Tujuannya hanya agar oplah naik dan berita
dikunjungi ribuan pembaca di media online. (Baca sebelumnya: Bagian 8)
Kekurangan informasi kepada masyarakat memang sangat
terasa, baik itu di perkotaan ataupun pedesaan. Kasus tentang Perlindungan
Anak malah menjadi momok tersendiri di berbagai desa pelosok. Kebanyakan
perkara menjerat remaja-remaja tanggung, yang bahkan ketika ditanyai kenapa
melakukan itu, sering kali dijawab dengan polos, bahwa mereka saling suka.
Hanya itu. Saling suka. Tapi hukum tidak mengenal kata suka sama suka. Apalagi
cinta.
Dalam Undang-undang Perlindungan Anak, ada beberapa
pasal yang memang mengatur perkara tindak pidana seperti pedofilia, pemerkosaan
anak di bawah umur, pelecehan seksual, dan kekerasan terhadap anak-anak. Dan
Amir dijerat dengan dalil pemerkosaan. Bahkan keterangan pacarnya semakin
memberatkan Amir, bahwa apa yang dilakukannya adalah sebuah paksaan.
“Aku heran, kenapa pacarku tega mengatakan itu. Jika
itu paksaan orangtua, sungguh tega sekali ada orangtua yang mengajarkan anak
mereka untuk berbohong,” kata Amir, sambil mengetuk-ketuk pelan tembok sel
dengan punggungnya.
Selanjutnya Amir bercerita mengenai sejumlah uang yang
diminta kedua orangtua pacarnya. Orangtua Amir yang hanya petani, tak sanggup
memenuhi permintaan itu. 60 juta… Gila! Amir yang hanya pengemudi becak motor
setelah sekolahnya kandas di kelas 2 SMA, sampai membayangkan meski kedua betis
dan lengannya meledak, dia tetap tidak sanggup menghasilkan uang sebanyak itu
dalam waktu singkat.
Bercerita dengan Amir, semakin membuat beban di
pundak Umar terasa ringan. Dia seperti mendapat perbandingan, bahwa apa yang
tengah dihadapinya, ternyata belum seberapa.
“Aku dan teman-temanku akan coba membantumu,” kata
Umar, sambil menepuk pundak Amir. Meski Umar tahu, hukuman selama apa yang akan
dihadapi Amir nanti. Namun dia hendak menyampaikan maksud, bahwa teman barunya
itu sedang tak sendiri.
Sepanjang hari mereka bercerita, sedangkan di sudut
ruang sel, Indra masih bergeming. Cahaya matahari dari jendela kecil pun telah
berganti temaram lampu.
Lalu seisi sel tiba-tiba diriuhkan oleh tiga tahanan
baru. Tiga pemuda itu setelah ditanyai oleh beberapa tahanan lain, ternyata
mereka baru saja dirazia akibat pesta minuman keras dan mabuk obat batuk di
kamar kos. Tradisi ketika ada penghuni baru pun diberlakukan. Sama seperti yang
Umar dan Indra alami saat pertama kali tiba. Memijat tahanan lain. Itu yang
paling ringan. Sedangkan yang terberat, merasakan kepal tinju para penghuni
tahanan.
***
Di kamar kos, Gladys berbaring di atas ubin yang
dilapisi karpet biru. Tampak dia pelan-pelan meremas bibir bawahnya.
Pandangannya menempel ke langit-langit kamar. Seakan-akan langit-langit kamar
koyak dan dia sedang menuju ruang lain. Gladys sedang memikirkan Sigid. Dan
ciuman itu.
"Dys! Menghayal lagi?"
Langit-langit kamar seakan runtuh.
Gelembung-gelembung pikiran Gladys meletus satu per satu.
Gladys mengumpati Lina yang telah membuatnya kaget.
"Sialan!"
"Ha-ha-ha... Eh, akhir-akhir ini sepertinya
wajahmu sumringah terus," goda Lina.
"Sedang jatuh cinta?" susul Lina lagi.
"Diam, ah!"
"Ayo, jatuh cinta sama Mr. Journalist?"
"Oh, my god!" Gladys melempari Lina dengan
guling.
"Lin, kau pernah merasa menginginkan sesuatu
karena dipengaruhi sesuatu lainnya?"
"Maksudmu?"
"Begini... Aku ingin jadi jurnalis. Dan
keinginan itu muncul sejak aku merasa dekat dengan Sigid. Sampai akhirnya
aku... Akuu... Suka kepadanya."
"Lalu, masalahnya apa?"
"Sigid pernah bilang. Jika kita menyenangi
sesuatu karena sesuatu, maka ketika sesuatu itu hilang, apa yang kita senangi
akan ikut hilang juga." Gladys coba mengingat apa yang dikatakan Sigid
semampunya.
"Kalian sudah jadian?" Wajah Lina tampak
heran namun bahagia.
"Aduh! Jangan dipotong dulu!"
"Oke. Oke. Hmm... Menurut aku benar yang
dikatakan Sigid. Tapi bagaimana jika itu dibalik. Kau suka Sigid karena dia
jurnalis. Dan ketika dia tidak lagi menjadi jurnalis, kau tidak harus
kehilangannya, bukan?"
"Tumben, logikamu licin kali ini. Tapi,
bagaimana jika hal yang pertama itu benar-benar terjadi."
"Maksudmu, ketika kau putus dengan Sigid,
cita-citamu menjadi jurnalis juga ikut pupus?"
"Iya, Lin."
"Jika kau tidak sungguh-sungguh pada jalan itu.
Kau akan luput membacai tanda-tanda."
(Bersambung)
No comments :
Post a Comment