Beberapa warga Desa Bangga sedang menyiapkan bahan-bahan untuk ritual Dayango. - Sigidad |
Daun woka atau yang lebih
dikenal busung Sulawesi menggunung di lantai rumah. Lima ujung bambu,
menjorok masuk melalui jendela. Pada setiap ujung bambu, berjumbai
daun woka, kain putih dan merah,
dan bermacam-macam dedaunan.
Sebagian warga Desa Bangga, Kecamatan Paguyaman Pantai, Kabupaten Boalemo, Provinsi Gorontalo, pada Kamis pagi (5/10/2017), berkumpul di salah satu rumah warga untuk menyiapkan bahan-bahan ritual.
"Kami
akan mengadakan ritual Dayango. Ini sebenarnya seperti kepercayaan
leluhur kami dulu," kata Riko Abjul (52), dengan bahasa
Gorontalo kental. Hampir semua warga di Desa Bangga terbiasa
menggunakan bahasa lokal.
Pria
itu dipercayai mengkoordinir pelaksanaan ritual Dayango, Selain
bahan-bahan di atas, di lantai telah tersedia hampir 50 lintingan
rokok berbahan daun aren berisi tembakau, serta bahan-bahan keperluan
lainnya.
Tampak,
di genggaman salah seorang perempuan paruh baya, ada seekor ayam
pipit berwarna putih. "Itu untuk keperluan ritual juga,"
kata Riko.
Menurutnya,
semua perlengkapan ritual, disiapkan sehari sebelumnya. Sementara
biaya membeli keperluan ritual atas swadaya warga. Jumlah biaya
menurut Riko, sekitar Rp 500 ribu. Terbilang kecil, sebab ritual kali
ini hanya digelar sehari.
Tujuan
dilaksanakannya ritual kali ini, kata Riko, hanya untuk berkomunikasi
dengan makhluk gaib di sekitar lahan berupa rawa yang baru saja
diuruk. Lokasi yang ditimbun tersebut, diharapkan tidak mengakibatkan
malapetaka bagi warga. Selain itu, warga yang rata-rata berprofesi
sebagai nelayan, meminta agar hasil tangkapan mereka melimpah. Alasan
terakhir, juga untuk mengobati beberapa warga yang mengaku sakit.
Menjelang
sore, Riko menyuruh beberapa orang pergi menancapkan empat ujung
bambu dengan kain merah di laut, dan dua ujung bambu berbendera putih
di darat. "Satu ujung bambu yang paling besar dan tinggi dengan
bendera putih, sebagai tiang utama. Itu ditancapkan di lokasi
ritual," jelas Riko.
Dalam
ritual Dayango, pemimpin ritual disebut Wombuwa. Para Wombuwa
diyakini memiliki kemampuan berkomunikasi dengan makhluk di alam
gaib. Hari itu ada tiga Wombuwa yang akan memimpin ritual, di
antaranya Deni Polutu (65) dan Rahim Makore (63) dari Desa Bangga,
juga Kahudu Dama (62) dari desa tetangga, Desa Bubaa.
"Sudah
sejak lima tahun lalu, tempat ini dipilih sebagai tiang utama. Dulu
tempatnya di hutan bakau," kata Wombuwa Rahim.
Sebelum
hari gelap, Wombuwa Deni, memantrai tiang utama. Warga mulai
mengerumuni lokasi lubang galian di mana tiang utama akan
ditancapkan. Setelah ditancapkan, semua perlengkapan ritual dihampar
di sekeliling tiang.
Tak
berselang lama, Wombuwa Kahudu, memantrai ayam pipit kemudian
diletakkan di dalam tempurung bertangkup. Setelah itu, ayam pipitnya
dikubur hidup-hidup.
"Jika
kampung ini bermasalah, teriakan roh ayam pipit akan terdengar dari
ujung tiang," katanya.
Ia
mengatakan, mantra yang digunakan selama Dayango, menggunakan bahasa
Gorontalo. Selain itu, mantra hanya dibaca dalam hati. Bait-bait
mantra tidak boleh disebutkan artinya. Hanya para Wombuwa yang tahu
bacaan mantra.
Sekitar
pukul 7 malam, setelah salat Isya, warga semakin banyak berdatangan
di lokasi ritual. Tampak purnama naik perlahan dari permukaan laut.
Di lokasi ritual pun telah diberi lampu penerangan.
Tiga
Wombuwa itu, kembali memimpin ritual. Dua orang pria lainnya, dengan
ikat kepala merah dan putih, masuk ke tengah-tengah pelaksanaan
ritual, dengan satu rumbai daun woka di masing-masing genggaman.
Orang-orang yang mengitari lokasi, diminta agar tidak memunggungi
lautan. Sebab itu jalan masuk makhluk gaib dari arah lautan.
Ritual Dayango sedang berlangsung. - Sigidad |
Lengkingan
nyanyian ibu-ibu terdengar. Bau kemenyan menyengat. Ketiga pria yang
memegang daun woka, mulai menjerit dan menari-nari. Sesekali salah
seorang pria mendekati para Wombuwa.
Selain
kedua pria itu, Wombuwa Kahudu yang mengenakan pakaian dan ikat
kepala merah, pun ikut menari. Selama berjam-jam mereka menari tanpa
henti.
Sekitar
pukul 10 malam, ritual dipindahkan ke rumah warga yang dipakai
menyiapkan keperluan sejak sore. Satu per satu warga mulai bergantian
dirasuki. Wombuwa menemani mereka yang kerasukan berjalan dari depan
rumah, menuju tiang utama yang hanya berjarak 10 meter.
Di
dalam rumah, pria-pria yang kerasukan tadi mulai diminta beberapa
orang warga, untuk mengobati penyakit mereka. "Biasanya penyakit
yang tak kunjung sembuh dengan perawatan medis, bisa sembuh ketika
Dayango. Tapi bukan penyakit-penyakit berat seperti kanker atau
tumor," jelas Wombuwa Rahim.
Salah
seorang perempuan yang baru saja diobati, Neli Makore (27), mengaku
mengalami sakit di bagian kaki. Setelah dipijat oleh salah seorang
yang dirasuki, sakitnya per lahan hilang. "Biasanya ibu-ibu yang
mengeluh sakit kaki, ada yang sudah berobat ke Puskesmas di
Kecamatan, tapi masih saja sakit. Saya juga begitu. Tapi saat diobat
tadi, sakitnya mulai hilang," akunya.
Di
Desa Bangga memang tidak tersedia Puskesmas. Hanya ada dua orang
bidan yang menetap di desa. Jika hendak berobat, warga harus menuju
kecamatan.
Kepala
Desa Bangga, atau biasa disebut Ayahanda, Mansur Dama (43),
mengatakan ritual adat Dayango hampir setiap tahun dilaksanakan di
desanya. Ia mengusulkan pula, agar Dayango diperhatikan pemerintah,
sebab ritual ini bisa menarik kunjungan wisatawan.
"Desa
Bangga ini, selain produksi ikan Rowa (sejenis ikan laut yang
diasapi) yang cukup dikenal, juga memiliki kekayaan budaya seperti
Dayango. Pemerintah harus memperhatikan ini agar bisa menjadi desa
pariwisata," sampainya.
Ayahanda
Mansur yang sudah memimpin Desa Bangga sejak 2013 ini, juga prihatin
dengan kondisi akses jalan menuju desanya yang rusak parah.
"Di
sini selain kesulitan air, jalannya juga rusak parah dan belum
diaspal. Jadi akses ke sini susah. Anak-anak saja ada yang jalan kaki
sejauh tiga kilometer menuju sekolah," katanya.
Desa
Bangga yang berpantai pasir putih dan berpenduduk sekitar 360 jiwa
ini, hanya memiliki satu sekolah dasar. Sementara sekolah menengah
pertama dan atas, berada di desa tetangga, yang harus ditempuh dengan
perahu, motor, atau jalan kaki.
Malam
itu, Mansur menemani warganya melaksanakan Dayango hingga larut
malam. Sebelum azan Subuh, ia lantas pamit kepada para Wombuwa dan
warga lain yang masih melanjutkan ritual hingga pagi hari.
“Nanti
pagi datang lagi, sebab itu adalah acara puncak,” katanya sebelum
meninggalkan lokasi ritual.
Sekitar
pukul 7 pagi, warga kembali mengerumuni lokasi ritual. Tari-tarian
sudah berhenti. Pagi ini, selain melarung beberapa sesajen di laut,
ada pula ritual membersihkan benda-benda berupa jimat milik Wombuwa.
Ini menjadi puncak ritual Dayango.
Semua
benda yang dibungkus menggunakan sapu tangan lusuh, dihamburkan di
dalam ember air. Posisi jimat yang berserakan di dalam ember,
mengisyaratkan gejala-gejala alam yang akan terjadi ke depan.
"Nanti
air rendaman jimat bisa dibasuhkan dan diminum. Dengan memohon agar
terhindar dari marabahaya, juga berbagai macam penyakit," kata
Wombuwa Kahudu.
Teni
Mahmud (35), salah seorang warga yang kerasukan sejak dimulainya
Dayango, hingga pagi hari, masih terlihat bugar pagi itu. Ia mengaku
sudah terbiasa mengikuti ritual. Selama kerasukan, ia juga bisa
mengontrol agar kondisinya tetap sadar, kendati sesekali ia merasa
tak mampu lagi mengontrol keadaan.
"Bagi
yang belum biasa, paginya pasti lelah. Saya sejak remaja telah
terbiasa dirasuki," katanya.
Teni
pagi itu, juga bertugas melarung sesajen. Setelah sesajen berupa
beras lima warna ditabur di beberapa sudut lautan, selesailah semua
rangkaian ritual Dayango.
Wombuwa Rahim sedang mencuci jimat. - Sigidad |
Setelah
membasuh dan memantrai beberapa warga, Wombuwa Rahim menceritakan
tentang nasib ritual Dayango kelak. Ia meski pesimis, masih berharap
agar Dayango yang kebanyakan pelaksanaannya hanya di beberapa desa,
termasuk Desa Bangga, bisa diwariskan ke generasi.
"Harus
ada Wombuwa yang memimpin ritual ini. Tapi menjadi Wombuwa, harus
orang yang lurus hatinya dan lemah lembut perangainya. Ini saja, kami
yang sudah tua, belum memiliki pengganti," katanya.
Pagi
itu, Jumat (6/10/2017), warga Desa Bangga kembali pergi melaut. Warga
Desa Bubaa yang sempat hadir bersama Wombuwa Kahudu, juga pamit
kembali ke desanya. Dari kejauhan, bendera putih di pucuk tiang utama
tampak berkibar di langit pagi yang biru.
Ditemui di rumahnya di Jalan Rambutan, Dungingi, Kota Gorontalo, Minggu
(3/12/2017), salah satu periset terkait tradisi Dayango, Ipong Niaga
(36), mengatakan Dayango memang tergolong agama lokal orang Gorontalo
kuno sejak ratusan tahun lalu, sebelum Islam masuk (1525 Masehi) di
Gorontalo, kemudian disusul agama lainnya.
“Jadi
itu bukan animisme. Saya menyebut itu agama. Dayango berinteraksi
juga dengan Tuhan, yang mereka sebut Sang Eya, lewat proses
pemanggilan atau motiyango
roh-roh yang diberi nama Latti,
yang bertugas merawat alam semesta, memelihara tanaman, dan mengobati
penyakit yang menyerang makhluk hidup. Dan Wombuwa ialah
perantaranya,” kata pria Jawa yang lahir di Jakarta dan menjadi
pengajar di Universitas Negeri Gorontalo (UNG) itu.
Menurutnya,
Dayango termasuk agama lokal yang belum mengenal konsep moral, murni
hubungan manusia dengan Tuhannya.
Asal
penamaan Dayango pun, kata dia, diambil juga dari istilah motiyango,
yaitu bermula dari kata daya-daya
yang diartikan
perjanjian, dan da yang
berarti suatu tempat.
“Daya-dayadamotiyango,
berarti memanggil sesuatu dengan maksud untuk memenuhi janji di suatu
tempat,” jelas Ipong, yang pada akhir 2014 lalu, diangkat sebagai
Kepala Jurusan Pendidikan Sendratasik, Fakultas Sastra dan Budaya,
UNG.
Selain
itu, Ipong menilai pelaksanaan Dayango cukup rasional, sebab bagi
mereka yang tidak mengerti ilmu perbintangan, maka pelaksanaan
Dayango menjadi sia-sia.
“Para
Wombuwa pandai membaca rasi bintang. Gejala alam bisa mereka prediksi
dari perbintangan. Jadi sebenarnya mereka paham kosmologi,”
katanya.
Medio
1970an, kata Ipong, sempat ada pelarangan keras terhadap ritual ini,
baik dari pemerintah dan aparat keamanan. Ia sempat bertanya kepada
salah satu kepala desa dan camat di Kecamatan Bongomeme, Gorontalo,
yang menceritakan pelarangan terjadi sebab Orde Baru saat itu anti
terhadap hal-hal yang jauh dari ketentuan agama.
“Dikait-kaitkan
dengan kasus 1965. Padahal tidak ada relevansinya antara ideologi
komunis dengan ritual Dayango. Saya pikir itu hanya bias saja,”
katanya.
Setelah
itu, pelarangan biasanya terjadi sebab ketika ritual Dayango yang
diadakan begitu semarak semacam pasar malam, dan beberapa orang kerap
mabuk lantas terjadi kericuhan.
Ipong
mengaku, salah satu buku hasil risetnya tentang Dayango pada 2013
lalu, berjudul Masalah-Masalah
Budaya, menjadi
rujukan ketika pengajuan ke Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan,
agar Dayango menjadi salah satu warisan budaya tak benda.
“Saya
juga bersama tiga orang teman, membuat film dokumenternya berjudul
Ritual Dayango,
2013 lalu. Bisa dicari di youtube,”
katanya.
Dilansir
dari website resmi kemdikbud.go.id,
pada rapat koordinasi I, 28-30 Maret 2016, Kementerian Pendidikan dan
Kebudayaan melalui Direktorat Warisan dan Diplomasi Budaya,
Direktorat Jenderal Kebudayaan, menerima sebanyak 474 usulan karya
budaya, untuk menjadi warisan budaya tak benda.
Semua
hasil karya budaya tersebut, diseleksi lagi oleh tim ahli karya
budaya, dengan beberapa persyaratan yang telah ditentukan, berupa
kelengkapan data pendukung seperti adanya foto, video serta kajian
akademis.
Melalui
seleksi administrasi dan berlanjut pada rapat koordiansi ke II, 19-21
April 2016, hanya 270 karya budaya yang berhasil lolos. Selanjutnya,
pada rapat koordinasi ke III, tersaring 150 karya budaya yang layak
disidangkan pada penetapan warisan budaya tak benda Indonesia, tahun
2016.
Berada
pada urutan ke-130, Dayango akhirnya ditetapkan sebagai salah satu
warisan budaya tak benda Indonesia, dari Provinsi Gorontalo, selain
tradisi dan ekspresi lisan Lohidu pada urutan ke-128, Tahuli yang
juga tradisi dan ekspresi lisan di urutan ke-129, berikut seni
pertunjukan Langga di posisi ke-131, dan yang terakhir di posisi 132,
Binte Biluhuta termasuk dalam kategori kemahiran dan kerajinan
tradisional. (*)
No comments :
Post a Comment