Seorang kerabat mengantar saya ke Bandara Sam Ratulangi Manado, enam tahun silam. Ia menjelaskan langkah-langkah apa saja ketika berada di bandara.
"Nanti, setelah kau menunjukkan KTP dan tiket, masuk dan lewati pemeriksaan barang," kata Donni.
Selanjutnya ia menunjuk, tempat saya harus kembali menunjukkan KTP dan tiket, untuk mencetak boarding pass.
"Baru naik ke lantai dua, di sana tunggu panggilan sesuai nomor pesawat."
Saya berpamitan. Kemudian melambaikan tangan ketika memasuki ruang keberangkatan. Ia tampak masih mengawasi saya dari kejauhan. Memastikan apakah saya mendengar instruksinya. Setelah mencetak boarding pass, saya menoleh ke belakang dan masih menemukannya di sana.
Sampai di ruang tunggu, saya tak menemui kendala. Tak lama kemudian para penumpang dipanggil. Setelah memastikan itu nomor pesawatnya, saya mengekori orang-orang. Tiba di dalam pesawat, saya segera mencari kursi sesuai nomor, yang kebetulan tepat berada di samping jendela.
Sabuk pengaman saya pasang. Ponsel Blackberry saya matikan. Semua instruksi pramugari saya ikuti. Kemudian pesawat tinggal landas. Dada saya seperti ditekan sebongkah batu.
Saya bukan seorang high phobia atau takut ketinggian. Tapi sebelum saya terbang kali pertama itu menuju Makassar, saya hampir lima bulan hanya berdiam di kamar. Saya jatuh dari lantai dua gedung MCC Manado. Tulang pinggul dan paha saya retak. Dari kejadian itu, terbang perdana ini tentu membutuhkan keberanian.
Tapi, semua kecemasan itu sirna, ketika hamparan Kota Manado terlihat di bawah sana. Gedung-gedung, pepohonan, dan jalan-jalan mengecil. Gumpalan awan seperti perbukitan salju yang seolah-olah bisa dipijaki. Laut begitu biru dan menyatu dengan langit. Dari dalam, hanya deru pesawat terdengar. Tapi saya bisa merasakan ketenangan di luar sana.
Namun saya kembali cemas karena mengingat perkataan kerabat saya...
"Terbang dengan pesawat, seperti kita telah menyerahkan nyawa, dan kita pun diminta membayar."
Saya coba merenungkan kalimat itu. Ia benar, karena dari semua jenis kendaraan yang bisa membuat kita berpindah tempat, pesawat satu-satunya yang memiliki risiko paling tinggi. Kendaraan roda dua dan empat, atau kereta api, semuanya masih berpijak di daratan. Tapi pesawat, ia di udara. Satu-satunya tempat paling tidak aman, bagi makhluk yang tidak memiliki sayap seperti manusia. Mungkin itu pula kenapa ada ucapan: safe flight.
Baru-baru ini, Minggu, 28 Oktober 2018, saya terbang dari Makassar menuju Jayapura. Sebelumnya, siangnya saya sempat bercakap-cakap dengan kawan-kawan di Asrama Bogani. Kami membicarakan tentang: terbang.
Masing-masing dari kami menceritakan pengalaman ketika naik pesawat. Hampir semuanya sama. Perjalanan dari Manado ke Makassar atau sebaliknya, pasti pesawat akan melewati bagian udara Celebes yang tak bersahabat. Ada satu rute ketika melewati kawasan udara Sulawesi Barat dan Tengah, yang kerap membuat pesawat berguncang.
Konon, di lokasi itulah pesawat Adam Air DHI 574 hilang pada 1 Januari 2007 silam. Pesawat itu tinggal landas dari Bandara Juanda Surabaya, hendak menuju Bandara Sam Ratulangi Manado. Tapi pesawat itu putus kontak dengan pengatur lalu-lintas udara Bandara Hasanuddin Makassar. Baru setelah delapan bulan kemudian, pesawat itu diduga jatuh di Perairan Majene, Sulawesi Barat, berdasarkan penemuan kotak hitam di Perairan Majene pada 27 Agustus 2007.
Saya pernah mengalami penerbangan yang tak mulus itu ketika pulang menuju Manado dari Bali. Pesawat kami transit di Makassar. Setelah bertolak menuju Manado, tepat di rute yang sama itu, pesawat harus menembus awan tebal nan gelap. Pesawat berguncang hebat. Lampu di dalam pesawat dipadamkan dan jendela harus dibiarkan terbuka. Dari jendela yang buram oleh hujan, saya melihat petir berkali-kali. Beberapa penumpang merapal doa.
Hampir dua puluh menit jantung kami copot. Jantung berhasil kembali ke tempat semula setelah kami melihat sinar matahari. Tapi hanya belasan menit, kami kembali menemui cuaca buruk. Sekali lagi, doa-doa terdengar.
Pesawat akhirnya berhasil sampai di Manado. Meski di Manado pun pesawat itu harus mengitari langit kota beberapa kali, sebab bandara tertutup awan. Tapi pesawat akhirnya bisa mendarat dengan selamat. Ketika roda pesawat membentur daratan, dosa-dosa yang membayang selama di udara, sekejap sirna.
Di wilayah Papua, bagi yang sering menuju Timika pasti sering menemui cuaca buruk ketika akan mendarat. Saya dua kali hinggap di Bandara Mozes Kilangin Timika, dengan dada berdebar-debar. Tapi bagi kawan-kawan Papua, pengalaman seperti itu tak sebanding ketika naik pesawat perintis. Dan silakan memindai di internet, akan kita temui banyak kasus kecelakaan pesawat perintis di Papua.
Kemarin, satu lagi kasus kecelakaan pesawat. Kali ini menimpa maskapai penerbangan yang paling saya hindari. Lion Air memang maskapai yang memiliki rekam jejak penerbangan yang buruk. Baik dari keamanan dan pelayanan. Apalagi ketika buku-buku di dalam keril saya, pernah basah gara-gara maskapai ini.
Ketika berada di udara, saya pernah terbayang pesawat yang saya tumpangi jatuh ke samudra. Bayangan seperti itu tidak begitu saja hadir. Tapi ia berasal dari kecemasan. Meski saya coba membayangkan bahwa air bisa menyelamatkan. Dan ternyata tidak. Sebab ketika pesawat kehilangan kontrol kemudian jatuh ke lautan, maka tak ada bedanya lagi antara daratan dan lautan.
Turut berduka cita bagi para korban. Semoga keluarga yang ditinggalkan diberi kekuatan.
Jalan pulang memang seringkali berbeda...