Ilustrasi |
Semalam saya baru saja mengirim naskah tulisan ke redaksi Mojok.co. Portal ini memang menerima kontribusi tulisan bertema apapun. Syaratnya harus jenaka. Diberi upah pula.
Siang tadi listrik padam. Saya baru bisa membaca email balasan dari redaksi Mojok.co, setelah menunggu beberapa jam. Listrik menyala lagi di tengah gerimis Oktober. Email saya buka.
Dear Getah Semesta
Sebelumnya, kami ucapkan terima kasih atas kesediaannya mengirimkan naskah ke Mojok, artikel anda sudah kami terima dengan selamat tanpa kurang suatu apapun... Tulisan anda bagus, menarik, dan kami pikir sudah cocok dengan gaya Mojok. Tulisan anda akan kami masukkan ke dalam daftar REKOMENDASI bersama tiga naskah lainnya untuk kemudian diputuskan bisa naik tayang atau tidak.
Jika nantinya artikel anda naik tayang, maka kami akan segera mengirimkan honor tulisan ke rekening anda, namun jika dalam dua hari tidak ada kabar, Ya mohon maaf, berarti tulisan anda memang terpaksa tidak bisa naik tayang...
Sekali lagi, terima kasih atas kesediaan anda mengirimkan tulisan untuk Mojok...
Girang rasanya membaca email itu. Tapi naskah saya harus diseleksi lagi. Ada tiga naskah lain yang harus saling sikut untuk bisa terpilih tayang. Tapi jika tidak tayang, masih ada wadah lain untuk memuat tulisan itu. Bisa di blog saya, atau di portal DeGorontalo.co yang sekarang ini sedang saya asuh.
Saya memberi judul naskah itu "7 Ciri-ciri Wartawan Kepala Balon (Kabal)". Iya, itu tulisan kekesalan saya ketika melihat teman-teman wartawan, yang bersikap cuek ketika ada teman wartawan lain yang diintimidasi dan dianiaya.
Tapi di sini saya bukan hendak membahas tulisan itu. Sebab selain mengecek email, ada tulisan yang masuk di kolom chat BBM saya. Ponsel saya juga baru hidup setelah di-charge. Tulisan itu dari adew Febri Bambuena. Dia ini memang cukup akrab dengan saya. Seakrab dua saudara lainnya, Renza dan Retho.
Saya segera membaca tulisannya yang ia beri judul From Adew Mahasiswa for Kakaw-kakaw Wartawan (FAMFKW). Judulnya begitu familiar. Sebab saya setahun yang lalu, pernah menulis dengan judul yang hampir sama.
Di awal tulisan, Febri segera menjelaskan maksudnya memberi judul itu. Saya pikir, ini tulisan balasannya untuk saya. Sebab setahun yang lalu, saya dan dia pernah bergayung-sambut tulisan. Waktu itu saya masih sebagai wartawan di Radar Bolmong (Jawa Pos Group).
Tapi ternyata bukan. Tulisan itu masih tentang keresahannya atas praktik jurnalistik di Bolmong. Tapi bukan untuk saya. Untuk wartawan-wartawan lokal di Bolmong Raya (BMR). Terima kasih juga kepada Febri sudah mengidolakan saya yang, sebenarnya masih terus belajar tentang apa itu jurnalisme. Yang menjadi idolamu ini, juga mengidolakan kamu, dan teman-temanmu lainnya di Pondok Patah Hati (PPH) Makassar, tempat saya pernah belajar.
Usai membaca tulisan itu, saya segera mengirimi Febri pesan lewat tautannya di BBM. Saya terlibat percakapan singkat dengannya, masih seputar praktik jurnalistik di BMR. Saya bilang, sekelas kakaw Katamsi Ginano saja yang kerap menegur mereka, dicuekin, apalagi kamu. Saya juga pernah berkali-kali menulis dengan masalah yang sama.
Tapi jawaban Febri cukup membuat saya bersepakat. Bahwa keras logam, api bisa melelehkannya. Apalagi yang menjadi api kali ini seorang adew yang terpaut usia cukup jauh.
Tulisan Febri sebelumnya Galau-galau Wartawan (GGW) pernah saya balas dengan For Adew Mahasiswa from Kakaw Wartawan (FAMFKW). Di tulisan balasan saya itu, ada tiga kata yang saya minta untuk dipahami dulu oleh Febri. Kata: kontrak, iklan, dan berita. Ketika menjadi wartawan di Radar Bolmong, saya cukup akrab dengan ketiga kata itu.
Sebenarnya, balasan saya untuk Febri kala itu, hanya ingin memantik daya kritisnya untuk menulis lagi. Dan terus terang, pengetahuan saya tentang dunia jurnalistik masih minim. Sangat tipis. Apa yang saya tuliskan di FAMFKW sangat mudah dipatahkan. Sangat mudah.
Kemudian di tulisan FAMFKW kali ini, saya kembali menangkap keresahan yang sama dari Febri. Ia tetap mengkritisi praktik jurnalistik partisan dari media-media lokal di BMR. Saya pernah menulis soal media partisan berjudul Berani?. Tapi sama saja, tak berefek. Tapi mungkin semangat Febri menjadi cermin diri. Bahkan mereka adik-adik yang tak bergelut di dunia jurnalistik, merasa prihatin.
Saat ini, saya masih mengasuh DeGorontalo.co bersama ketiga orang teman saya di AJI Kota Gorontalo. Beberapa pekan lalu, saya terpaksa harus melepas kesempatan untuk menjadi wartawan di ibukota di independen.id. Rappler.com Indonesia juga sudah saya titipkan kepada teman saya di Gorontalo, sesama anggota AJI. Alasan saya hanya satu; saya ingin kembali menetap di BMR.
Tahun lalu, saya memutuskan menjauh dari BMR karena tidak ingin terbawa arus praktek jurnalistik di sini, yang tentu saja buruk. Kali ini, saya memutuskan sebaliknya. Ingin menetap di BMR dan coba melawan arus yang padahal sebenarnya; arus jurnalistik yang benar dan besar itu yang seharusnya membawa kita menuju ke arah yang lebih baik. Tapi arus besar itu berubah buruk dan memaksa kami menjadi ikan-ikan yang coba untuk melawan arus itu. Sebab hanya ikan-ikan mati yang terbawa arus.
Teruslah menulis Febri dan siapa saja yang, benar-benar peduli dengan BMR.
No comments :
Post a Comment