalam suatu jaringan kerja, yang bersifat meluas di seluruh wilayah negeri ini jika kita ingin menghindari problem tekanan dan persekusi sosial atas mereka.
Anda memiliki anak, seperti apa pemahaman yang nantinya Anda sampaikan kepada anak-anak, mengenai keberadaan kaum LGBT?
Jika pertanyaan ini bersifat pribadi pada saya, maka jawabannya bukan lagi “nantinya” tapi saya kira “sudah” tersampaikan sejak awal. Saya mendidik anak-anak dengan pandangan, dan dalam satu cara hidup, yang saya kira, secara sosio-kultural, cukup liberal. Jadi penyampaian verbal berlangsung seiring dengan praktek. Sejauh yang saya ingat, saya lebih banyak mengajarkan anak-anak tentang penghormatan atas otonomi moral setiap individu daripada, misalnya, mengajarkan mereka mengenai moralitas normatif yang bersifat spesifik. Dan dalam setiap pandangan itu selalu ada praktek yang berjalan seiring. Dan itu tidak spesifik hanya berlaku dalam kasus LGBT tapi juga dalam berbagai hal menyangkut eksistensi orang-orang yang berbeda.
Dalam kasus LGBT, saya dan istri punya beberapa teman yang diketahui anak-anak adalah orang-orang LGBT dan mereka bisa dekat dengan teman-teman kami itu, sebagaimana mereka dekat dengan teman-teman kami yang “normal.” Tentu saja saya harus mengantisipasi kemungkinan sampainya gagasan anti LGBT kepada mereka dari orang lain – sebagaimana gagasan-gagasan anti perbedaan lainnya – karena itulah saya menganggap penting untuk menekankan pada mereka penghargaan atas pilihan individual masing-masing orang, terutama soal otonomi moral setiap individu.
Isu LGBT ini, kerap mendapat pertentangan dari agama. Menurut Anda apakah pantas isu LGBT, dibedah dari kacamata norma agama atau dari sudut pandang moral?
Sejauh menyangkut seks dan seksualitas, saya pikir tidak ada pandangan, keyakinan, agama, ideologi, dan ilmu pengetahuan, bahkan ilmu pengetahuan tentang seks itu sendiri, yang bisa dianggap pantas untuk membedah isu LGBT (juga isu-isu seksualitas lain, seperti open marriage life style atau prostitusi, misalnya) selama masih ada bias moralisme di dalamnya. Agama, dengan segala hormat kita pada institusi ini, dalam banyak hal justru sering menjadi sumber dari bias moralisme ini. Diperlukan kemauan dan kemampuan orang-orang terpelajar dari dalam lingkungan masing-masing agama, untuk bisa melahirkan penafsiran yang tidak bias dalam mengkaji masalah LGBT. Meskipun, secara pribadi, saya sangat meragukan kemungkinan itu.
Apa pendapat Anda, ketika pemerintah sendiri, seperti pemberitaan yang ramai kemarin, secara jelas menolak keberadaan kaum LGBT?
Inilah yang paling saya takutkan dalam isu LGBT, campur tangan pemerintah. Tapi, sejauh yang saya tahu, tidak ada penolakan pemerintah atas keberadaan LGBT. Yang ada juga hanya gagasan lucu-lucu dungu dari menristek dikti kemarin. Dan itupun telah memancing kritik dari banyak kalangan intelektual dan berbagai elemen masyarakat sadar, yang menunjukkan pada kita bahwa isu LGBT dan berbagai isu sejenis tidak boleh dimasuki oleh negara/pemerintah. Sebagaimana kita tidak ingin para penentang eksistensi menggunakan negara untuk memaksakan kehendak mereka, kita juga tidak boleh meminta negara terlibat dalam pengakuan atas eksistensi kaum LGBT. Apa yang harus dilakukan negara hanyalah melindungi hak setiap warga negara. Soal, seks, moral, keyakinan, dan lain-lain, adalah soal privat yang tidak boleh dicampuri negara, baik untuk afirmasi maupun sebagai negasi.
Catatan: ‘istilah lucu-lucu dungu’ dipinjam dari Rocky Gerung (filsuf politik Indonesia).
Banyak elemen masyarakat yang dengan jelas menolak kaum LGBT dan sering berstigma bahwa kaum ini pasti selalu urusan seksual. Apakah menurut Anda wilayah seksual seseorang pantas dicampuri orang lain?
Mereka tidak mengatakan bahwa ini urusan seksual tapi mereka selalu berasumsi bahwa setiap urusan seksual pasti melibatkan moral. Inilah yang saya sebut moralisme. Urusan LGBT, banyak sedikitnya, memang urusan seks dan seksualitas. Tapi itu mestinya tidak masalah sejauh seks dan seksualitas tidak dipandang dengan moralisme. Memandang seks dan seksualitas dengan moralisme itu ibarat memandang suatu obyek lewat cermin; segala yang di kanan akan tampak di kiri. Dan ini bukan hanya tidak tepat tapi juga berbahaya. Cermin moralisme adalah cermin yang tidak bening dan distortif.
Menurut Anda, sudah layakkah masyarakat Indonesia untuk menerima kehadiran kaum LGBT?
Saya termasuk orang yang sangat optimis dengan bangsa saya ini. Berbagai kritik yang harus saya lancarkan terhadap berbagai hal yang tengah kita hadapi, tidak mengurangi pandangan optimistis saya terhadap Indonesia dan masyarakatnya. Apalagi dalam masalah LGBT. Penerimaan terhadap hak dan eksistensi kaum LGBT di Indonesia hanyalah soal waktu dan, jika ingin mempercepat laju waktu, kreatifitas dari kaum LGBT sendiri untuk memperjuangkan penerimaan itu. (*)
Oleh: Kristianto Galuwo
BEASISWA WORKSHOP JURNALISTIK
Better Journalism
for LGBT
AJI
Indonesia dan UNDP
Jakarta, 23 – 24 Januari 2016
Terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu
Laporan ini dimuat di DeGorontalo.co