Kota ini hanya beberapa jengkal
Satu, dua, tiga, mungkin empat atau lima jengkal saja
Dan lampu-lampunya selalu sama seperti kota-kota lain
Kau tak bisa menjumpa beda di sini
Di trotoar, di lapangan, taman-taman, emperan toko, kau tak bisa lagi meraba apa-apa
Wajah-wajah yang pernah ceria di sana, kini muram dan pergi mengurung diri
Tapi kota ini tak pernah salah
Ia tidak membenci kita
Ia tak mampu menyumpahi kita
Pun ia tak bisa berbuat apa-apa
Sampai kota ini benar-benar mati
Mereka telah membunuhnya
Razia-razia melebur kegembiraan
Riuh adalah kutukan
Suara-suara dibungkam aturan
Yang muda disibuki cangkir-cangkir kopi pajangan
Di foto lalu ditebar begitu saja
Tanpa pernah mereka memaknai pahit itu apa, manis itu apa, dan mereka itu apa
Siapa yang meracuni cangkir kopi mereka di kedai-kedai itu?
Jelas bukan Jessica si Ratu Sianida
Tapi pikiran-pikiran tua
Pikiran yang mengira masa tua mereka adalah sama dengan kita
Maka pulanglah anak-anak muda yang membawa remah-remah pengetahuan
Yang ditafsir dengan pikiran-pikiran merdeka
Lalu tebarlah puisi-puisi dan sajak-sajak
Ke telinga para orang tua
Dan, kota ini bisa hidup kembali oleh puisi-puisi
Sebab ruhnya ada di sini
Pada puisi-puisi, yang mempertemukan siapa saja yang tahu cara paling sakral dalam mengutarakan isi hati
Puisi-puisi untuk Kotamobagu yang kita cintai dengan semesta hati
No comments :
Post a Comment