Sunday, December 30, 2018
Apa Kabar Ayah?
Tuesday, December 25, 2018
Sunday, December 23, 2018
Natal Kelam
Deru helikopter mengitari langit Jayapura. Tumpukan kertas dihambur dari ketinggian. Meski gerimis, capung logam itu terus berdengung di udara.
Bocah-bocah berloncatan girang, berkejar-kejaran, lalu berebut memungut lembar demi lembar. Apa yang tertulis di atas selebaran itu? Akan ada aksi terjun payung Santa Claus. Bagi-bagi hadiah. Tertawa bersama komika ibu kota. Selebaran itu dari Polda Papua.
Selebaran itu disebar, sehari sesudah Gubernur Papua, Lukas Enembe, menyatakan Natal kali ini tak usah diperingati dengan bersuka-cita. Tak ada open house apalagi untuk para pejabat pemerintahan. Sebab sebangsa di Nduga tengah berduka.
Dari kabar, aksi terjun payung itu bertema "Santa is Coming to Papua". Sebanyak 50 penerjun yang terdiri dari 42 laki-laki dan 8 perempuan, dimuntahkan dari pesawat. Aksi itu katanya meraih rekor MURI. Saya suka alergi mendengar rekor MURI. Para pemuja angka.
Tak ada yang mengunggah atau berkomentar di media sosial saya, tentang seramai apakah aksi itu. Padahal sejak menetap di Jayapura, kakawan di media sosial saya semakin dipenuhi orang asli Papua. Unggahan dan status mereka, rata-rata berisi ucapan duka atau foto-foto aksi solidaritas, untuk saudara mereka di Nduga. Mereka memang tak butuh Santa Claus yang ingin berbagi hadiah. Luka, telah memenuhi seluruh ruang hati dan pikiran mereka.
Arkian, mereka pun kerap mempertanyakan, ketika ada sesama orang Papua tapi tak bersolidaritas dengan rakyat Nduga, yang sebagian banyak merayakan Natal di belantara, berteduh di pepohonan tanpa lilitan warna-warni lampu. Mereka lari ketakutan dan bersembunyi sembari mengusung anak. Mereka hanya berpelita purnama dan bintang gemintang. Tak tahu apakah mereka bisa menyalakan api di tengah hutan, sebab itu membuat persembunyian jadi sia-sia.
Saya tercenung, ketika seorang kawan Papua berkata, "Tiada sedikitpun penghormatan bagi kami yang sedang berduka."
Ucapannya dalam. Bukan hanya menyoal Nduga. Tapi menarik ingatan lalu merentang luka demi luka di Tanah Papua. Tentang bagaimana orang-orang kerap memilah duka. Semakin riuh kesedihan, maka semakin gagap orang-orang yang turut, hanya agar terkesan sebagai manusia paling peduli dengan kemanusiaan. Tapi tidak secuilpun orang-orang itu peduli dengan Papua.
Kali ini, entah bagaimana caranya mengucapkan selamat Natal untuk kakawan Papua. Benar sudah Antonio Porchia dengan sabdanya, "Only the wound speaks its own word."
Friday, December 21, 2018
Manusia
Kita, orang kota serakah yang mendaku paling istimewa. Mensyukuri kerlap-kerlip lampu, tapi lekas mengutuk ketika ia padam. Sementara orang kampung yang hanya berpelita sumbu, masih kita ganggu dengan deru senjata dan muntahan mesiu.
Kita, orang kiwari congkak bongak yang mengaku paling canggih. Padahal masih iri dengan merek penanak nasi tetangga. Sementara orang kampung yang hanya punya batu tungku, kita cerca maki dengan sebutan beruk dan primitif.
Kita, orang modern rakus yang memburu restoran mewah di gedung-gedung jangkung. Kendati di sekitarnya rebah rempah perut-perut cekung. Sementara orang kampung yang memuliakan sagu dan betatas, sering kita tumpas langis lahannya atas nama swasembada beras.
Kita, orang intelek yang tertungkus lumus di meja-meja sekolah dan kantor. Mengejar kemasyhuran dan puji-pujian. Sementara orang kampung yang beranggapan dengan menjadi pintar orang hanya saling membodohi, kita umpat kampungan dan terbelakang.
Kita, orang agamawi pongah yang kerap mempercekakkan simbol. Mengganggap ibadah terluhur hanya milik mayoritas. Sementara orang kampung yang berkhidmat dengan agama leluhur, kita kafirkan dengan azab neraka dilembing bara di dubur.
Kita, orang kota yang sering lupa menjenguk orang kampung. Padahal mereka adalah wujud rahasia, dari makhluk bernama manusia.
Saturday, December 15, 2018
Selamat Natal & Tahun Baru
Di bawah pijar lampu jalan, seorang mama mengais tumpukan sampah. Ia memilah beberapa kardus, merobeknya di beberapa sisi, lalu melipatnya rapi.
Ia tak sendiri. Ada anak laki-lakinya berusia sekitar lima, tengah memunguti sampah plastik. Anak itu sesekali berlari girang ke arah mamanya, lalu memberikan botol kosong air mineral.
Dua kantong plastik besar kian gemuk, tergeletak di samping mama itu. Sementara anaknya kembali berlarian memunguti sampah demi sampah. Tak lama kemudian mamanya memberi isyarat dengan tangan. Sepertinya mereka hendak pulang.
Anaknya menarik-narik noken yang mengembung di punggung mamanya. Jenak mama itu istirah. Ia mengeluarkan balon persegi dari nokennya. Balon seukuran bantal sofa itu berwarna emas, bertuliskan "Selamat Natal dan Tahun Baru 2018". Dari tahunnya, sepertinya balon itu hanya ditemukan di tumpukan sampah yang mereka sisir.
Setelah memastikan dua kantong plastik penuh, mama dan anaknya yang memeluk balon, berjalan menjauh dari pendar lampu jalan. Keduanya menghilang di ujung sebuah lorong, yang dihimpit barisan rumah bekerlapan lampu Natal.
Selamat Natal dan Tahun Baru sepanjang usia untuk kalian berdua...
Friday, December 7, 2018
Praduga di Nduga
Saya selalu tertarik membaca komentar di setiap pemberitaan Jubi terkait Nduga. Sebagian banyak komentar mengutuk kejadian itu.
Sebagai media lokal di Tanah Papua, sejak kejadian Nduga, makin banyak orang di luar Papua tertarik membaca Jubi. Mungkin karena media-media Mama Kota-Jakarta-lebih sering memakai narasi tunggal dari Polri atau TNI. Sementara Jubi, selain tetap mewawancarai Polri dan TNI, masyarakat di Nduga pun turut diwawancarai.
Narasumber yang diwawancarai Jubi ada dari anggota DPRD Nduga, pihak gereja, bahkan pekerja yang selamat dan eks pekerja Trans Papua. Saya pernah membaca berita kesaksian pekerja yang selamat di salah satu media Jakarta, yang keterangannya kemudian dituturkan kembali pihak TNI.
“Tidak lama kemudian para KKB dalam suasana kegirangan menari-nari sambil meneriakkan suara hutan khas pedalaman Papua. Mereka kemudian secara sadis menembaki para pekerja. Sebagian pekerja tertembak mati di tempat dan sebagian lagi pura-pura mati terkapar di tanah,” ungkap Aidi, sebagaimana disampaikan Jimmi.
Nukilan di atas dari pemberitaan Kompas. Jimmy Aritonang adalah salah satu pekerja yang selamat. Sementara Muhamad Aidi adalah Kepala Penerangan Kodam XVII/Cenderawasih, Jayapura, Papua.
Membaca itu saya segera teringat narasi yang sama, ketika para Gerwani menyiksa tujuh jenderal di Lubang Buaya. Para Gerwani menyanyikan Genjer-Genjer, sambil menyayat wajah si jenderal. Sayangnya, peristiwa itu terbukti mengada-ada. Bahkan dibuatkan film propaganda Pengkhianatan G30 S-PKI. Tak ada penyiksaan seperti dalam film yang dilakukan di Lubang Buaya. Kesaksian demi kesaksian sudah banyak terungkap. Bahkan dari dokter-dokter yang mengautopsi. Tapi, diorama di Lubang Buaya mengekalkan semuanya, lagi-lagi, versi propaganda.
Ada beberapa komentar yang menarik perhatian saya, mengenai kesaksian TPNPB, bahwa kejadian itu bukan ekseksusi, akan tetapi kontak senjata. Salah satunya (bukan orang Papua) diawali frasa orang Papua "ko stop tipu-tipu", lalu mengatakan seorang korban meninggal adalah karibnya. Dan korban itu sangat peduli dengan orang Papua.
Komentarnya itu, hampir mirip dengan salah satu akun media sosial yang menceritakan dukanya, ketika mengetahui kawan baiknya meninggal. Ia merentang tentang jasa korban mendukung dan terlibat dalam banyak kegiatan, yang didedikasikan untuk Papua.
Membaca itu, saya hendak berkomentar. Tapi saya urung niat. Merasakan kepergian seorang sahabat memang sakit. Dan itu layak dihormati. Namun memahami Papua butuh kejernihan pikir. Amarah dan sedih karena kehilangan seorang sahabat, hanya menjadi kabut yang menghalangi kita memahami Papua.
Saya hampir setahun di Papua. Tapi waktu ini bahkan belum cukup untuk membangun kepercayaan orang-orang di sini. Kendati sering menyuarakan keberpihakan atas nasib-nasib orang Papua, itu tak menjamin kita bisa "dikenali". Apalagi oleh orang-orang Papua yang berada di pedalaman.
Kecurigaan dan ragu-ragu untuk menerima orang selain mereka, adalah sikap yang patut kita hormati pula. Itulah kenapa, membangun Papua adalah cara keliru untuk merebut hati mereka. Setulus apa pun itu, sikap yang mereka pilih sudah jelas. Yang mereka butuh ialah hak menentukan nasib sendiri.
Setelah kejadian ini, narasi tentang seperti apa kehidupan di pedalaman Papua, pun relasi antara Orang Asli Papua (OAP) dan non-OAP, banyak beredar. Baik dituturkan kawan-kawan OAP dan non-OAP. Dikatakan, telah berpuluh-puluh tahun sebuah kepercayaan dibangun antara OAP dan non-OAP di Nduga. Namun sejak pos-pos militer dan Trans Papua ini dikerjakan, praduga masyarakat OAP terhadap non-OAP kembali muncul.
Apalagi TPNPB, yang jelas-jelas menyatakan alergi dengan para pendatang. TPNPB menolak proyek jalan tersebut. Selain merusak hutan mereka, kata TPNPB, dalam zona perang jalan-jalan itu malah memudahkan militer ketika bertempur.
Terlepas dari perang, keterpencilan tak melulu buruk seperti yang digambarkan negara. Terisolasi bisa menjadi perisai. Orang-orang Papua tak kekurangan, karena hutan menyediakan segalanya. Justru modernisasilah yang mengubah pola hidup mereka, lantas membunuh mereka perlahan-lahan. Pola berburu dan meramu, berubah menjadi: belanja ke warung-warung.
Pernah seorang petugas kesehatan di Asmat bercerita, ia prihatin dengan mama-mama di sana. Mereka susah payah menanam kemudian memanen sayur-mayur, tapi setelah itu hanya dijual murah.
"Jadi yang memborong sayur sudah atur harga. Murah saja, bahkan ada sekarung hanya tiga puluh ribuan. Setelah laku, mama-mama pergi membeli satu nasi bungkus dan sisanya mi instan untuk anak-anaknya," katanya.
Mengingat ceritanya itu, saya sebagai anak kos merasa senasib dengan mama itu. Senasib karena sering membeli nasi bungkus dan mi instan.
Semalam saya sempat bercerita dengan kawan satu kos. Ia petugas kesehatan yang pernah bekerja di rumah sakit di Wamena. Sejak pemberitaan Nduga, ia aktif menyimak baik dari televisi dan media online.
"Saya heran, kenapa juga sudah mau 1 Desember, tapi mereka bertahan di sana. Harusnya mereka diperintahkan turun. Berita-berita juga hari ini bilang begini, besok lain lagi. Tidak tahu mana yang benar. Macam ada yang janggal," katanya.
Ia masih jernih dalam mendaras kejadian di Nduga. Meski sedih sebab korban kebanyakan anak Tator, sama seperti dia.