... Kami berempat baru akrab setelah kelas tiga SMP. (Baca sebelumnya: Bagian 7)
Meski berbeda sekolah, kami merasa memiliki
kecocokan satu dengan lainnya, setelah pertemuan di salah satu warung internet.
Kami adalah tim yang hebat, ketika game counter
strike sedang menggumpal di nadi para remaja. Kemudian saat SMA, kami
memilih satu sekolah. Persahabatan kami semakin erat.
"Den, kita pernah bertengkar persoalan uang
sewaktu SMA. Ketika kita menang taruhan counter strike."
"Kita semua tidak akan melupakan kejadian
itu."
Umar memakai uang taruhan untuk membayar iuran
sekolahnya. Uang yang diberikan ibunya, dipakainya untuk membeli ganja dari
seorang mahasiswa. Umar memilin sendiri ganja kering yang dibelinya. Delapan
linting, kami mabuk dengan sangat biadab kala itu. Kami menghabiskan kebiadaban-kebiadaban
di pantai.
Ketika kami menanyai Umar soal uang taruhan, dia
tidak menjelaskan dengan jujur. Dia mengaku uang itu hilang. Kami menghindarinya
untuk waktu yang lama. Sampai suatu hari kami akhirnya tahu. Uang itu
dipakainya untuk membayar iuran sekolah, yang digunakannya menebus sebuah
kebiadaban yang terlampau indah, untuk remaja seumuran kami.
"Dan sejak saat itu, kita sepakat membenci
masalah yang disebabkan oleh uang," ujar Deni.
"Juga membenci ketidakjujuran." Aku seketika
beranjak dari kasur. "Den! Media ini tidak boleh dibiarkan mati! Aku mandi
dulu."
***
Bau pesing menebal di dalam ruangan berukuran 7 x 7
meter. Ada belasan orang yang sekarang mendekam di dalam sel. Mereka saling
berhimpitan dengan raut wajah yang sama. Kosong.
Umar tampak bersandar di salah satu sudut sel. Tepat
di atasnya, jendela kecil berjeruji membagi sinarnya dari luar. Dia menatap
garis-garis cahaya itu, sembari membayangkan tubuhnya mengecil dan meniti di
atasnya. Dia ingin segera pergi dan berlari ke alam bebas. Duduk di kedai kopi,
membaca buku, atau menendang kaleng bir kosong di jalanan.
Tak jauh dari posisi Umar, Indra tengah berbaring di
atas kardus. Sedari tadi kedua lipatan tangannya menjadi bantal. Matanya
tertutup. Meski sudah beberapa jam bersama dalam satu sel, mereka berdua belum
terlibat pembicaraan. Untuk masalah yang masih memanas, mulut bisa berkata
begitu banyak, atau malah menjadi lebih irit.
Seorang tahanan, tiba-tiba menegur Umar. “Hei, kau perkara
apa?”
“Menurutmu?” Umar
balik bertanya, setelah sadar yang menegurnya adalah seorang remaja.
“Semoga tidak lebih berat dariku. Ancamannya 15
tahun hukuman penjara.” cerita remaja itu.
Penasaran dengan usia remaja itu, Umar bertanya,
“Usiamu berapa?”
“19 tahun,” jawabnya.
“Kau kasus pembunuhan?” Umar coba menebak.
“Bukan. Aku dianggap memerkosa pacar. Aneh, kan?
Pacar, diperkosa.”
Tahanan yang belakangan dikenali bernama Amir itu
seperti mendapat teman untuk mencurahkan isi hatinya. Pacarnya yang masih kelas
1 SMA, hamil. Dia mengaku sangat mencintai pacarnya itu, lalu dengan
seyakin-yakinnya mengakui perbuatannya dan bersedia menikah. Namun sayangnya,
kedua orang tua pacarnya tidak suka dengan Amir. Dia akhirnya dilaporkan ke
polisi sampai nasibnya kini berada sekurung badan dengan Umar.
“Apakah cinta mengenal usia?”
Pertanyaan polos namun begitu dalam dari Amir, pelan
dan seperti menembus tembok sel. Pertanyaan yang mewakili mereka-mereka yang
pernah mengalami perkara yang sama. Meski untuk perkara yang termasuk dalam
Undang-undang Perlindungan Anak itu, tidak melulu menjerat pasangan yang sedang
dimabuk cinta, semacam Amir.
“Tidak ada yang salah dengan cinta kalian. Hanya
saja, cinta kalian terlalu membara untuk pacarmu yang masih belia.”
“Tapi aku bersedia bertanggung-jawab!”
“Hmm… Itulah kenapa aku kurang sepakat ketika
hukuman itu bertujuan untuk membuat efek jera. Hukum dibuat seharusnya untuk
mendidik masyarakat agar menjadi awas.”
“Maksudmu, aku kurang belajar tentang risiko yang
akan aku hadapi?”
“Lebih tepatnya, negara kurang mendidik orang-orang
sepertimu soal itu.”
Umar bercerita, sempat beberapa kali dia meliput
persidangan, sewaktu masih menjadi wartawan magang di sebuah media cetak.
Pengacara, jaksa, dan hakim kerap kali mengeluarkan pernyataan, bahwa semakin berat
tindak pidana maka semakin tinggi hukuman yang dijatuhkan kepada pelaku
kejahatan. Dan itu agar ada efek jera terhadap masyarakat.
“Kalian masih terlalu muda. Bahkan untuk sekadar
menyadari apa yang kalian perbuat itu sangat berisiko, kalian belum bisa.”
Umar lanjut menceramahi Amir, bahwa sosialisasi
mengenai hukum sangat minim di negara
ini. Media pun terlalu sedikit memberi porsi perihal perluasan informasi
terkait aturan hukum. Tanda awas bagi media, ketika perkara telah ada, pelaku
diseret, dan kemudian dijatuhi hukuman. Lalu berita ditebar. Mereka merasa
telah mewanti-wanti masyarakat lewat judul yang dibesar-besarkan. Benar bahwa
media tak sedikit pun membantu masyarakat. Mereka gagap dan ingin mengumbar apa
saja yang sedang hangat. Tujuannya hanya agar oplah naik atau berita
dikunjungi ribuan pembaca di media online.
(Bersambung)
No comments :
Post a Comment