Aku terbangun dengan terheran-heran. Kenapa aku berada di ruangan 3 x 3 meter ini? Tadinya aku tengah berada di sebuah ngarai yang indah. Kemudian aku sadar, ngarai itu hanyalah mimpi, sementara kamar ini nyata.
Ponsel di sebelah bantal segera kuraih. Penanda tanggal kuperhatikan, Rabu 7 November 2018, menjelang peralihan hari. Aku lekas mencatat mimpi ini sebelum lupa. Sembari terus mengingat perca demi perca.
*
Suasana desa menyergap. Ada masjid yang di sampingnya bermenara tinggi. Aku berada di belakang masjid. Tapi aku bukan mau sembahyang. Malah di tanganku ada senjata laras panjang. Tiba-tiba desingan peluru terdengar. Dua orang yang tampaknya kawan namun mereka tak kukenali, memberi aba-aba agar aku merunduk sambil mengikuti mereka.
Kami dengan gaya senyap-senyap menuju menara masjid. Suara tembakan datang dari berbagai arah. Seorang kawan tertembus peluru. Aku dan kawan satunya lagi, coba menolongnya. Tapi nafasnya berhenti. Dadanya mekar berdarah.
Segera kami melompati pagar masjid, melewati halaman sebuah rumah yang cukup aku kenali. Ini rumahnya Bedewin, kawan baikku yang telah berpulang.
Aku masih terheran-heran dan sempat membatin: kenapa di desaku terjadi perang?
Di seberang rumah, ada lagi tiga orang bersenjata yang juga sepertinya kawan, terus menembaki tentara di tanah lapang. Aku samar mengenali para tentara dari seragamnya. Mereka banyak. Tiga orang itu kemudian berlarian ke arah kebun belakang. Aku dan lelaki yang masih belum kukenali itu, segera mengikuti mereka. Puluhan tentara menyusul kami dengan rentetan peluru.
Di kebun belakang itu kami terpisah. Aku terus berlari di antara semak belukar. Peluru-peluru merobek dedaunan. Terasa pahaku seperti baru saja dilewati satu dua peluru. Jauh berlari, masih terdengar derap sepatu para tentara. Aku kelelahan dan pasrah. Tiba-tiba, dari semak-semak muncul seorang lelaki berkulit gelap. Tubuhnya setengah telanjang penuh coretan putih. Ia orang Papua.
Tak berlama-lama, lelaki itu menarik tanganku. Ia seperti menguasai medan kebun belakang itu, yang tiba-tiba saja berubah menjadi hutan belantara. Suara-suara tentara tak lagi terdengar. Kami sampai di sebuah ngarai yang dipenuhi pepohonan rindang menjulang di bawahnya. Ia mengajakku menuruni jalan setapak di balik rimbun dedaunan.
Cahaya matahari tiada mampu menembus lebatnya dedaunan. Sepertinya dedaunan itu dari cecabang pepohonan di bawah sana. Aku dituntunnya, sampai ke ujung setapak. Ketika ia menyibak dedaunan, apa yang ada di depan mataku adalah pemandangan yang tiada pernah aku saksikan seumur hidup.
Seorang mama tengah mencuci sayur mayur di anak sungai, ditemani dua bocah lelaki. Mereka tersenyum. Jemari mama itu menunjuk apa yang ada di belakangku. Aku terperangah. Di depanku ada air terjun tengah menjulurkan lidahnya yang membuih. Air terjun itu kira-kira setinggi pohon kelapa.
Ketakjubanku terhenti ketika lelaki itu memberi isyarat agar mengikutiku. Aku beranjak sambil melempar senyum kepada mama dan dua bocah itu. Hanya berjalan sekian meter, telah nampak beberapa honai. Sebuah pohon besar, berada di tengah-tengah kampung itu. Di atas pohon ada sebuah gubuk bertengger. Anak-anak tangga dari akar berjuntai dari gubuk ke tanah.
Aku sempat bertanya kepada lelaki itu, "Kalian tinggal di sini sudah lama?"
Anggukannya menandakan ia paham dengan perkataanku.
"Ada berapa orang kalian di sini?" Aku ingin memastikan apakah ia bisa berbahasa yang sama denganku, dengan melemparkan pertanyaan yang tak harus dijawabnya dengan anggukan atau gelengan kepala.
"Sekitar dua ratus orang," katanya.
Aku lega, sebab kami bisa berkomunikasi lebih banyak lagi.
"Apa nama kampung kalian?"
Ia menyebut nama yang terdiri dari dua suku kata, tapi aku sukar mengingatnya. Sepintas itu dari bahasa daerah. Menurutnya, kampungnya ini tidak diketahui orang-orang luar. Selanjutnya aku tak bertanya lagi. Aku kembali mengagumi kampung ini. Anehnya, kampung ini ternyata hanya berada tepat di kebun belakang di desaku.
Aku berlari-larian memasuki honai demi honai. Tapi orang-orangnya tak ada. Aku singgah di sebuah honai tepat di atas bukit mungil. Di sampingnya ada pohon rindang tapi rendah. Cecabangnya bahkan bisa diduduki. Dari sini, tampak kampung ini berada di tepian ngarai. Di bawahnya aku bisa menyaksikan bentangan perbukitan hijau. Sesekali kabut menebal dan bergeser bergantian menutupi puncak-puncak bukit.
Setelah menuruni jalan setapak, aku bersua dengan bangunan serupa honai tapi berukuran besar. Bangunan itu tak berdinding. Di sana, ada banyak orang lelaki dan perempuan tengah berbincang dan sesekali tertawa. Ketika melihatku, mereka serentak terdiam. Aku canggung dan berbalik arah. Di saat itulah, aku kembali bertemu lelaki itu. Ia mengarahkanku menuju ke pohon besar. Kali ini ada puluhan bocah lelaki dan perempuan di sana. Ia lanjut berjalan menuju ke bangunan honai yang besar tadi. Sepertinya ia hendak memberitahukan tentang keberadaanku kepada mereka.
Di bawah pohon besar, anak-anak itu menyambutku dengan riang. Mereka terus tertawa. Ada satu dua anak meluncur turun dari rumah pohon. Aku menoleh ke atas dan terlintas untuk menaiki anak tangganya. Tapi seorang anak menarik lenganku. Ia mengantarku ke sebuah taman di tepi ngarai. Aku duduk di sana, sambil menikmati keindahan kampung.
Tapi, tiba-tiba seorang lelaki menyapaku. Aku mengenalinya.
"Kenapa kau bisa di sini?" katanya.
"Kenapa kau juga bisa di sini?" tanyaku.
Kami berdua terheran-heran. Kemudian menyusul muncul satu per satu orang yang semuanya aku kenal. Mereka semua satu desa denganku. Desa Passi.
"Kenapa kalian semua ada di sini?"
Mereka hanya tertawa. Seseorang menghampiriku dan menunjukkan sebuah peta di ponselnya.
"Kami telah menandai kampung ini di map. Kami namai Kampung Pohon," katanya.
"Hei! Kenapa kalian menandai kampung ini. Nanti banyak orang yang tahu kampung ini!" teriakku.
Mereka hanya tertawa dan berlalu. Mereka sekitar belasan. Aku membuntuti mereka. Langkah mereka akhirnya berujung di sebuah jalan setapak yang menurun.
"Kami bekerja di sana," kata seseorang, sambil menunjuk ke arah lembah. Menurutnya, ada banyak lagi orang yang aku kenali berada di sana. Termasuk salah satunya kakak laki-lakiku.
Dahiku mengernyit. Jika tadi kata lelaki Papua di kampung ini tak ada orang lain yang tahu, kenapa ada banyak orang yang aku kenali berada di sekitar sini. Yang sepertinya mereka telah lama tahu tempat ini. Aku menyapu pandangan ke seisi kampung. Ke mana orang-orang kampung dan bocah-bocah tadi?
Aku panik. Meski berada di negeri yang begitu indah, aku ingin hanya aku saja yang tahu kampung ini. Tapi ternyata ada orang lain yang tahu tempat ini. Dan orang-orang itu semuanya penambang. Termasuk satu kakak laki-lakiku, meski aku belum berjumpa dengannya.
Aku kembali ke honai di atas bukit. Di sana, aku bisa menikmati kampung yang begitu sepi. Aku bersandar di pohon. Angin menyapa dan menenangkanku. Kini tak ada lagi orang-orang di sekitarku. Aku merasa damai. Aku sendiri...
No comments :
Post a Comment