Jika Aceh disebut Serambi Mekkah, maka Gorontalo kerap dijuluki Serambi Madinah. Sejak ditetapkan sebagai provinsi pada 5 Desember 2000, Gorontalo yang berada di wilayah utara pulau Sulawesi, yang bersemboyankan “Aadati hula-hula to Sara’, Sara’ hula-hula to Kuru’ani (Adat bersendikan Syara’, Syara’ bersendikan Al-Quran), memang sangat bernuansa Islami. Berpenduduk mayoritas muslim 96,82 persen, hampir setiap salat 5 waktu yang diwajibkan bagi penganut Islam, Kota Gorontalo bergemuruh oleh suara azan.
Mengenai awal mula nama Gorontalo sendiri, disampaikan Budayawan Gorontalo, Alim Niode, bahwa nama daerah itu sangat erat dengan kondisi geografisnya. Ada berbagai macam versi tentang asal usul nama Gorontalo, dari yang mengatakan berasal dari “Hulontalangio”, yakni nama salah satu kerajaan yang dipersingkat menjadi Hulontalo.
Kemudian dari “Hua lolontalengo” yang artinya orang-orang Gowa yang berjalan lalu lalang. Juga dari “Hulontalangi” yang artinya lembah mulia, dari “Hulua lo tola” yang artinya tempat berkembangnya ikan gabus, “Pongolatalo” atau “Puhulatalo” yang artinya tempat menunggu, Gunung Telu yang artinya tiga buah gunung, dan dari kata “Hunto” yang mengidentifikasikan suatu tempat yang senantiasa digenangi air.
Untuk itulah, terkait penamaan di atas, ada beberapa yang memang cukup identik dengan kondisi geografis Gorontalo, yang mirip belanga raksasa, sebab dulunya Gorontalo masih berupa lautan. Hal itu diperkuat oleh banyaknya renik laut yang terkandung di perbukitan yang mengelilingi Gorontalo.
“Namun saya cenderung sepakat dengan tafsir milik S.R. Nur yang menyebutkan Gorontalo berasal dari kata Huntu dan Langi-langi (Gundukan/perbukitan yang tergenang). Lalu menjadi Hulonthalangi,” katanya belum lama ini.
Sebagai sebuah nama, kata Gorontalo tidak bisa dilacak lebih jauh oleh S.R. Nur, penulis buku Ikilale Lo Bate Walu (Ikrar Delapan Kepala Adat) Kerajaan-Kerajaan Gorontalo (Ujung Pandang, tanpa penerbit, 23 Januari 1992), saat melakukan penelitian tahun 1960.
Namun ada hal menarik menyoal penamaan Gorontalo itu sendiri. Dari banyak literatur sejarah tentang Gorontalo, telah terjadi perubahan ejaan dan pengucapan nama Gorontalo. Yang mula-mula adalah Hulontalo lalu berubah menjadi Horontalo, dan terjadi perubahan lagi menjadi Gorontalo hingga sekarang. Hal tersebut diakibatkan influence dialek dari kolonialis Belanda.
Dituturkan Alim, Belanda tiba di Gorontalo sekitar tahun 1750. Akan tetapi Belanda secara total menguasai Gorontalo pada tahun 1889. Dari literatur pula, diketahui pada tahun 1889, sistem pemerintahan kerajaan dialihkan ke pemerintahan langsung yang dikenal dengan istilah “Rechtatreeks Bestur”. 1911 terjadi lagi perubahan dalam struktur pemerintahan daerah Uduluwo Lo Ulimo Lo PohalaA, yakni lima kerajaan di Gorontalo yang menjadi satu ikatan kekeluargaan yang disebut PohalaA. Di antaranya PolahaA Hulontalo (Gorontalo), Limuttu (Limboto), Bone-Suwawa-Bintauna, Bolango (Boalemo), dan Andagile (Atinggola).
Semuanya disusutkan menjadi tiga Onder Afdeling oleh kolonial Belanda yakni Onder Afdeling Kwandang, Boalemo, dan Gorontalo. 1920 berubah lagi menjadi lima distrik, masing-masing Distrik Kwandang, Limboto, Bone, Gorontalo, dan Boalemo.
Baru pada tahun 1922, Gorontalo ditetapkan menjadi tiga Afdeling lagi, yakni Afdeling Gorontalo, Boalemo, dan Buol. Di rentang waktu itulah mulai terjadi influence nama Gorontalo oleh pengaruh lidah orang Belanda, pada masyarakat kala itu. Hingga pada akhirnya dipelopori Teme Djonu atau yang lebih dikenal Nani Wartabone, pada 23 Januari 1942 Gorontalo menyatakan merdeka atas penjajahan kolonial. Lebih dulu dari negara Indonesia yang baru diproklamirkan kemerdekaannya, pada 17 Agustus 1945. Namun hingga sekarang, nama Gorontalo secara administratif tetap digunakan.
“Tapi penulis-penulis asal Belanda juga tetap menggunakan kata Hulontalo di buku-buku mereka. Seperti J.G.F. Riedel, Richard Tacco, dan Rosenberg. Gorontalo pada lidah orang Belanda sendiri dieja Horontalo, Listening-nya terdengar Hulontalo,” jelasnya.
Namun bisa ditemukan pula buku G.B.X. Rosenberg, contohnya yang berjudul Reistogten in de Afdeling Gorontalo (1865), yang masih menggunakan kata Gorontalo. Sama seperti karangan E.E.W.G Schroden yang berjudul Gorontalosche Woordenlijst (1908). Dalam karangan J. Breukink, Bijdragen tot eene Gorontalo’sche Spraakkunst, yang mengulas tentang fonologi, afiksasi, dan daftar-daftar kata Gorontalo, yang terbit di Den Haag, Belanda. Pun masih menggunakan kata Gorontalo. Menurut Alim, perlu pula membaca buku-buku, atau catatan-catatan itu.
Alim sendiri tidak bisa memastikan kenapa Horontalo akhirnya berubah menjadi Gorontalo secara administratif. Namun dikatakannya, Belanda menuliskan kata “Gorontalo” yang mereka eja menjadi Horontalo, lalu kembali dieja oleh orang Gorontalo sesuai kata “Gorontalo”. Itu yang dituturkan masyarakat lalu menjadi kebiasaan, yang selanjutnya bertahan hingga sekarang.
Adapun mengenai konsonan ‘h’ yang berubah menjadi ‘g’ pada kata Horontalo-Gorontalo, yang jika disepadankan dengan ejaan ‘gulden’ untuk mata uang bahasa Belanda berawalan ‘g’ diucap ‘kh’, yang nantinya secara artikulasi hampir terdengar seperti ‘hulden’. Mu’awal Panji Handoko, Fungsional Umum di Kantor Bahasa Provinsi Gorontalo memiliki pendapat sendiri. Bahwa pengaruh lidah orang Belanda memang ada, sehingga terjadi perubahan konsonan.
“Contohnya marga Hubulo yang berubah menjadi Gobel,” katanya. Sedangkan mengenai dokumen tertulis soal perubahan konsonan ‘h’ ke ‘g’, Handoko tidak bisa memastikan bahwa dokumen itu ada.
Masyarakat Gorontalo minim historiografi tradisional, sebab masyarakatnya dikenal dengan folklore atau budaya tutur semacam tradisi Tanggomo; budaya tutur atau sastra lisannya orang Gorontalo. Meski di beberapa catatan diterangkan sebenarnya masyarakat Gorontalo mengenal sejarah tulisan, dan memiliki aksara Arab Pegon (Arab Gundul) lewat Catatan Buku Tua Gorontalo, karena afiliasi agama Islam yang mulai masuk ke Gorontalo pada tahun 1525. Tapi Gorontalo pun diketahui memiliki aksara lokal yakni aksara Suwawa-Gorontalo.
Namun pada akhirnya kebanyakan yang menulis tentang Gorontalo adalah para penulis asing, khususnya orang Belanda, atau yang lebih dikenal dengan historiografi kolonial.
Salah satu sejarawan dari Universitas Negeri Gorontalo (UNG), Joni Apriyanto mengatakan, pada tahun 2000an saat melakukan wawancara dengan mendiang Prof. Dr. Mansoer Pateda, yang menerbitkan Kamus Bahasa Gorontalo, bahwa Mansoer sepakat menyoal perubahan konsonan dipengaruhi lafal orang Belanda.
“Waktu itu Mansoer masih hidup. Dikatakannya, soal perubahan konsonan ‘h’ menjadi ‘g’, dipengaruhi bahasa Belanda, hingga akhirnya ‘h’ berubah ‘g’ dalam ejaan Gorontalo yang awalnya Horontalo,” terangnya.
Peneliti di Kantor Bahasa Provinsi Gorontalo, Sukardi Gau, pun sepakat bahwa memang hal itu biasa terjadi. Mengenai perubahan konsonan, karena adanya pengaruh dialek orang Belanda, hingga disesuaikan dengan ejaan.
“Itu hal yang biasa. Sering terjadi, apalagi dalam artikulasi. Di samping itu, mungkin pengaruh dialek. Tapi memang dalam catatan beberapa peneliti asing, sering ditulis berbeda,” sampainya.
Meski demikian, dalam buku Mengukuhkan Jati Diri, Dinamika Pembentukan Provinsi Gorontalo 1999-2001 (Yogyakarta, Penerbit Ombak, 2013), yang dikeroyok oleh tiga penulis yakni Basri Amin, Hasanuddin, dan Rustam, dijelaskan bahwa pada tahun 1980, saat Gorontalo masih menjadi bagian wilayah Provinsi Sulawesi Utara (Sulut), Gubernur Sulut kala itu G.H. Mantik mencetuskan konsep kesatuan regional, bagi wilayah-wilayah Sulut dengan slogan “Bohusami”. Bohusami adalah akronim dari empat wilayah kabupaten di Sulut, yang terdiri dari Bolaang Mongondow, Hulontalo, Sangihe-Talaud, dan Minahasa. Dalam akronim itu sendiri, penamaan yang dipakai adalah Hulontalo, bukan Gorontalo. (*)