Saya suka semua genre musik. Asal jangan lagu-lagu di albumnya Pak Esbeye itu. Pokoknya selama lagunya nyaman di kuping, saya akan memasukkannya ke playlist.
Selama tinggal di Jayapura, Papua, beberapa bulan belakangan, kuping saya makin terbiasa dengan dua genre musik. Yang pertama reggae, dan yang kedua hip hop. Kebanyakan lagu-lagu itu karya dari anak-anak lokal. Mungkin karena mereka Melanesia, jadi arus minat musik mereka pun mengarah ke genre yang, para musisi terkenalnya kebanyakan Afro-Amerika.
Dari sinilah, saya pun mulai mengenal grup-grup atau penyanyi hip-hop di tanah Papua, misal DXH Crew, Waena Finest, Phapin MC, dll. Karena biasanya mereka saling kenal, penyanyi hip-hop di luar Papua lainnya seperti Ecko Show asal Gorontalo, yang pernah viral dengan lagu "Kids Jaman Now", pun akhirnya coba saya ikuti di Instagram.
Ecko Show ini sempat saya sukai, karena dia termasuk salah satu rapper yang ikut men-diss Young Lex ketika merendahkan Iwa K, Saykoji, dan beberapa rapper Indonesia lainnya. Bisa dipindai di Youtube, soal seteru mereka ini.
Tapi setelah mengikuti akunnya di Instagram pada Rabu pagi, 4 Juli 2018, ada yang janggal di postingan Instastory-nya Ecko Show. Dia menuliskan kalimat "Lagu sindiran untuk kaum LGBT" di baris atas, dan di bawahnya menyuruh viewers agar menggeser ke atas atau swipe up.
Nah, setelah saya geser dengan jempol yang gatal penasaran, saya langsung dihantar ke laman Youtube. Jadi si rapper ini baru saja merilis lagu bersama Vita Alvia, berjudul Aisyah Jatuh Cinta Pada Jamilah. Ya, lagu yang populer karena aplikasi Tik Tok yang baru saja diblokir Kominfo ini, di-remake lagi dengan versinya.
Saya bisa langsung menebak, alasan kenapa ia menyebut lagu ini untuk menyindir kaum LGBT, dari judulnya: Aisyah Jatuh Cinta Pada Jamilah. Karena sebulan yang lalu, sebelum tahu lagu Ecko Show ini, saya pernah membuat status begini, "Suka berteriak anti-LGBT tapi main Tik Tok pakai lagu Aisyah Jatuh Cinta Pada Jamilah."
Status saya itu sebenarnya untuk menyasar orang-orang yang homophobia, tapi tanpa sadar bermain Tik Tok dengan lagu itu. Kendati sebenarnya di lirik asli lagu tersebut, di antara Aisyah dan Jamilah, ada kata: Bojoku, yang memang nyaris tak terdengar.
Jadi, sebenarnya lirik lagunya itu begini: Aisyah, bojoku jatuh cinta pada Jamilah. Seperti ada seorang perempuan yang tengah curhat kepada Aisyah, dan memberitahu bahwa pacarnya ketahuan jatuh cinta kepada Jamilah. Ribet juga sih. Meski ada juga versi lagu yang tanpa menyebut kata: Bojoku, mirip lagunya Ecko Show ini.
Tapi bukan itu saja yang membuat saya segera meng-unfollow akun Instagramnya di hari yang sama saya mem-follownya, tapi karena beberapa bait lirik dalam lagu itu, yang saya anggap diskriminatif.
Misalnya dalam bait berikut ini:
A a a a a a Aisyah
Ku jatuh cinta
Pa pa pa pada Jamilah
Loh kok sama wanita
Kau memang menawan
Tapi kau menipu lawan (Yeah)
Tak habis pikiran
Kau suka sesama kawan (Yeah)
Perilaku menyimpang
Anti kawin silang (Yeah)
Dulu dan sekarang
Tak kunjung menghilang
Semakin maju teknologi
Semua bisa di akali
Kelamin bisa di operasi
Anak pun tinggal di adopsi
Pelaku tak dipenjara
Alasan bukan pidana
Malunya taru dimana
Seolah ini budaya
Bayangkan ketika komunitas LGBT di Indonesia tengah menghadapi diskriminasi di mana-mana, lantas orang-orang seperti Ecko Show ini, yang jelas saja memiliki basis penggemar, ikut membikin arus besar untuk memarginalkan mereka?
Jika Ecko terinspirasi dengan beberapa rapper Afro-Amerika yang pernah atau masih homophobia, tentu saja Ecko salah besar. Ecko mungkin tidak tahu, bahwa empati terhadap LGBT di luar sana semakin tinggi.
Contohnya belum lama ini, rapper terkenal asal Amerika, Offset, dalam lagunya bersama YFN Lucci berjudul "Boss Life", meminta maaf karena liriknya dianggap menyinggung LGBTQ. Seperti ini liriknya: "Pinky ring crystal clear, 40k spent on a private Lear/ 60k solitaire/ I cannot vibe with queers." Offset mengaku tidak bermaksud menyinggung, karena Queer juga bisa berarti aneh.
Queer ialah istilah yang merujuk kepada lesbian, gay, biseksual, dan kadang-kadang juga transgender. Istilah ini menjadi kontroversial, dan sebagian LGBT menolak penggunaannya. Sebab kata Queer, sejak abad ke-16 mulai digunakan di Inggris untuk menggambarkan orang-orang aneh. Queer lantas menjadi gay slur atau cercaan terhadap mereka yang LGBT, pada abad ke-20 di Amerika.
Seiring waktu, karena semakin gencarnya kampanye soal hak-hak hidup LGBT, penggunaan Queer yang berkonotasi negatif mulai hilang. Queer berganti menjadi istilah yang positif, yang bahkan ikut mengkategorikan orang-orang yang berpendapat bahwa orientasi seksual, seks, dan gender tak perlu pengkotak-kotakan, sebagai Queer.
Daripada cari urusan seperti rapper itu, mending pantengin saja Kendrick Lamar, satu-satunya rapper yang meraih Pulitzer Prize kategori musik periode 2018, atas debut album DAMN (2017). Kendrick cukup cerdas menggambarkan kompleksitas kehidupan masyarakat Afrika-Amerika.
Urusan Ecko Show, saya jadi menyesal tahu cara berpikirnya masih bengkok begitu. Sebenarnya saya yang berasal dari Manado, dan pernah tinggal lama di Gorontalo, ingin agar musisi dari Timur seperti kalian bisa tenar. Ingin agar lagu-lagu hip-hop kalian sarat makna dan bergizi, tak berisi caci maki terhadap minoritas.
Mungkin, Ecko harus mendengar lagu-lagu hip-hop dari Rand Slam di album Rimajinasi. Ia rapper asal Jayapura yang sekarang menetap di Bandung. Ada juga Joe Million asal Waena Kampung, Jayapura, yang kini juga berkarir di ibu kota. Dengarkan lagu mereka, yang kaya rima apik, tanpa perlu memarginalkan kelompok tertentu. Atau lagu-lagunya Pangalo! Di album HURJE! Maka Merapallah Zarathustra, MC dari Tanah Batak. Atau Maderodog, dan yang paling legend itu ada Homicide. Mereka menulis lirik-lirik yang ajaib dan menginspirasi perlawanan. Lagu-lagu hip-hop seperti itu akan menjadi legenda.
Jadi, buat Ecko Show yang super-rapper-gaul dan kids-jaman-now, jika kali ini mungkin kau salah melangkah, kau harus belajar lagi: how homophobia destroyed a rap legend's career.
No comments :
Post a Comment