Jika sebagian orang merantau karena berburu rezeki, saya memilih merantau karena ingin mewujudkan sebuah mimpi.
Semua orang tentu punya mimpi. Bahkan ketika bocah, kita selalu ditanyai guru tentang mimpi. Apa cita-cita kita? Tapi apakah mimpi kita ketika masa kanak-kanak sering terwujud?
Ada
banyak yang ketika tumbuh dewasa, malah menjauh dari impiannya. Sama
seperti saya, menjadi jurnalis bukanlah cita-cita masa kanak-kanak.
Dan profesi ini akhirnya mengharuskan saya pergi dan tinggal
berlama-lama di Tanah Papua. Negeri yang paling pertama menjamu matahari. Negeri yang paling sukar saya ingkari keindahannya.
Saat penerbangan ke Papua pada Februari lalu, lagu Merantau dari Kapal Udara saya dengarkan dari ketinggian 38 ribu kaki. Sama seperti lagu Kapal Udara lainnya berjudul Melaut, Menyambut, Menari, dan Menanam, lagu Merantau menyapa telinga dengan ceria. Tapi ketika memasuki lirik, saya dibuat tercenung.
Suatu hari sebelum menua/ Kau pergi/ Pergi/ Dalam hati kau menghibur diri/ Bernyanyi...
Hari itu, segala apa yang saya cintai di desa harus saya tinggalkan. Seorang ibu, putri mungilku Sigi, dan kawan-kawan yang kerap bersetia dalam duka dan tawa. Tapi benar, sebelum menua kita harus berani menyusuri negeri-negeri asing. Bukan berarti berdiam di tanah kelahiran sebagai bentuk ketidakberanian. Namun masing-masing memiliki alasan untuk pergi, atau memilih bertahan.
Mimpi apa yang ingin saya wujudkan dalam perantauan di Papua? Ini bukan mimpi tentang saya. Tapi mimpi orang-orang Papua yang selama ini tertindas di atas tanah mereka. Saya merantau dalam risau. Terlalu banyak yang rebah di tanah ini, dengan kepal tangan yang menggengam mimpi. Mereka menitipkan mimpi-mimpi itu kepada siapa saja yang berani bersuara.
Mimpi-mimpi itu dari Petrus Ayamiseba dan Leo Wandagau, buruh Freeport yang berunjuk rasa menuntut kesejahteraan, pada 10 Oktober 2011. Mereka tewas diterjang peluru. Jika sekarang buruh Freeport merasakan upah lebih dari cukup, maka dua nyawa itulah tumbalnya. Kendati hari ini, masih disaksikan PHK sepihak menimpa buruh Freeport.
Mimpi-mimpi itu dari Yulianus Pigai. Ia bersama warga Desa Oneibo, Deiyai, hendak meminjam mobil sebuah perusahaan, untuk mengantar salah satu warga yang nyaris tenggelam ke rumah sakit. Pihak perusahaan menolak membantu. Nyawa warga itu akhirnya tak tertolong, lantas mengundang kemarahan penduduk desa. Perusahaan memakai aparat sebagai perisai. Mereka yang protes diberondong peluru. Perut dan paha Pigai dirobek timah panas. Tubuhnya lempai ke tanah. Ia akhirnya meninggal dalam perjalanan ke rumah sakit.
Mimpi-mimpi itu dari Sabusek Kabak, Yenias Wanimbo, dan Demy Kepno. Ketiganya terbunuh pada kerusuhan 2 Juli 2014. Seorang polisi tewas ketika hendak mengamankan perjudian di Pasar Youtefa, Abepura. Tapi sorenya, saat penggerebekan para terduga pelaku, aksi "balas dendam" terjadi. Menyusul ditemukannya tiga jenazah orang Papua itu. Kabak hanyalah seorang mahasiswa yang terjebak saat kerusuhan terjadi.
Mimpi-mimpi itu dari Irwan Wenda. Ia ditembak polisi 8 Agustus 2013 di Wamena. Kaki kiri, perut, dan kepalanya ditembak dari jarak dua meter. Padahal Wenda yang menderita keterbelakangan mental, hanya memukul si polisi dengan batang tebu. Apakah berhak mengatakan Wenda tak memiliki mimpi karena dia gila, dan seenaknya menjabal nyawanya?
Mimpi-mimpi itu dari Yulinus Okoare dan Imanuel Mailmur. Keduanya terbunuh oleh senapan dua tentara di Mimika. Padahal kedua korban hanya ikut berpesta di rumah seorang warga asli Papua, yang menggelar syukuran karena berhasil meraih gelar doktor. Kedua tentara itu mabuk dan ingin membubarkan pesta. Sampai kerusuhan dan penembakan terjadi.
Mimpi-mimpi itu dari Emerikus Konakaimu, yang terkapar bersimbah darah pada 30 Oktober 2015 di Merauke. Pahanya ditembus peluru seorang polisi. Ia dan temannya dituduh mencuri motor. Polisi itu tidak tahu, kalau motor itu telah dikembalikan Emerikus dan temannya. Emerikus baru 19 tahun.
Mimpi-mimpi itu dari Mako Tabuni dan Hubertus Mabel. Tabuni adalah Wakil Ketua Komite Nasional Papua Barat (KNPB). Pada 14 Juni 2012, polisi tak berseragam menembaknya. Ia dituding melakukan serangkaian penembakan terhadap warga non-Papua, termasuk salah seorang turis Jerman. Mabel pun dituduh serupa. Ia tewas pada 16 Desember 2012 di Jayawijaya. Tuduhan kepada mereka berdua tentu saja tidak pernah terbukti. Tidak ada penyelidikan imparsial atau independen terhadap dua kasus pembunuhan itu.
Ada banyak lagi deretan mimpi dari mereka yang melegenda seperti Arnold Ap, Theys Hiyo Eluay, dan Kelly Kwalik. Mereka yang nyawanya lingkap di tangan aparat. Setelah mereka ini, masih ada ratusan daftar kematian yang tak pernah diusut tuntas.
Atau para balita di Korowai dan Asmat yang baru mau mulai bermimpi, tapi akhirnya harus menyerah dilindas rasa lapar. Atau bocah-bocah berseragam lusuh yang merindukan guru. Atau impian mama-mama Papua yang setiap hari disengat matahari, saat berjualan di trotoar jalan. Atau mimpi suku-suku yang tanah adat mereka direbut korporasi.
Hampir setahun di Papua, saya merasa belum satu pun dari titipan mimpi-mimpi itu yang mampu saya wujudkan. Tapi saya percaya, ada banyak kawan-kawan sejalan pena dan sedarah juang di luar sana. Mereka yang bertafakur dengan mimpi orang-orang Papua. Mereka yang percaya ini akan menjadi mimpi besar yang menggetarkan.
Hingga kini separuh usia/ Pulang tak lagi menjadi mimpi/ Tak lagi menjadi mimpi...
Dengan lagu Merantau, saya merayakan kerisauan. Seandainya separuh usia saya lewati di Bumi Cenderawasih ini, benar sudah, pulang tak lagi menjadi mimpi. Sebab mimpi itu masih tertahan di sini.
Ketika kau pergi merantau ke negeri orang tanpa rakus dengan mimpi sendiri, mungkin itulah sebaik-baiknya, sehormat-hormatnya... Merantau, Nak!
Catatan: Tulisan ini hasil interpretasi saya atas lagu Merantau dari Kapal Udara.
Saat penerbangan ke Papua pada Februari lalu, lagu Merantau dari Kapal Udara saya dengarkan dari ketinggian 38 ribu kaki. Sama seperti lagu Kapal Udara lainnya berjudul Melaut, Menyambut, Menari, dan Menanam, lagu Merantau menyapa telinga dengan ceria. Tapi ketika memasuki lirik, saya dibuat tercenung.
Suatu hari sebelum menua/ Kau pergi/ Pergi/ Dalam hati kau menghibur diri/ Bernyanyi...
Hari itu, segala apa yang saya cintai di desa harus saya tinggalkan. Seorang ibu, putri mungilku Sigi, dan kawan-kawan yang kerap bersetia dalam duka dan tawa. Tapi benar, sebelum menua kita harus berani menyusuri negeri-negeri asing. Bukan berarti berdiam di tanah kelahiran sebagai bentuk ketidakberanian. Namun masing-masing memiliki alasan untuk pergi, atau memilih bertahan.
Mimpi apa yang ingin saya wujudkan dalam perantauan di Papua? Ini bukan mimpi tentang saya. Tapi mimpi orang-orang Papua yang selama ini tertindas di atas tanah mereka. Saya merantau dalam risau. Terlalu banyak yang rebah di tanah ini, dengan kepal tangan yang menggengam mimpi. Mereka menitipkan mimpi-mimpi itu kepada siapa saja yang berani bersuara.
Mimpi-mimpi itu dari Petrus Ayamiseba dan Leo Wandagau, buruh Freeport yang berunjuk rasa menuntut kesejahteraan, pada 10 Oktober 2011. Mereka tewas diterjang peluru. Jika sekarang buruh Freeport merasakan upah lebih dari cukup, maka dua nyawa itulah tumbalnya. Kendati hari ini, masih disaksikan PHK sepihak menimpa buruh Freeport.
Mimpi-mimpi itu dari Yulianus Pigai. Ia bersama warga Desa Oneibo, Deiyai, hendak meminjam mobil sebuah perusahaan, untuk mengantar salah satu warga yang nyaris tenggelam ke rumah sakit. Pihak perusahaan menolak membantu. Nyawa warga itu akhirnya tak tertolong, lantas mengundang kemarahan penduduk desa. Perusahaan memakai aparat sebagai perisai. Mereka yang protes diberondong peluru. Perut dan paha Pigai dirobek timah panas. Tubuhnya lempai ke tanah. Ia akhirnya meninggal dalam perjalanan ke rumah sakit.
Mimpi-mimpi itu dari Sabusek Kabak, Yenias Wanimbo, dan Demy Kepno. Ketiganya terbunuh pada kerusuhan 2 Juli 2014. Seorang polisi tewas ketika hendak mengamankan perjudian di Pasar Youtefa, Abepura. Tapi sorenya, saat penggerebekan para terduga pelaku, aksi "balas dendam" terjadi. Menyusul ditemukannya tiga jenazah orang Papua itu. Kabak hanyalah seorang mahasiswa yang terjebak saat kerusuhan terjadi.
Mimpi-mimpi itu dari Irwan Wenda. Ia ditembak polisi 8 Agustus 2013 di Wamena. Kaki kiri, perut, dan kepalanya ditembak dari jarak dua meter. Padahal Wenda yang menderita keterbelakangan mental, hanya memukul si polisi dengan batang tebu. Apakah berhak mengatakan Wenda tak memiliki mimpi karena dia gila, dan seenaknya menjabal nyawanya?
Mimpi-mimpi itu dari Yulinus Okoare dan Imanuel Mailmur. Keduanya terbunuh oleh senapan dua tentara di Mimika. Padahal kedua korban hanya ikut berpesta di rumah seorang warga asli Papua, yang menggelar syukuran karena berhasil meraih gelar doktor. Kedua tentara itu mabuk dan ingin membubarkan pesta. Sampai kerusuhan dan penembakan terjadi.
Mimpi-mimpi itu dari Emerikus Konakaimu, yang terkapar bersimbah darah pada 30 Oktober 2015 di Merauke. Pahanya ditembus peluru seorang polisi. Ia dan temannya dituduh mencuri motor. Polisi itu tidak tahu, kalau motor itu telah dikembalikan Emerikus dan temannya. Emerikus baru 19 tahun.
Mimpi-mimpi itu dari Mako Tabuni dan Hubertus Mabel. Tabuni adalah Wakil Ketua Komite Nasional Papua Barat (KNPB). Pada 14 Juni 2012, polisi tak berseragam menembaknya. Ia dituding melakukan serangkaian penembakan terhadap warga non-Papua, termasuk salah seorang turis Jerman. Mabel pun dituduh serupa. Ia tewas pada 16 Desember 2012 di Jayawijaya. Tuduhan kepada mereka berdua tentu saja tidak pernah terbukti. Tidak ada penyelidikan imparsial atau independen terhadap dua kasus pembunuhan itu.
Ada banyak lagi deretan mimpi dari mereka yang melegenda seperti Arnold Ap, Theys Hiyo Eluay, dan Kelly Kwalik. Mereka yang nyawanya lingkap di tangan aparat. Setelah mereka ini, masih ada ratusan daftar kematian yang tak pernah diusut tuntas.
Atau para balita di Korowai dan Asmat yang baru mau mulai bermimpi, tapi akhirnya harus menyerah dilindas rasa lapar. Atau bocah-bocah berseragam lusuh yang merindukan guru. Atau impian mama-mama Papua yang setiap hari disengat matahari, saat berjualan di trotoar jalan. Atau mimpi suku-suku yang tanah adat mereka direbut korporasi.
Hampir setahun di Papua, saya merasa belum satu pun dari titipan mimpi-mimpi itu yang mampu saya wujudkan. Tapi saya percaya, ada banyak kawan-kawan sejalan pena dan sedarah juang di luar sana. Mereka yang bertafakur dengan mimpi orang-orang Papua. Mereka yang percaya ini akan menjadi mimpi besar yang menggetarkan.
Hingga kini separuh usia/ Pulang tak lagi menjadi mimpi/ Tak lagi menjadi mimpi...
Dengan lagu Merantau, saya merayakan kerisauan. Seandainya separuh usia saya lewati di Bumi Cenderawasih ini, benar sudah, pulang tak lagi menjadi mimpi. Sebab mimpi itu masih tertahan di sini.
Ketika kau pergi merantau ke negeri orang tanpa rakus dengan mimpi sendiri, mungkin itulah sebaik-baiknya, sehormat-hormatnya... Merantau, Nak!
Catatan: Tulisan ini hasil interpretasi saya atas lagu Merantau dari Kapal Udara.
No comments :
Post a Comment