Tiada satu pun yang mampu melukiskan Sigi dengan kata-kata yang begitu indah, selain lelaki ini. Aku berkali-kali membaca imajinasinya tentang Sigi dalam bentuk puisi, cerita pendek, atau novel yang masih belum selesai.
Banjir bandang menerjang Manado, 15 Januari 2014. Kampung Arab tempat tinggalnya, tiada luput dari bah. Bundelan berisi tulisan tentang Sigi, menjelma menjadi lumpur dingin. Komputer jinjingnya pun beku. Tapi ia kembali menulis tentang Sigi.
"Cukup melihat foto Sigi, aku sudah bisa melanjutkan tulisan tentangnya," kata lelaki itu.
Aku takzim memanggilnya Ayah Amato. Ini serupa panggilan yang keluar dari mulut mungilnya Sigi. Seperti yang pernah ia utarakan: Sigi adalah putriku yang diculik takdir. Saat itu, aku tidak mengerti apa maksud kalimat Ayah itu. Ia dikaruniai dua orang putra. Abang dan Ateng. Tapi mungkinkah sesederhana itu, jika Ayah hanya ingin seorang anak perempuan, sampai menyebut Sigi ialah putrinya?
Sampai pada suatu malam, sebuah tulisan panjang tentang Sigi merayap ke keranjang pesanku. Aku menadaburkan. Lalu aku mafhum, setiap penulis membutuhkan suluh untuk menerangi jalan penanya. Sigi yang dalam artiannya pun suluh atau obor, adalah cahaya yang memilihnya. Bukan sebaliknya.
Jumat, 19 Oktober 2018, dua orang kawan di Padepokan Puisi Amato Assagaf di Manado mengabariku. Ayah masuk rumah sakit. Salah satu kawan menautkan foto di media sosial. Satu kawan lagi mengirimi pesan. Aku lama melihat foto itu. Salah satu tangannya meraba lambung. Tapi tak bisa kuterka, apakah itu sakit yang sedang ia khidmati. Sebab ia tersenyum.
Ayah baru saja merayakan hari raya usia padepokannya, Sabtu 22 September 2018. Aku melihatnya begitu bahagia, diitari anak-anak padepokan yang kerap setia menemaninya. Ada banyak orang yang mencintainya. Sebab ia selalu menebar pengetahuan yang menjunjung langit pikir.
Malam ini, aku tak sengaja melihat video dari akun Instagram padepokan. Video rekaman Insta Story itu melintas begitu saja, berdesak-desakan dengan ratusan akun. Apa yang ada di sana, hanya seperti versi gerak dari foto yang dikirim kawan lima hari yang lalu. Gesturnya pun serupa. Tangannya masih meraba lambung. Istrinya mengelus-elus telapak kakinya yang bersila tak sempurna. Tapi kali ini, Ayah sedang tidak tersenyum.
Tak ada yang bisa aku utarakan mengenai sakitmu. Sebab Ayah banyak mengajarkan kami anak-anak padepokan, bagaimana cara memuliakan setiap rasa sakit.
Aku yakin Ayah baik-baik saja...
Banjir bandang menerjang Manado, 15 Januari 2014. Kampung Arab tempat tinggalnya, tiada luput dari bah. Bundelan berisi tulisan tentang Sigi, menjelma menjadi lumpur dingin. Komputer jinjingnya pun beku. Tapi ia kembali menulis tentang Sigi.
"Cukup melihat foto Sigi, aku sudah bisa melanjutkan tulisan tentangnya," kata lelaki itu.
Aku takzim memanggilnya Ayah Amato. Ini serupa panggilan yang keluar dari mulut mungilnya Sigi. Seperti yang pernah ia utarakan: Sigi adalah putriku yang diculik takdir. Saat itu, aku tidak mengerti apa maksud kalimat Ayah itu. Ia dikaruniai dua orang putra. Abang dan Ateng. Tapi mungkinkah sesederhana itu, jika Ayah hanya ingin seorang anak perempuan, sampai menyebut Sigi ialah putrinya?
Sampai pada suatu malam, sebuah tulisan panjang tentang Sigi merayap ke keranjang pesanku. Aku menadaburkan. Lalu aku mafhum, setiap penulis membutuhkan suluh untuk menerangi jalan penanya. Sigi yang dalam artiannya pun suluh atau obor, adalah cahaya yang memilihnya. Bukan sebaliknya.
Jumat, 19 Oktober 2018, dua orang kawan di Padepokan Puisi Amato Assagaf di Manado mengabariku. Ayah masuk rumah sakit. Salah satu kawan menautkan foto di media sosial. Satu kawan lagi mengirimi pesan. Aku lama melihat foto itu. Salah satu tangannya meraba lambung. Tapi tak bisa kuterka, apakah itu sakit yang sedang ia khidmati. Sebab ia tersenyum.
Ayah baru saja merayakan hari raya usia padepokannya, Sabtu 22 September 2018. Aku melihatnya begitu bahagia, diitari anak-anak padepokan yang kerap setia menemaninya. Ada banyak orang yang mencintainya. Sebab ia selalu menebar pengetahuan yang menjunjung langit pikir.
Malam ini, aku tak sengaja melihat video dari akun Instagram padepokan. Video rekaman Insta Story itu melintas begitu saja, berdesak-desakan dengan ratusan akun. Apa yang ada di sana, hanya seperti versi gerak dari foto yang dikirim kawan lima hari yang lalu. Gesturnya pun serupa. Tangannya masih meraba lambung. Istrinya mengelus-elus telapak kakinya yang bersila tak sempurna. Tapi kali ini, Ayah sedang tidak tersenyum.
Tak ada yang bisa aku utarakan mengenai sakitmu. Sebab Ayah banyak mengajarkan kami anak-anak padepokan, bagaimana cara memuliakan setiap rasa sakit.
Aku yakin Ayah baik-baik saja...
No comments :
Post a Comment