Senja itu dikulum malam. Tepat berbuka puasa, kau pulang dari Manado, dengan ambulans dan lampu sirenenya yang dari kejauhan menyala-nyala menyulut mata. Tubuh kami menggigir di puncak Desa Lobong. Tangis kami pecah dengan tengkuk yang terus bergetar. Ah, Bedew... Kau tiba juga.
Sebelumnya, saat mendengar kabar kepergianmu, kepalaku seperti kosong. Air mata menjadi batas dahaga. Mulutku berisi lautan. Dan apa yang seluruh, meruap di ruang kamar. Entah apa yang akan kuceritakan tentangmu. Aku tak tahu harus memulainya dari mana.
Saat kami mengiringi jenazahmu. Di dalam mobil, Sandry menyetel pelan sebuah kidung dari Efek Rumah Kaca. Putih. Sepenggal Tiada tanpa Ada.
Saat kematian datang
Aku berbaring dalam mobil ambulans... Dengar...
Pembicaraan tentang pemakaman
Dan takdirku menjelang
Sirene berlarian bersahut-sahutan... Tegang
Membuka jalan menuju Tuhan
Akhirnya aku usai juga.
Iya, Bedew. Lagu itu mengisi kosong di kepalaku. Seiring hembus angin mengusap airmata, yang mengisyaratkan sebuah kerelaan. Harus ikhlas meski hati ini meranggas.
Iring-iringan membelah Kotamobagu. Lalu melewati kantor BRI tempatmu bekerja. Hanya beberapa menit, tanah lahirmu yang menanjak dan basah, menyambut. Di tepi tanah lapang, rumahmu telah tenggelam oleh airmata.
Lirik Putih itu kembali hadir...
Saat berkunjung ke rumah
Menengok ke kamar, ke ruang tengah... Hangat
Menghirup bau masakan kesukaan
Dan tahlilan dimulai
Doa bertaburan terkadang tangis... Terdengar
Akupun ikut tersedu sedan
Akhirnya aku usai juga
Oh, kini aku lengkap sudah.
Iya, Bedew. Kau lengkap sudah. Kelahiran, kehidupan, dan kematian. Kau tinggal menunggu kebangkitan yang ringkas. Kau akan dipeluk bumi. Sedang kami masih di muka bumi.
Aneh, mendengar kau berpulang, aku tak gentar lagi menyambut ajalku. Kau sudah di sana. Kalian: Yayang, Bagus, Kak Dona, Jaya, Rinto, Kak Mila, Om Ris, Om Oncong, dan ayahku. Pun semua yang telah berpulang sebelumnya, seakan berderet di hadapanku. Kerabat, sahabat, dan siapa saja yang pernah akrab. Wajah mereka berseri-seri. Seperti wajahmu.
Masih ingat? Kau pernah membuat Tuhan tertawa dengan pantunmu, "Buah manggis, buah mangga. Jangan menangis ya, mangga." Dia terlampau senang dan sayang padamu. Karena itu, ibu dari semua hari dan ibu dari semua bulan, dipilihnya untukmu. Jumat dan Ramadan. Kau sangat spesial.
Bedew, maafkan kami yang tidak bisa membaca tanda-tanda itu. Turnamen sepak bola kemarin, sebenarnya adalah isyarat darimu. Kepergianmu.
Kau masih menghibur kami dengan telapak tanganmu yang kerap kali ringan itu. Kau meninggalkan kenang yang akan terus menggenang di tanah lapang.
Juga meninggalkan Delianto Bengga dan Rahma Ulaan, Sangadi dan Ibu Sangadi Desa Passi, yang telah menganggapmu seperti anak kandung mereka sendiri.
Ah, Bedew... Aku tidak tahu harus berkisah apalagi tentangmu.
Kemudian, larik-lirik Putih itu hadir lagi...
Dan kematian, keniscayaan
Di persimpangan, atau kerongkongan
Tiba-tiba datang, atau dinantikan
Dan kematian, kesempurnaan
Dan kematian, hanya perpindahan
Dan kematian, awal kekekalan
Karena kematian, untuk kehidupan... Tanpa kematian.
Dan diabetes adalah sebuah proses yang alami... Selarik lirik dari Efek Rumah Kaca, Sebelah Mata, sekali lagi bercerita tentangmu. Tentang sakitmu yang sama persis dengan si pemetik bass, Adrian. Penglihatannya direngut pula oleh diabetes.
Tapi tentang sakit yang sering dikeluhkanmu itu, seperti yang pernah kau utarakan tempo hari, "Obat yang mujarab itu adalah kasih-sayang kedua orangtua."
Iya, Bedew, kasih-sayang ayah dan ibumu, kakakmu satu-satunya, dan kami semua, adalah obat yang paling mujarab. Kami mengikhlaskanmu.
Selamat jalan, Ewin...
Selamat jalan, Bedew...
Selamat jalan, Bedewin...
Tempat terbaik untukmu! \m/
No comments :
Post a Comment