Monday, November 12, 2018

Genjer

No comments
Berbeda dengan malam hari, kalau siang, pilihan makanan terbatas. Tapi ketika Waena gelap, ada banyak tenda makanan di depan lorong. Ada penjual lalapan, nasi kuning, dan penjual nasi goreng yang porsinya segunung. Seharusnya, porsi nasi goreng ini bisa untuk dua orang.

Sejak bude langganan saya menghilang setelah lebaran, saya mencari rumah makan lain di sekitar kos, hanya untuk makan siang. Ada satu rumah makan Padang yang menunya variatif. Harganya pun terjangkau kantong anak kos. Saya mulai berlangganan.

Tadi ketika pergi membeli makanan, saya melihat ada menu sayuran baru. Selama berbulan-bulan, saya jarang melihat sayur ini.

"Ini sayur apa?"

"Genjer. Pernah makan?" kata ibu pemilik warung makan.

Mendengar nama sayur itu, ingatan saya langsung diseret ke masa-masa pembantaian 1965 terkait Partai Komunis Indonesia.

Karena penasaran, saya coba bertanya lagi ke ibu itu, "Ibu bukan dari Padang?"

"Suami saya orang Padang. Saya orang Banyuwangi."

Dalam hati saya, pantas saja sayur genjer ini ada. Saya kemudian meminta ibu itu menaruh genjer di nasi yang saya pesan.

"Bisa Bahasa Osing?" tanya saya.

"Bisa. Mas dari Jawa?"

"Bukan, saya Manado."

Ia coba menyelidiki saya balik, karena sepertinya dia sadar saya sedang menyelidiknya. Tapi saya tidak melanjutkan percakapan. Saya segera pamit. Sepanjang jalan pulang, saya tersenyum, karena saya iseng saja membayangkan: saya orang Mongondow, tinggal di Papua, beli makanan di rumah makan Padang, yang masak orang Banyuwangi.

Sebenarnya, di kolam ikan di belakang rumah saya di desa, biasanya genjer ini banyak tumbuh berdampingan dengan eceng gondok. Tapi kami tidak terbiasa memasaknya menjadi sayur. Karena itu, saya ingin mencobanya. Saya penasaran dengan rasanya, yang katanya sayuran orang miskin.

Genjer kerap dikaitkan dengan PKI karena lagu Genjer-Genjer ciptaan Muhammad Arief, pada 1942. Ia seniman asal Banyuwangi, yang aktif di Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra). Ini organisasi kebudayaan sayap kiri di Indonesia, yang inisiatornya di antaranya Nyoto, D.N. Aidit, M.S. Ashar, dan A.S. Dharta.

M. Arief menciptakan lagu Genjer-Genjer, sebagai protes karena di masa penjajahan Jepang, banyak rakyat kelaparan lantas memilih memakan genjer. Padahal awalnya genjer ini hanya untuk makanan ternak.

Lagu itu semakin populer ketika dinyanyikan Bing Slamet dan Lilis Suryani medio 1960-an. Karena menyuarakan penderitaan rakyat dan menyentuh akar rumput, PKI sering memakai lagu ini saat kampanye.

Mengidentikkan Genjer-Genjer dengan PKI adalah kesalahpahaman. Lagu itu bukan lagu PKI. Seandainya salah satu lagu Iwan Fals dipakai kampanye sebuah partai, apakah lagu itu otomatis jadi milik partai? Kemudian ketika para tokoh partai itu difitnah membantai para jenderal, lantas Iwan Fals harus dihukum?

Iya, nasib M. Arief sungguh malang. Setelah peristiwa 30 September 1965, penangkapan dan pembantaian terhadap mereka yang dituduh PKI semakin gencar. M. Arief ikut ditangkap dan dipenjarakan di Lowokwaru, Malang. Hampir empat bulan ia ditahan, kemudian hilang tak berbekas.

Jika pernah menonton film G30S/PKI--salah satu film terbaik Indonesia karena sinematografinya yang keren, dan mampu menghantui kita sampai sekarang meski tidak ada dedemit di film itu--, ada bagian ketika para Gerwani menyanyikan Genjer-Genjer sambil menyayat wajah seorang jenderal. Padahal itu distorsi sejarah atau hoaks paling akbar, yang masih dipercayai oleh sebagian banyak orang Indonesia, hingga sekarang. Hasil autopsi dari tim forensik, salah satunya Liem Joe Thay melaporkan, tidak ada penyiksaan semacam itu.

Begitulah nasib Genjer-Genjer. Bahkan sebuah lagu telah dibungkus hoaks teramat lama. Artis mana yang berani menyanyikannya sekarang, meski Orba tumbang?

Saya membuka nasi bungkus berisi sayur genjer dengan takzim. Lagu Genjer-Genjer versi Lilis Suryani saya setel di Youtube. Lalu mencicipinya. Rasanya tidak pahit. Hanya kenangan di balik lagu ini yang teramat pahit.

Emake jebeng padha tuku nggawa welasah (Ibu si gadis membeli genjer sembari membawa wadah-anyaman-bambu)/ Genjer-genjer saiki wis arep diolah (Genjer-genjer sekarang akan dimasak)/ Genjer-genjer mlebu kendhil wedang gemulak (Genjer-genjer masuk periuk air mendidih)/ Setengah mateng dientas ya dienggo iwak (Setengah matang ditiriskan untuk lauk)/ Sego sak piring sambel jeruk ring pelanca (Nasi sepiring sambal jeruk di dipan)/ Genjer-genjer dipangan musuhe sega (Genjer-genjer dimakan bersama nasi).

Ah, seandainya lagu itu akhirnya bisa dinyanyikan Via Vallen versi dangdut koplo....

No comments :

Post a Comment