Gerimis berloncatan di atap rumah. Riang sekali. Sedang malam baru saja mau meninggi. Tak ada tempat untuk menepi. Segalanya meruncing ke langit.
Jendela menganga. Pintu menguap. Lalu malam perlahan merangkak menuju pagi, membikin jendela dan pintu terkatup pelan. Selimut dibiarkan membungkus hampa.
Di kamar ini, tak ada suara napas. Hanya kilau kulit yang menyerap nyala dari luar sana. Degup jantung melipat angka-angka pada waktu. Menyimpannya di lereng sekotak laci.
Begitu hening dari luar. Tapi begitu hingar dari dalam. Lalu lipatan kulitnya terbuka. Waktu terhenti. Sekumpulan pohon rebah menunggu dengus hantu, yang kemudian menarik satu per satu napas menuju liang terdalam.
Di luar, gelap mulai runtuh dari langit. Tapi hati ini masih menunggu. Memejam jadi serupa kutuk. Mata begitu terang memijat setiap kulit tubuhnya. Jangan pernah pagi. Kumohon.
Jendela menganga. Pintu menguap. Lalu malam perlahan merangkak menuju pagi, membikin jendela dan pintu terkatup pelan. Selimut dibiarkan membungkus hampa.
Di kamar ini, tak ada suara napas. Hanya kilau kulit yang menyerap nyala dari luar sana. Degup jantung melipat angka-angka pada waktu. Menyimpannya di lereng sekotak laci.
Begitu hening dari luar. Tapi begitu hingar dari dalam. Lalu lipatan kulitnya terbuka. Waktu terhenti. Sekumpulan pohon rebah menunggu dengus hantu, yang kemudian menarik satu per satu napas menuju liang terdalam.
Di luar, gelap mulai runtuh dari langit. Tapi hati ini masih menunggu. Memejam jadi serupa kutuk. Mata begitu terang memijat setiap kulit tubuhnya. Jangan pernah pagi. Kumohon.
No comments :
Post a Comment