Adalah botol vodka pertama yang membuatnya bertanya, "Kau kenapa?"
Dia selalu bisa menemukan kesunyianku. Meski aku bersembunyi di balik lipatan tangan, wajah ceria, atau mulut yang terlalu banyak bercerita.
Pandangannya terus bertanya. Disusul tendangan pelan yang mengajakku meraih tubuh botol. Setelah kusesap isinya, kini aku yang bertanya, "Kau kenapa?"
Adalah botol vodka kedua yang membuatnya berkata, "Aku tidak bahagia."
Dia sepertinya mulai mabuk. Kemudian satu demi satu jahitan di mulutnya terlepas. Ah, dia hanya sedang mabuk saja. Namun di matanya aku menemukan pembenaran.
Kosong adalah kelahi. Penuh adalah mesra. Begitu katanya. Aku juga menemukan kesunyian dalam getar suaranya, "Malam ini aku tak pulang."
Adalah botol vodka ketiga yang membuatnya berkata, "Aku belum mabuk."
Tapi pada kedua pipi yang sejajar dengan hidungnya, dua lampu merah menyala terang. Matanya memicing. Bibirnya seperti embun yang disapa terang pagi. Terlalu basah dan hangat.
Sebatang rokok di jepitan jemarinya, dibiarkan membakar sendiri. Sekumpulan abu yang menyelimuti bara, membengkok lalu patah. Ringan jatuh menyampah di lantai.
Adalah botol vodka keempat yang membuatnya berkata, "Kau puas malam itu?"
Dia menoleh ke arahku tapi pandangannya ke lain tempat. Mungkin pada poster Nirvana yang kupunggungi. Jidatnya berminyak. Bayangan wajahku ada di sana.
Sepuluh tahun, itu waktu yang singkat. Tapi sepuluh jam adalah waktu yang lama untuk aku dan dia. Larut bersama vodka. Larut bersama kisah. Membicarakan ledakan-ledakan pada setiap pertemuan.
Adalah botol vodka kelima yang membuatnya berkata, "Aku nyaman bersamamu."
Kini di sepasang bola matanya, aku menemukan matahari dan purnama. Jemariku menyisiri rambutnya. Menggaruk pelan kulit kepalanya. Seperti sepuluh tahun yang lalu.
Aku memeluknya. Dia tidak memelukku. Dia sedang tertidur. Aku kemudian berbisik di telinga kirinya, "Jangan tinggalkan dia."
Dia selalu bisa menemukan kesunyianku. Meski aku bersembunyi di balik lipatan tangan, wajah ceria, atau mulut yang terlalu banyak bercerita.
Pandangannya terus bertanya. Disusul tendangan pelan yang mengajakku meraih tubuh botol. Setelah kusesap isinya, kini aku yang bertanya, "Kau kenapa?"
Adalah botol vodka kedua yang membuatnya berkata, "Aku tidak bahagia."
Dia sepertinya mulai mabuk. Kemudian satu demi satu jahitan di mulutnya terlepas. Ah, dia hanya sedang mabuk saja. Namun di matanya aku menemukan pembenaran.
Kosong adalah kelahi. Penuh adalah mesra. Begitu katanya. Aku juga menemukan kesunyian dalam getar suaranya, "Malam ini aku tak pulang."
Adalah botol vodka ketiga yang membuatnya berkata, "Aku belum mabuk."
Tapi pada kedua pipi yang sejajar dengan hidungnya, dua lampu merah menyala terang. Matanya memicing. Bibirnya seperti embun yang disapa terang pagi. Terlalu basah dan hangat.
Sebatang rokok di jepitan jemarinya, dibiarkan membakar sendiri. Sekumpulan abu yang menyelimuti bara, membengkok lalu patah. Ringan jatuh menyampah di lantai.
Adalah botol vodka keempat yang membuatnya berkata, "Kau puas malam itu?"
Dia menoleh ke arahku tapi pandangannya ke lain tempat. Mungkin pada poster Nirvana yang kupunggungi. Jidatnya berminyak. Bayangan wajahku ada di sana.
Sepuluh tahun, itu waktu yang singkat. Tapi sepuluh jam adalah waktu yang lama untuk aku dan dia. Larut bersama vodka. Larut bersama kisah. Membicarakan ledakan-ledakan pada setiap pertemuan.
Adalah botol vodka kelima yang membuatnya berkata, "Aku nyaman bersamamu."
Kini di sepasang bola matanya, aku menemukan matahari dan purnama. Jemariku menyisiri rambutnya. Menggaruk pelan kulit kepalanya. Seperti sepuluh tahun yang lalu.
Aku memeluknya. Dia tidak memelukku. Dia sedang tertidur. Aku kemudian berbisik di telinga kirinya, "Jangan tinggalkan dia."
No comments :
Post a Comment